webnovel

35

Suatu hari yang terik di musim panas, aku sedang asyik beristirahat di griya tawang kami yang berpendingin ruangan. Kusaksikan serial televisi Friends di televisi kabel. Serial yang saat ini belum tersebar dalam bentuk DVD. Dalam lagu pembukaannya yang khas, para pemainnya tampak lucu dalam cuplikan-cuplikan adegan.

Lalu tiba saat lagu pembuka selesai. Adegan pertama menunjukkan pemandangan kota Manhattan. Tatapanku tertumbuk pada sebuah gambar latar belakang yang menyentakku di adegan pembuka ini.

World Trade Center.

Ya, gedung itu masih berdiri.

Masih berdiri, sampai tahun ini.

Beberapa bulan dari sekarang ia akan hancur runtuh diterjang pesawat-pesawat teroris. Sejak itu dunia berubah, termasuk kebijakan perang Amerika Serikat.

Kecuali...

Kecuali aku bisa mengubahnya?

Mungkinkah?

Kenapa tidak? Sudah banyak hal yang kuubah hingga kini. Apa bedanya?

Aku berada di sini, di tahun 2001, di mana sebuah tragedi besar akan terjadi. Dan aku berada di negara ini, Amerika Serikat. Tidak mungkin aku hanya diam, membiarkan tragedi berdarah kembali terjadi. Aku pasti bisa mengintervensi, pasti!

Masih cukup waktu.

Bisakah aku kembali mengubah sejarah kali ini?

Sejarah yang sangat besar, peristiwa yang mengubah nasib puluhan juta orang. Kejadian yang menimbulkan dekade paling berdarah di milenium baru.

Aku berjalan berputar-putar di griya tawang kami. Bagaimana aku bisa mencegah tragedi ini? Para teroris pasti sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Serangan ke menara kembar tidak mungkin tidak direncanakan dengan detail. Ia bahkan bisa ditandingi dengan serangan Jepang ke Pearl Harbor.

Lalu apa yang harus kulakukan. Pasti aku tidak bisa diam saja. Pasti aku bisa mencegahnya.

Tentu, tentu saja aku bisa melakukannya, tapi bagaimana?

Telepon ke FBI atau CIA?

Atau ke Interpol?

Lalu bagaimana jika semua rencana itu ketahuan oleh Al Qaeda?

Salah-salah akulah yang akan dibunuh.

Kupandangi pemandangan kota Seattle yang cerah. Kurenungi perjalanan hidupku sejauh ini. Semua yang telah kuperjuangkan telah membawaku sampai ke tempat ini. Sekarang ada suatu misi yang harus kuselesaikan, yaitu mencegah sebuah tragedi berdarah umat manusia.

Sesuatu, sesuatu harus bisa kulakukan!

Setelah memutar otak semalaman, aku mendapat sebuah ide. Kubayar seorang teman untuk mencari apakah di sekolahku ada anak yang kerabatnya bekerja di FBI atau CIA.

Beberapa hari kemudian hasilnya kudapatkan. Ternyata ada, seorang anak berwajah kaukasia, yang memiliki seorang paman yang bekerja di FBI. Kuminta data alamatnya.

Ia ternyata tinggal di Washington DC.

Aku pun terbang ke DC, berbekal alamat sang agen. Dengan menggunakan sarung tangan, kucetak sebuah surat yang kumasukkan ke dalam amplop.

Kutuliskan nama-nama orang yang akan terlibat tragedi 9/11 dalam surat tersebut.

Mohamed Atta, Abdulaziz Alomari, Satam Al Suqami, Marwan Al-Shehi, Ahmed Alghamdi, Hani Hanjour, dan sejumlah lainnya.

Daftar ini sengaja kubuat bersama rencana membajak pesawat American Airlines dan United Airlines. Tanggalnya, nomor pesawatnya, lalu teknik-teknik pembajakan pesawat menggunakan pisau plastik. Termasuk waktu ekpektasi pesawat akan ditabrakkan ke menara kembar.

Lalu setelah semua kuperiksa dan kurasa lengkap, kubawa suratku untuk kumasukkan ke dalam kotak surat sang agen.

Kukenakan jaket tebal dan topi kupluk. Kutarik jaketku hingga menutupi wajah. Tak lupa kukenakan sarung tangan. Kupilih waktu tengah malam untuk menghampiri rumah sang agen. Kupastikan tidak ada orang yang melihatku. Setelah aku tiba di dekat rumahnya, aku mengendap-endap sambil melihat sekeliling.

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak ada orang di sekitar komplek yang berada di jalanan. Lampu-lampu rumah telah dimatikan. Semoga saja mereka semua benar-benar sudah tidur.

Kupercepat langkahku, dan kucapai rumah sang agen. Cepat-cepat kumasukkan suratku ke kotak posnya, lalu aku berlari.

Kupacu langkahku secepat mungkin, ke luar dan menjauhi komplek perumahan. Setelah kurasa cukup jauh, kulihat sekeliling, sepertinya tidak seorang pun melihatku. Kuabaikan kemungkinan kamera pengawas di sekitar komplek perumahan. Tapi risikonya sendiri tidak mungkin kuabaikan.

Beberapa blok sebelum hotel tempat menginapku berada, kulepas celana, jaket, topi kupluk, dan sarung tanganku. Kubuang ia ke tempat sampah. Di tengah dinginnya malam, badanku menggigil karena hanya mengenakan kaus oblong dan celana pelapis. Aku segera berlari menuju hotel.

Kuhempaskan diriku di tempat tidur. sambil kupikir-pikir apa yang akan terjadi besok pagi setelah sang agen menemukan suratku di kotak posnya.

Ketika melihatnya, sang agen mungkin akan mengira bahwa ini adalah perbuatan orang iseng. Tapi untuk orang sekelas agen FBI, minimal ia akan menyimpannya. Tidak mungkin akan diabaikannya informasi semacam ini. Apalagi semuanya kutulis cukup detail.

Pasti ia akan berpikir bahwa rencana ini bukan main-main.

Jika berhasil, apa yang akan terjadi dengan peta perpolitikan dunia ke depannya?

Bulu kudukku merinding.

Tinggal aku yang berharap-harap cemas.

Esok paginya aku berusaha melupakan apa yang akan terjadi. Kuambil penerbangan pertama untuk kembali ke Seattle. Walaupun demikian, aku tidak bisa mengenyahkan pikiranku tentang akibat perbuatanku. Jika tidak ada tragedi menara kembar, tidak akan ada perang Timur Tengah. Dunia akan damai.

Lalu apa?

Pikiranku yang berputar-putar membuatku tidak menyadari bahwa pesawatku telah mencapai Seattle. Kulanjutkan hidupku dan berusaha untuk bersikap biasa saja.

Hari demi hari, pekan demi pekan berlalu. Aku menanti dengan gelisah. Bulan September 2001 telah kumasuki, setiap tanggal berlalu terasa lama. Aku terus menghubungi orang-orang yang kupercaya di maskapai, dan mereka mengatakan terus memantau keadaan.

Sembilan, sepuluh, hingga tiba saatnya, 11 September telah kumasuki. Aku tetap pergi sekolah pada hari itu, dengan berusaha untuk tetap tenang.

Kucoba untuk menganggap bahwa tidak akan terjadi apa pun. Meskipun begitu, tubuhku tetap berkeringat dingin.

Berhasilkah rencanaku?

Apa yang dilakukan sang agen begitu menerima suratku?

Akankah ia mendiskusikannya dengan koleganya?

Atau justru langsung dibuangnya suratku ke tempat sampah?

Lalu suratku akan dibakar bersama sampah-sampah lain di tempat pembuangan akhir. Tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi, begitupun dengan seluruh dunia, tentang apa tragedi yang menanti mereka.

Hari berlangsung sangat cepat. Aku mencapai rumahku dan segera menyalakan televisi. Kuputar saluran CNN, dan menemukan berita yang kuharapkan.