webnovel

25

Aku tercekat.

"Tahu bagaimana, Bu?"

"Kamu bukan Ferre yang sebenarnya. Bukan Ferre yang seharusnya ada di sini. Ini kali kedua bukan?"

"I...Ibu...bagaimana bisa?"

"Ferre...Ibu juga seorang..." ia terbatuk-batuk sebelum bisa melanjutkan kalimatnya.

"Ibu sama sepertimu..."

Napasku terhenti sejenak.

"Ibu...kita sama-sama....?"

"Ya," katanya. "Dan setelah ini, sepertinya saya harus kembali, mengulangi lagi semuanya,"

"Ibu...sungguh-sungguh?"

Bu Neneng terbatuk-batuk lagi.

"Ya,"

"Bagaimana Ibu bisa tahu...?"

"Mudah sekali, Ferre. Tulisan tanganmu bukan lagi tulisan cakar ayam. Itu saja sudah cukup untuk mengetahuinya. Di sekian banyak siklus kehidupanku sebelumnya, tulisanmu tidak pernah berubah."

"Jadi...memang semua ini telah terjadi...berkali-kali?" tenggorokanku terasa kering.

Bu Neneng mengangguk lemah.

"Ferre, kamu datang dari tahun berapa?"

Aku terdiam.

"Berapa, Ferre?"

"Dua ribu dua puluh,"

Bu Neneng tersenyum.

"Kamu sukses? Berhasil jadi orang?"

Aku menunduk.

"Ferre, bagaimana keadaan di tahun itu?"

"Indah, Bu. Indonesia sudah menjadi negara adikuasa,"

"Alhamdulillah," Bu Neneng tersenyum.

"Ibu...sudah berapa kali mengulanginya?"

"Tak bisa saya hitung, Ferre, dan setiap kali saya juga harus mengalami ini semua, penyakit ini, sakit...sakit...sayang..."

"Ibu...kita ini...apa? Apa yang terjadi dengan kita? Kenapa kita mengalami semua ini?"

"Itu juga pertanyaan saya. Sama sepertimu, saat pertama kali mengalaminya pun saya bertanya-tanya demikian. Sampai kini, saya masih belum pernah bisa menemukan jawabannya,"

"Sampai kapan, Bu? Sampai kapan kita akan begini?"

Bu Neneng menggeleng lemah.

"Ferre, nanti, di kehidupanmu berikutnya, kalau kau sudah mengulanginya lagi, datanglah ke tempat saya,"

Aku menarik napas panjang.

"Kunjungi saya, sejak pertama kali kamu mengalaminya lagi,"

Aku terdiam.

Hari sudah sore saat aku pulang dari rumah Bu Neneng.

Mbok Jah menantiku dengan cemas di depan pagar. Terkadang aku lupa bahwa aku belum boleh seenaknya pulang sore. Meskipun demikian itu bukan menjadi hal yang kupikirkan.

Bu Neneng, benar-benar tidak kuduga. Selain itu, dia telah mengalaminya berulang-ulang.

Jadi, apakah ini semua juga akan berulang?

Aku akan kembali lagi ke tahun 1989, terbangun di ranjang Mama?

Terus demikian tanpa ada ujungnya?

Lalu Bu Neneng, ia harus berulang kali mengalami sakit sebelum kematian?

Tanpa pernah bisa ia hentikan?

Ah...

Tiga hari berlalu, Bu Neneng benar-benar meninggal. Aku mengajak Papa dan Mama menghadiri pemakamannya. Kupandangi makam Bu Neneng, tanpa sadar air mataku menetes.

Bu Neneng, sekarang di manakah ia berada?

Di waktu mana ia terbangun?

Apakah di saat dia berumur empat tahun sepertiku, atau lebih muda lagi?

Lalu ia terbangun, menyadari di mana dia, dan mendapati bahwa dirinya harus memulai sekali lagi, dan mengalami semua kesakitannya, lagi dan lagi. Bagaimanapun kini ia telah pergi, entah ke mana.

Jauh di lubuk hatiku, aku berharap sekarang dia benar-benar pergi ke alam kubur. Kasihan dia jika harus menderita lagi.