webnovel

16

Aku berpuasa satu bulan penuh di Ramadan pertamaku pada siklus kehidupanku yang kedua ini. Papa dan Mama tidak habis-habisnya memujiku. Betapa tidak, aku berpuasa sampai tiba waktu magrib. Di siklus kehidupanku yang pertama, aku bahkan belum berpuasa sama sekali di usia ini.

Tidak terasa, Lebaran pun tiba. Seperti tradisi hari lebaran pada umumnya, kami sekeluarga pulang kampung. Tujuan kami adalah Yogyakarta, untuk menemui beberapa saudara beserta Kakek-nenekku.

Papa mengemudikan mobil kami dari Bandung hingga Yogyakarta tanpa bergantian. Hal yang selama bertahun-tahun setelahnya tetap membuatku kagum. Bahkan di usianya pada tahun 2020 pun aku yakin ia masih sanggup melakukannya.

Pemandangan di sepanjang perjalanan kami sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan di tahun 2020. Pembangunan negeri ini memang hanya terpusat di kota-kota besar, sehingga apa yang kusaksikan di luar hanyalah pemandangan yang kurang lebih sama dengan jika aku menaiki bus ke Yogyakarta di tahun 2020. Batas demi batas kota kami lintasi, hampir sama dengan yang kulihat pada tahun 2020. Hanya saja mereka tampak lebih baru.

Saat ini aku menaiki Suzuki Futura milik Papa. Mobil yang kuakui, menjadi bagian dari sejarah kehidupanku. Aku tumbuh besar bersama mobil ini sampai lima tahun ke depan. Begitu banyak waktu yang kuhabiskan di sini, dari mulai Papa mengantarku sekolah, sampai mudik seperti yang sekarang kulakukan.

Suaranya yang khas membuatku menamainya "Roar". Ini adalah mobil yang sangat digemari di kalangan orang-orang berkeluarga pada zamannya. Meskipun aku sendiri kurang menyukainya karena tidak memiliki mesin di bagian depan.

Radionya menyiarkan lagu-lagu lama, lagi-lagi rasanya seperti aku sedang mendengarkan saluran nostalgia di tahun 2020.

Saat ini tidak perlu khawatir akan berpapasan atau beriringan dengan truk pengangkut bahan bakar di siang hari. Pemerintah pada masa kini hanya mengizinkan truk pengangkut bahan bakar untuk beroperasi mulai pukul enam sore hingga pukul enam pagi.

Setiba di Yogyakarta, suasana lebaran selalu menjadi yang paling ramai. Kakek dan Nenek adalah pasangan zaman revolusi, oleh karena itu mereka memiliki keluarga besar dengan cucu yang banyak, termasuk aku. Selalu tersedia banyak makanan di saat-saat seperti ini.

"Nek, saya minta kue nastar ini ya," kataku menunjuk kue yang ada di meja.

"Ferre, kamu nggak perlu selalu bertanya untuk makan apa pun di rumah ini," kata Nenek.

"Terima kasih, Nek,"

Nenek tersenyum, kagum.

"Sudah kelas berapa, Ferre sekarang?" tanya Kakek.

"Kelas satu, Kek. Baru masuk,"

"Sudah bisa baca?" lanjutnya lagi.

Kakek, aku bisa membaca tulisan Jepang, Arab, Rusia, Cina, dan latin, bahkan menuliskannya.

Sebelum kujawab pertanyaannya, seorang anak gadis berlari-lari.

"Mas Re! Lihat boneka Yatta!" ujarnya.

Aku tertegun.

Dia sepupu kecilku, yang akan menikah di usia sembilan belas. Lalu bercerai di usia dua puluh tiga. Yatta akan menanggung sendiri anak kembarnya, karena suaminya pergi entah ke mana. Sementara Yatta sendiri telah lama meninggalkan kuliahnya karena menikah. Kini ia di hadapanku. Yatta sungguh ceria, sama sekali tidak terlihat seperti dua puluh tahun dari sekarang.

Kuikuti apa yang ia mau. Kubawa mainan mobil-mobilanku, dan kuadu dengan bonekanya. Ia sungguh senang jika bermain seperti itu.

Di tengah permainan kami, perhatianku teralihkan oleh sebuah suara. Suara membahana yang berasal dari udara. Sepupu-sepupuku berlari berhamburan ke luar rumah.

"Ada apa, kek?" tanyaku.

"Pesawat Hercules, sering sekali lewat," jawab kakek.

"Kapaaaaal, minta duiiiiittt!" sepupu-sepupuku bersorak seperti halnya fenomena yang kutemui di Bandung.

Seketika aku teringat.

Tahun berapa ini?

1991?

Ahhh... kenapa aku begitu bodoh?

Sepulang kami ke Bandung, aku mengajak Papa ke Gramedia dan memintanya membelikanku buku dan alat-alat gambar teknik. Semua kubeli dari hasil honor cerita pendekku.

"Tapi buat apa buku-buku dan alat itu?"

"Kan saya senang sama gambar-gambar begini, Pa.,"

"Biasanya anak seumurmu mintanya buku gambar Disney,"

"Ya tiap anak beda, Pa,"

Papa pun membiarkanku memborong buku-buku di rak. Kami pulang dengan kantung plastik yang penuh dengan pembelianku.