webnovel

Identitas Bunga

Sebagai seorang santri, Bunga selalu taat dengan peraturan pesantren yang ia gunakan untuk menimba ilmu. Bunga ini juga adalah seorang cucu dari ustadz yang memiliki pesantren juga. Jadi, memang pantas jika Bunga menutup diri dari seorang pria, apalagi yang bukan mahramnya. 

Meski menjadi santri dan cucu ustadz,  bukan menjadikan dirinya  gadis yang kolot ataupun lugu. Dia tetap gadis modern yang suka menggunakan sosial media dan tidak pernah telat dengan yang namanya memotret diri, atau selfi. Akan tetapi, dirinya tetap tidak pernah mengumbar siapa dirinya sebenarnya ke sosial medianya. 

Merasa tidak mengenal siapa pria tesebut, Bunga memilih untuk tidak membalas. Berharap jika lelaki itu tidak mengganggunya. Namun siapa sangka, pria itu justru malah menelponnya.

"Astaghfirullah hal'adzim, kenapa dia malah menelpon?" 

"Bagaimana ini? Bagaimana jika ketahuan Meitha? Bisa gawat, apalagi nanti ketahuan dengan santri yang lain. Bisa jadi contoh buruk aku!" 

Bunga bingung sendiri. Tak ada cara lain, Bunga terpaksa menjawab telepon dari lelaki tersebut. 

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Bunga dengan suaranya yang lembut. 

"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarokatuh. Huft, akhirnya di angkat juga," balas lelaki itu. 

"Maaf, Mas siapa, ya?" tanya Bunga, sedikit gugup. 

"Perkenalkan, namaku Jerry,"

"Lalu, bagaimana anda bisa mengetahui nomor saya? Ada hal apa yang ingin anda katakan kepada saya, sehingga anda menelpon saya malam-malam seperti ini?" lanjut Bunga bertanya. 

"Mungkin Tuhan yang memberi tahuku. Oh ya, bisakah kita bertemu besok? Aku ingin mengembalikan ipod milikmu yang tertinggal di bus," jawab lelaki yang mengaku namanya Jerry. 

"Em … Maaf, sepertinya saya tidak bisa. Besok saya masih harus sekolah," jawab Bunga lirih. 

Bunga ingin sekali segera mengakhiri teleponnya. 

"Aku akan menemuimu di halte dekat sekolahmu. Tepat jam pulang seperti tadi sore, bagaimana? Setuju, ya? Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, tuan putri,"

"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarokatuh," jawab Bunga bingung.

Jerry sudah menutup telponnya sebelum Bunga menjawab salamnya tadi. Membuat Bunga bingung sendiri, karena Jerry bicara hanya sampai di situ saja. 

Namanya Jerry Yan (25), pengusaha kuliner yang sudah banyak cabang dimana-mana. Memang saat itu tampilannya membuat Bunga risih karena berantakan sekali. Namun siapa sangka? Apa yang terlihat dari pasangan Bunga, bukanlah yang sebenarnya. 

Jerry Yan ini baru saja mengalami kemalangan. Mobilnya macet di jalan dan ia juga baru saja kecopetan. Membuatnya terpaksa harus naik bus. Jerry Yan ini begitu tampan. Namun, ketika di bus, dia terlihat kacau karena memang bajunya kotor dan terlihat seperti orang yang tidak baik. 

Ketika masih bingung, lagi-lagi ponsel Bunga berdering. Masih kesal dengan laki-laki yang bernama Jerry itu, sampai-sampai ia tidak melihat siapa yang menelponnya. Kemudian, menjawab dengan nada kesal.

"Apa lagi!" kesal Bunga.

"Apanya?" sahut seseorang yang menelponnya. 

Bunga pun memastikan kembali siapa penelpon kedua. Rupanya, dia adalah Rendy Saputra Akbar. Panggil saja namanya Rendy, berusia 17 tahun. Dia adalah kakak sepupu Bunga yang sejak kecil tinggal bersamanya karena di tinggal ibunya meninggal setelah melahirkannya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, Kak? Kak Bunga, ada apa? Apanya yang lagi?" tanyanya. 

"Ah, Rendy? Um, maaf … Aku pikir, yang menelpon si pengganggu itu," jawab Bunga, gugup. 

"Siapa pengganggu itu?" lanjut Rendy. "Wah, cie cie, siapa ini? Ehem, ada yang naksir, nih?" Rendy mulai menggoda. 

Bunga kesal. Rendy memang selalu saja mengganggunya, apalagi jika ada seorang pria yang tengah dekat dengan Bunga. "Tidak lucu!" ketus Bunga. 

"Baiklah, aku menelpon karena Abi bertanya,  Kakak kapan akan pulang ke rumahnya? Mama juga sudah merindukan dirimu, kak," tanya Rendy, menanyakan tujuannya menelpon sang kakak. 

Bunga terdiam. Semenjak menjadi seorang santri, dirinya memang jarang sekali pulang dan melarang orang tuanya untuk menjenguknya. Meski putri dari seorang ustadz dan kakeknya pemilik pondok pesantren, tetap saja Bunga ingin hidup layaknya orang biasa saja. Tidak perlu diistimewakan. 

"Aku akan hubungi kami atau Abi besok lagi, ya. Sebenarnya, hari ini aku agak demam. Jadi aku ingin tidur lebih awal," ucap Bunga dengan penuturan yang lembut. 

"Aku juga ingin mengatakan, bahwa aku akan lanjutkan kuliahku di Kairo. Apakah kakak bisa lanjutkan saja kuliahmu di sini?" tanya Rendy. 

"Curang!" ketus Bunga.

Bunga memiliki cita-cita ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri juga. Maka dari itu, dirinya sedikit tidak setuju jika Rendy juga pergi dari rumah. Mereka sama-sama memiliki ambisi untuk meraih masa depan yang cemerlang. Itu sebabnya, keduanya selalu berlomba untuk mendapatkan nilai istimewa. 

Malam itu Jerry Yan terus saja memandangi foto Bunga yang ada di profil sosmed milik Bunga sendiri. Jerry Yan ini sebenarnya laki-laki yang baik. Namun karena ia hanya di besarkan hanya oleh seorang Ibu saja, ia jadi kurang didikan dari seorang Ayah. Di mana, dulu ketika Jerry masih anak-anak, selalu di asuh oleh pengasihnya saja. Kemudian, sang ibu akan sibuk bekerja. 

***

Pagi hari seperti biasa. Rutinitas seorang santri tiap pagi, yakni shalat subuh dan mengaji.

Ketika Bunga hendak pergi ke mushola, ia melihat ada pesan masuk di ponselnya.

[Selamat pagi tuan putriku]

Pesan tersemat itu dari ternyata dari Jerry Yan. Masih merasa terganggu, Bunga pun mengabaikannya. Dalam pikirannya, mungkin saja Jerry Yan ini adalah laki-laki yang sama seperti kebanyakan pria di luaran sana yang hanya menggoda wanita saja.

Bunga ini juga termasuk salah satu murid cerdas di kelas. Dia sering mendapat peringkat pertama. Membuat orang tuannya bangga adalah tujuannya. Ia telah mondok di Pesantren selama hampir 6 tahun lamanya. 

Dalam benaknya, Bunga merasa jika selama hidupnya, kurang perhatian dari Abinya. Merasa jika kedua orang tuanya lebih menyayangi Rendy, sang sepupu, dibandingkan dengan dirinya yang anak kandungnya. Itu sebabnya, dia tidak pernah mau lama-lama di rumah dan malah kerasan di pondok pesantren. Belum lagi, kasih orang tuanya juga terbagi dengan satu adik lelakinya. Bunga masih memiliki satu adik laki-laki yang sangat manja. 

Namun, meski begitu, pikiran itu hanya sebatas pikiran saja. Bunga tak pernah kecil hati dan tak pernah berpikir negatif tentang orang tuanya. Bagaimanapun juga, Bunga tahu jika orang tuanya pasti sudah memberikan kasih sayang secara adil terhadap anak-anaknya. 

Semula, tujuan sang Abi memasukkannya ke Pesantren memang dari awal adalah keinginan Bunga sendiri. Bunga ingin menambah ilmu dan meluaskan pengetahuannya tentang agama.

Bunga ini juga tidak pernah iri hati jika sang Abi lebih mencintai kedua saudaranya. Sebab, dirinya sudah dibekali ilmu agama, mana mungkin seorang Ayah akan mengabaikan seorang putri, yang dimana kelak, akan menjadi penolongnya juga di akhirat nanti. Mendidik dan merawat anak perempuan tidak semudah yang terbayangkan. Sungguh berat dan besar tanggung jawab yang akan hisab nantinya ketika di akhirat nanti. 

***