webnovel

BINTANG PALING TERANG

Aku berdiri lagi dipinggir jalan. Gelap, sepi, dingin. Kedua mataku berair, namun pandanganku tak lepas dari pria bermantel hitam yang berdiri di sebrang jalan. Aku tak bisa merasakan nafasku atau detak jantungku.

Seluruh jiwa ku seperti sudah dihisap oleh tatapan pria di sebrang jalan yang juga menghujamku dengan kedua mata merah oranye yang mengkilau. Bibirnya bergerak dan anehnya aku bisa mengerti apa yang dikatakannya. Dia bilang, kalau kita akan bertemu.

Tubuhku membeku sementara aku tak bisa merasakan kakiku menyentuh aspal melihat senyum menyeringai yang sangat lebar.

Sangat berbeda dengan senyum seringai milik Jason yang mempesona, senyum pria di sebrang jalan itu, terasa kejam.

Aku membuka kedua mataku perlahan-lahan. Aku bersyukur hanya mimpi. Dan sekarang masih pukul 03:00 pagi. Aku berjalan keluar menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.

Dan aku menemukan Jason yang berdiri di balkon belakang di sebelah meja makan. Berdiri di samping sebuah benda berukuran kira-kira 2 meter, ku rasa itu sebuah teleskop.

Apa Jason memiliki hobi melihat benda-benda di langit? Atau hanya karena iseng?

Saat aku mencoba berjalan lebih dekat lagi, sepertinya Jason mengetahuinya, dan ia segera berbalik.

"Hai," Sapa ku dengan kikuk.

"Terbangun karena mimpi buruk?" Tanyanya dengan tenang. Tatapannya padaku sudah kembali seperti semula.

Aku tak melihat tanda-tanda kemarahan lagi di wajahnya yang terlihat sangat mempesona. Dan kedua mata biru itu seperti berseri-seri.

"Apa kau sedang melihat bintang?" Tanya ku mengalihkan pembicaraan.

Aku semakin berjalan menghampirinya. Dan jika dilihat dari dekat, benda ini adalah teropong bintang Celestron AstroMaster yang memiliki dua lensa okuler 20 mm dan 10 mm.

Dan jika aku tak salah, masing-masing lensa ini bisa diperbesar 45x dan 90x. Aku pernah melihat iklannya di internet, dan harganya sangat mahal menurutku.

"Aku sudah melihatnya sejak pukul 02:00 dini hari tadi." Jawab Jason, ku rasa ada sedikit kesombongan dalam nada bicaranya.

"Masih ada bintang, di sana, hanya ada satu titik. Aku tidak percaya mereka semua memiliki nama." Komentarku sambil menunjuk salah satu titik putih di langit gelap. Tak banyak bintang yang ku lihat saat ini di langit.

"Namanya Alpha Centauri A. Kau ingin melihat si 'bintang satu titik' itu?"

Aku menoleh pada Jason setelah aku menikmati suara Jason yang mengatakan kalau satu titik terang dilangit itu bernama Alpha Centauri.

"Aku tidak begitu tertarik pada satu titik itu," Jawabku mengulum senyumku. Sementara Jason terlihat memerhatikanku sambil mengangkat alisnya.

"Kau harus melihatnya baik-baik, Livia." Ucapnya sambil meraih tanganku dan menuntunku untuk berdiri di belakang teropong bintang mahal ini. Ia menggeser lensanya dan menyesuaikan tempat bintang yang ku sebut satu titik terang itu.

Mengatur besaran lensanya kemudian menuntunku kembali untuk memposisikan pandanganku pada lensa.

Kedua mataku membulat tak percaya, aku tersenyum antusias melihat bintang yang tadi ku lihat hanya satu titik, melalui lensa teropong ini, titik itu seolah terpecah menjadi tiga dengan bentuk indah yang amat terang.

"Kau lihat? Saat melihatnya dengan mata telanjang, bintang ini memang terlihat seperti satu titik. Tapi sebenarnya, ia adalah sistem tiga bintang." Ucap Jason menjelaskan. Ia berdiri di sebelahku dan suaranya begitu jelas di telingaku.

"Jason, ini terlihat sangat terang. Keren!" Pujiku tak habis pikir, aku tak pernah memerhatikan ini sebelumnya. Dan teropong bintang yang mahal ini benar-benar sangat setimpal dengan apa yang bisa kita lihat.

"Itu memang bintang paling cerah dalam rasi Centaurus." Sahut Jason membuatku tertawa pelan. Lewat teropong ini, rasanya bintang-bintang ini semakin dekat denganku.

"Lalu bintang apa yang menjadi favoritmu?" Tanyaku sambil mengalihkan pandanganku ke sebelah kiri, tepat dimana Jason berdiri di sebelahku.

"Archenar," Bisik Jason sambil menatapku dengan tatapan yang sangat lembut ke arahku.

Lagi-lagi aku tak bisa menahan senyumku.

"Archenar?"

"Kita tidak bisa melihatnya disini," bisik Jason pelan. Aku tak pernah berhenti terpukau dengan Jason. Kali ini aku benar-benar tak percaya, pria mempesonakan, hangat, dan cerdas yang ada di hadapanku ini adalah seorang vampir. Sangat berbeda jauh dengan buku yang ku baca milik Valerie.

Aku tersadar dari lamunanku ketika Jason meraih lenganku yang masih tertempel plester.

"Apa kaki dan tanganmu sudah membaik?" Bisiknya sambil memerhatikan lenganku dengan teliti.

"Jauh lebih baik berkat pertolongan pertama mu, Mr. William" Jawabku tertawa pelan.

Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 03:20 pm. Kemudian pandangannya kembali kepadaku.

"Ikutlah denganku," Bisiknya sambil meraih tanganku. Ia mengambil jaket miliknya yang ada di sofa.

"Kemana?"

"Melihat bintang favoritku. Dan beberapa yang akan menjadi favoritmu." Jawab Jason sambil menggandeng tanganku.

Wow. Melihat bintang favoritnya? Kemana dia akan membawaku? Aku kembali menggigit bibirku menahan senyum yang terus menerus berontak untuk muncul.

Kami sampai di garasinya, dan ia memilih mobil Bugatti Divo berwarna hitam berpadu biru langit di bagian sisi-sisi mobil mewah ini. Sangat cocok dengan gaya Jason.

Sebenarnya, semua mobil miliknya yang ada di sini, memiliki gaya yang cocok dengannya. Tapi untuk Bugatti ini, ku rasa paling pas dengan usianya yang masih muda.

Ia membukakan pintu mobil untukku, dan aku harus sedikit menunduk untuk masuk ke dalam mobil ini. Aku terkejut begitu melihat semua yang ada di dalam mobil ini begitu canggih.

Sialnya, aku tak pernah melihat ini, jadi aku tak mengerti bagaimana mengendarai mobil mewah ini. Tapi Jason, dengan sangat percaya diri mulai menghidupkan mobil.

Aku memeluk tubuhku sendiri dengan jari-jari tanganku yang berada di sekitar bibirku. Tak tahan melihatnya yang begitu menakjubkan dengan segala kelebihannya.

Melupakan sikap pemarahnya yang menyebalkan. Ia sempat melirikku sebentar sebelum melajukan mobilnya, dan dia tersenyum sexy!

Mobil ini sangat amat nyaman, melaju dengan cepat di jalanan kota London yang masih gelap dan sepi. Tiba-tiba saja aku kembali mengingat mimpiku tadi malam. Siapa sebenarnya pria bermantel hitam yang menyeramkan itu?

Kemudian aku sadar kita memasuki sebuah jalan yang dikelilingi pohon-pohon pinus yang tinggi. Ku rasa ini menuju ke sebuah pedesaan kecil? Dan jalanan ini menanjak. Aku tak percaya Jason memakai mobil mewahnya ini untuk masuk ke dalam hutan.

"Apa kau selalu bangun sepagi itu?" Tanyaku memecah keheningan di antara kami berdua. Jason terdiam sejenak kemudian, tanpa menoleh padaku, dia menjawab, "Aku tidak tidur."

"Kenapa?"

"Karena aku seorang pureblood." Jawab Jason dengan singkat.

Satu fakta lagi yang ternyata benar ditulis dibuku milik Valerie. Seorang vampir tidak tidur di malam hari.

Jason menghentikan mobilnya disekitar pedesaan yang terlihat sangat sepi. Seperti desa tak berpenghuni.

Kemudian Jason membukakan pintu mobil untukku, meraih tanganku, dan kembali menggandeng tanganku.

Saat aku keluar, ternyata aku menginjak permukaan tanah yang ditutupi rumput hijau yang tebal dan terasa lembut.

Aku melangkah maju dan baru menyadari kalau aku berasa di atas bukit, dibawah ku, ada aliran sungai yang jernih. Hingga pantulan cahaya dari langit terlihat jelas di atas air.

Otomatis, aku segera menggerakkan kepalaku ke atas, melihat langit yang membuatku semakin tak percaya melihatnya. Maksudku, aku melihat ratusan bintang di langit hingga langit dipenuhi dengan paduan warna ungu gelap, biru, dan putih.

"Jason, apa ini seperti Milky Way?" Tanyaku dengan antusias. Jason malah tertawa kemudian menghampiriku.

"Bukan seperti, ini memang Milky Way, Livia." Jawab Jason ikut menengadahkan kepalanya ke atas.

"Apa kita masih di London?" Tanyaku penasaran. Aku seperti berada di Connemara, Irlandia. Tempat dimana orang-orang sering membicarakan keindahan langit di sana.

"Tepatnya di sebelah selatan kota London."

"Tapi kenapa desa ini seperti tidak berpenghuni? Apa tidak ada orang lain yang mengetahuinya?"

Sangat rugi jika orang lain tidak tahu. Tempat ini begitu asri, indah, dan seperti jarang terjamah manusia. Walaupun kecil dan berada di tengah hutan.

"Memang tidak ada yang tinggal disini, Livia." Jawab Jason membuatku terkejut sekaligus heran.

"Kenapa?"

"Karena desa ini milikku."

Aku berhenti menikmati pemandangan langit untuk sejenak dan menoleh padanya, aku ingin tahu jelas apa maksudnya mengatakan itu.

"Desa ini milikmu? Bagaimana bisa?"

"Ya, dengan beberapa negosiasi, proses hukum, dan pencairan cek. Maka desa ini secara sah milikku."

Nah! Aku tak berani memikirkan apa lagi yang Jason miliki. Aku tak pernah menyangka akan terlibat hubungan dengan orang yang kaya raya.

"Bernafaslah, Livia. Kau harus terbiasa dengan fakta ini." Bisiknya mengejek.

"Baiklah, Mr. William. Maafkan aku, mungkin dari sekian banyak wanita yang kau bawa ke sini, hanya aku yang sangat terkejut mengetahui fakta ini." Tukasku pelan kemudian berjalan semakin maju untuk menikmati pemandangan dan bunyi air yang tenang dari sungai yang sepertinya berada beberapa meter dari bukit.

"Sayangnya hanya kau yang pernah aku ajak ke sini, Livia." Sahut Jason pelan.

Aku menghembuskan nafasku berusaha tenang. Hatiku mulai melebarkan sayapnya.

Pengalaman yang sangat-sangat baru bagiku.

Jason menunjuk beberapa bintang sambil berbisik, "Bintang yang paling terang, berwarna kebiruan, itu adalah Archenar."

Aku kembali takjub melihatnya. Jadi itu bintang favorit Jason. Bintang yang istimewa dari bintang lainnya.

Pandanganku beralih pada Jason lagi. Aku rasa aku memandangnya takjub sekaligus bingung. Kau ini sebenarnya apa Jason? Sangat membingungkan. Dan aku harus mengakui kalau aku sangat-sangat menyukaimu.

Tapi apa yang akan terjadi jika aku mengatakannya? Apa dia akan menertawakanku? Atau dia akan pergi? Dan perempuan yang bernama Anna itu, siapa vampir cantik itu? Apa mereka memiliki hubungan?

"Kenapa aku merasa, kau sangat bertentangan dengan sosok vampir yang ku baca?" Bisikku tak tahan lagi untuk mengutarakan pertanyaan itu.

Pertanyaan yang begitu membuatku bingung dan sangat penasaran. Bahkan lebih dari pertanyaan soal siapa aku ini sebenarnya?

"Dan vampir seperti apa yang kau baca, Miss Alisca?" Bisik Jason kembali menatapku. Dia berdiri di hadapanku dengan kedua mata indahnya yang mengkilat menatapku.

"Vampir yang sangat dingin, menyeramkan, haus darah, alot, menolak ilmu pengetahuan, dan tak berperasaan." Bisikku sambil terus berpikir untuk mengoreksi atau membandingkannya dengan Jason.

"Jadi menurutmu aku tak begitu?"

"Kau, hangat, mempesona, cerdas, dan.. berperasaan." Jawabku dengan suara yang semakin memelan.

Jason menarik daguku dengan perlahan untuk mendongak menatap matanya. Ia menangkupkan tangan kanannya di pipi kiriku, kedua matanya terus memerhatikanku seolah mencari sesuatu, atau memikirkan sesuatu.

Kemudian dia semakin menundukkan

kepala, merengkuh wajahku di kedua tangannya. Dan aku spontan menutup mataku ketika bibirnya menyentuh bibirku. Aku merasakan tubuhku memanas ketika aku membuka sedikit mulutku, membuat Jason mengulum bibir bawahku dengan bersemangat. Dan aku mendapat dorongan untuk membalas gerakan bibirnya padaku.

Aku meringis pelan, saat ku rasa Jason menggigit bibirku. Kemudian, Jason melepaskan ciumannya dan menatapku dengan panik.

"Livia.."

Jason mengatupkan bibirnya keras, kemudian dengan lembut ia mengusap bibirku dengan ibu jarinya.

Terasa perih sebentar, namun aku menutup mataku lagi menikmatinya.

Ketika aku membuka mata lagi, Jason memasukkan ibu jarinya ke dalam mulutnya, ternyata itu tujuannya mengusap bibirku yang berdarah.

Oh Tuhan, kenapa itu terlihat sangat sexy. Livia bibirmu robek karena pria ini. Well, hanya sedikit. Aku yakin memberikan luka kecil yang membekas dibibirku.

"Mulai sekarang, setiap kali kau melihat luka dibibirmu, kau akan ingat kalau aku adalah vampir yang tak berperasaan." Bisiknya sambil menutupi bibirku dengan sapu tangan biru laut miliknya.

Akhirnya, Jason menciumku. Walaupun sekarang aku mengerti maksudnya tidak mau menciumku karena takut menyakitiku.

Tapi walaupun bibirku berdarah, aku tak merasakan sakit sama sekali, karenamu Jason! Makhluk mempesona paling memabukkan yang pernah ku temui.

"Kita harus pulang sekarang," Bisiknya lagi sambil menggandeng tanganku menuju mobil. Dan aku terus menutupi mulutku dengan sapu tangan. Bukan karena lukanya. Tapi karena menutupi senyum yang tak tertahankan ini.

"Bagaimana perasaanmu, Miss Alisca. Aku sudah memperingatimu." Bisik Jason sambil mengendarai mobilnya.

"Luar biasa." Jawabku pelan kemudian mengalihkan pandanganku keluar jendela. Menyembunyikan wajahku yang memerah.

Aku melirik Jason sekilas dan aku bisa melihat dia tersenyum sambil mengusap-usap bibirnya dengan jarinya lagi.

Saat kami sampai di apartemen, kami sudah disambut oleh Mrs. Elise.

Aku masih menutupi mulutku dengan sapu tangan Jason.

"Siapkan darahnya di dua botol."

Aku mendengar Jason berkata pada Mrs. Elise. Dan Mrs. Elise langsung mengangguk mengerti kemudian pergi ke dapur.

Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 05:50 pagi.

Aku segera menaiki tangga menuju kamarku.

"Livia.." Panggil Jason.

Aku buru-buru berbalik dan menatapnya.

Jason mengisyaratkanku untuk ikut masuk ke dalam kamarnya.