"Kemana perempuan itu!" Popoh mondar-mandir di luar aula. Beberapa perempuan dari harem kelas rendah berada bersamanya.
Tampak wajah khawatir dari Popoh maupun Patra. Mereka tak bisa pergi begitu saja dari aula. Jika mereka melakukannya, maka hukuman penjara bawah tanah siap menanti.
Patra meremas-remas genggaman tangannya. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya. Sudah lewat beberapa menit, tetapi Ayla belum kembali ke tempat.
"Popoh, apa mungkin Ayla tersesat?" Patra memberanikan diri bertanya. Bagaimanapun juga, bagi Patra Ayla adalah satu-satunya sahabat yang bisa membuatnya tidak merasa kesepian di harem.
"Bodoh sekali dia!" Popoh sembari mendengkus kesal. "Kita tak bisa melapor atas kehilangannya sekarang. Kau lihat sendiri, para pangeran sedang berada di perjamuan dengan para bangsawan. Buat apa mengurus seorang budak dengan kasta rendah!"
Patra semakin kalut, tak sadar kedua matanya kembali berembun. Bagi Patra, Ayla adalah lebih dari seorang sahabat. Mereka berdua seperti saudara.
Mereka di bawa dari negeri seberang yang jauh.
Ayla diambil paksa dari negeri timur yang bernama Mur, negeri yang sangat indah dengan tanahnya laksana batu zamrud yang hijau, sedangkan Patra diambil dari negeri barat bernama Atlanta, negeri yang tak kalah indahnya meskipun dikelilingi pegunungan salju.
"Ayla, dimana kau, jangan pernah meninggalkanku sendirian lagi." Patra menggumam pelan sembari menahan sesak di dada nya, ia sangat takut kehilangan Ayla untuk yang kedua kalinya.
Saat penghuni harem istimewa sedang melayani para pangeran dan bangsawan di dalam aula, harem berkasta rendah masih menunggu giliran untuk melayani para bangsawan.
Tetapi, jika Popoh sudah membawa keluar para harem, itu artinya mereka sudah tak dibutuhkan lagi. Para harem kelas rendah itu harus keluar dari acara.
"Sebaiknya kalian kembali ke harem," ajak Popoh.
"Tapi, Bagaimana dengan Ayla?" Patra bertanya dengan nada khawatir.
"Kita akan mencarinya besok!" Popoh sudah geram jika harus menunggu kepulangan Ayla.
Ia pun tampak berpikir bahwa budak perempuan itu akan dengan mudah kembali ke istana utama. Apalagi, masih terdapat hutan di belakang istana.
Popoh berharap Ayla akan baik-baik saja, jika ia tidak sedang beruntung, maka hewan buas akan mencabik-cabiknya.
Popoh mulai melangkah meninggalkan aula. Lima orang perempuan muda penghuni harem terpaksa mengikuti langkahnya menuju harem.
Meskipun dengan perasaan khawatir, Patra terpaksa mengikuti langkah Popoh. Ia lebih baik menunggu di harem sembari mendoakan agar Ayla baik-baik saja di luar sana.
***
"Kau!" Pria tampan dengan netra karamelnya itu melepas tangannya dari punggung Ayla.
Bunyi berdebum disertai ringisan kecil membelah kesunyian di hutan.
"Aauuggh, kenapa Anda melepaskan tangan." Ayla mengusap-usap pantatnya yang bertabrakan dengan tanah.
"Pergilah!" Pangeran Deniz, dengan tatapan dinginnya sembari memasukkan kembali belati ke dalam sarungnya.
"Saya tersesat, Tu … Maksud saya, Pangeran." Ayla memberanikan menatap wajah dingin itu dengan tatapan memelas.
Meskipun dalam hatinya, ia memendam rasa takjub ketika menatap keelokan wajah dengan rahang tegas dan tatapan setajam elang di hadapannya.
'Tampan, tampan, tampan. Kenapa mereka tak bisa melihat ketampanan sang pangeran. Wajahnya memang dingin, tetapi aura ketampanannya membius' Ayla membatin sembari berlama-lama dan memuaskan diri menatap wajah itu.
"Apa yang kau inginkan!" Tatapan dingin itu kembali menyentak seluruh syaraf Ayla.
"Mir … Hhmm maksud saya, hanya ingin pulang karena tersesat." Ayla meralat ucapannya. Ia hampir saja menyebut batu mirah delima. Sesekali netra cokelatnya melirik ke arah pedang yang menggantung di pinggang sebelah kiri pangeran ketiga.
"Tak ada yang diinginkan perempuan penghuni harem kecuali mengejar para pangeran dan bangsawan!" ujar pangeran Deniz dengan nada dinginnya. "Kau salah! Masih banyak pangeran lain dan putra mahkota, kau bisa rayu mereka!"
'Apa maksud pangeran' batin Ayla semakin menerawang. Pasti ada yang tidak beres dengan pangeran gagah dan elok itu.
"Anda salah, Pangeran. Saya benar-benar tersesat. Saya tahu Anda adalah pangeran paling baik di seluruh tanah ini." Ayla memberanikan diri menyentuh lengan pangeran Deniz.
Pria itu terkesiap, ia menatap tangan Ayla sembari mengerutkan dahinya dalam-dalam. Mungkin dalam benaknya, perempuan yang sedang berada di dekatnya ini sangat tidak sopan.
"Jauhkan tanganku dari lenganku!" Perintah pangeran Deniz bernada dingin. Ayla dengan cepat menjauhkan tangan mungilnya dari lengan kokoh tersebut.
Pangeran Deniz tanpa mengatakan apapun, melangkah dengan cepat. Ayla yang tak mengerti, ia menyusul dan berusaha mengikuti langkah sang pangeran.
"Pangeran, Tunggu!" Ayla merasa kakinya kembali nyeri. Ia meringis, rupanya kaki milik budak yang dihuni Elena benar-benar lemah. Bahkan untuk berjalan tidak terlalu jauh saja rasanya tak sanggup.
Pangeran Deniz terus saja berjalan menjauhi hutan di belakang istana. Ayla merutuk dalam hati, kenapa pria gagah itu begitu dingin. Apakah ia tak pernah menginginkan seorang wanita dalam hidupnya.
"Pangeran …." Ayla memberanikan diri memanggil pria itu dengan lirih. "Apakah kita masih lama."
"Aku tak pernah berniat mengantarmu," jawab pangeran Deniz dengan nada datar. "Aku mau pulang ke istanaku."
"Jadi, Anda mau ajak aku ke istana Anda?" Ayla mempercepat jalannya, sekarang ia berada tepat di samping pangeran.
"Ma'af, aku tak pernah tertarik mengajak seorang budak ke istanaku!" Ucapan pangeran Deniz cukup pedas. Ayla menjulurkan lidahnya untuk sang pangeran. Mengejek. Sebagai tanda geramnya.
"Lalu, kenapa sekarang Anda berjalan pulang. Aku hanya meminta tolong untuk diantar ke harem. Itu saja, tidak lebih." Ayla seolah mendesak sang pangeran.
"Aku tak pernah mengatakan akan mengantarmu!" Kata-kata pangeran tetap sama, pedas dan sinis. "Dan jangan banyak bertanya!"
"Apakah seorang budak seperti saya bahkan tak pantas hanya untuk sekedar bertanya pada seorang pangeran seperti Anda? Lalu, Bagaimana ia bisa memerintah sebuah kerajaan dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, jika untuk menghormati seorang budak saja kalian enggan." Ucapan Ayla membuat pangeran Deniz tersentak, ia menghentikan langkah. Merasa terganggu dengan ujaran Ayla.
"Oouuwwgg!" Ayla mengusap ujung hidungnya. Karena sang pangeran berhenti mendadak, ia tak mampu menguasai langkahnya.
"Kau seorang budak, tetapi mulutmu pedas sekali!" Ucapan pangeran Deniz bernada dingin. Ayla tersentak, ternyata ia berdiri tepat di hadapan sang pangeran. Berdiri menjulang, Ayla hanya setinggi dada pria itu, ia bahkan harus menengadahkan wajah untuk menatap sosok gagah di hadapannya.
"Seorang budak maupun seorang pangeran, itu hanya sebutan saja. Hanya berbeda status keluarga. Tetapi, baik budak maupun bangsawan, tetaplah manusia yang memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan," sahut Ayla tak kalah pedasnya.
Pangeran Deniz mendengkus kesal, sepertinya ia sudah kewalahan meladeni cicitan sang budak cantik nan cerdas itu.
Ia tak memungkiri, budak rupawan itu mampu membuat rasa bergejolak di bagian tertentu yang sangat sensitif miliknya. Untuk itulah, ia berusaha menahan diri untuk tidak menatap Ayla lama-lama.
Pangeran Deniz menggeleng, ia kembali memutar tubuhnya. Tanpa mengatakan apapun, Ayla hanya bisa mengikuti kemana pria itu pergi.
Beberapa saat kemudian.
"Akhirnya aku bisa melihat cahaya!" Ayla girang dan berjalan mendahului pangeran Deniz. Ia berada di depan pria itu sekarang. "Tetapi, dimana letak harem?"