Bel pulang sekolah sudah berdering. Sia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, lalu segera keluar dari kelas. Ia berjalan di koridor seorang diri. Jika kalian berpikir Sia tidak mempunyai teman, kalian benar. Teman-teman sekelasnya hanya berpura-pura baik saja untuk memanfaatkan Sia yang pintar dalam pelajaran. Alasan Sia tidak mempunyai teman? Sia bukan lah anak dari kalangan orang kaya. Dia sederhana, begitu pula dengan penampilannya, di tambah lagi Sia merupakan murid beasiswa. Tidak ada yang sudi berteman dengannya mengingat murid SMA Garuda kebanyakan dari kalangan orang kaya.
"Aw!" Sia meringis ketika sebuah botol minum yang sudah habis isinya mengenai kepalanya.
"How are you, Brisia?"
Sia menoleh ke samping dengan tangan yang masih memegang kepalanya. Tampak Clara berjalan ke arahnya dengan tangan yang dilipat di depan dada. Cewek itu berjalan dengan dua temannya. Viola dan Andin.
Sia menurunkan tangannya. Ia memejamkan mata sebentar sambil menghembuskaan napas pelan. Ia lalu melanjutkan langkahnya lagi, namun Clara keburu mencekal tangannya.
"Mau kemana lo?"
"Pulang," jawab Sia singkat. Tidak ingin berlama-lama dengan tiga orang licik itu.
Clara tertawa sebentar. Lebih tepatnya tertawa yang mengarah ke mengejek. "Pulang? Gue pastiin hari ini lo nggak akan bisa pulang ke rumah kumuh lo itu."
"Emangnya kalian mau apain gue? Mau bully gue lagi?"
Clara menepuk pipi Sia pelan. "Uw, kayaknya sekarang lo makin pinter deh."
Sia menurunkan tangan Clara dari pipinya. Ia menatap Clara tajam. "Kalian bertiga emang kurang kerjaan banget ya? Males gue liat muka kalian."
PLAK!!
Clara menampar pipi Sia. Ia menunjuk wajah Sia dengan jari telunjuknya. "Jaga ucapan lo! Salah sedikit, bisa bahaya buat nyawa lo!"
"Lama. Mending langsung seret aja lah, Rin," ujar Andin dengan wajah angkuhnya.
"Oke! Let's do it."
Viola dan Andin langsung mencekal kedua tangan Sia, sedangkan Clara mengeluarkan lakban hitam dan gunting dari dalam tasnya. Ia menggunting lakban lalu menempelkannya di mulut Sia.
"Cepet bawa ke mobil!" perintah Clara yang langsung dilaksanakan oleh kedua temannya.
"Ini bakal seru. Selamat menikmati, Sia," ujar Clara sambil tersenyum devil. Ia kemudian melajukan mobilnya entah hendak pergi kemana.
***
"Al, lo aman?" tanya Lean ketika melihat Alterio baru saja datang di WARBAJO. Cowok itu baru saja pulang dari markas GXC. GXC adalah geng yang bekerja sama dengan geng Brata. Tadi Elang -si ketua geng GXC - menantang Alterio untuk berkelahi. One by one. Alasannya? Karena Alterio sudah membuat Ferdi masuk rumah sakit.
Alterio mengacungkan jempolnya. Ia menaruh tas sebagai bantalan kepala, lalu memejamkan mata dengan tangan kanan yang menutup matanya dan tangan kiri yang terlipat di atas perut.
"Ada yang luka nggak lo?" tanya Zico. Namun Alterio tidak menjawab. Sepertinya cowok itu sudah tertidur.
"Gea cantik banget astaga," puji Andra sambil melihat postingan Gea di instagram.
"Gea? Anak mana tuh?" tanya Lean sambil melihat ke arah ponsel Andra.
"Gea temen sekelas kita lah anjir. Yang suka main tiktok goyang mama muda. Masa nggak tau?"
"Coba liat." Lean langsung menarik ponsel Andra tanpa persetujuan dari si pemilik. Membuat Andra berdecak kesal.
"Main tarik aja lo. Kalo hp gue lecet gimana?"
"Gue ganti ntar. Iphone sekalian."
"Good, Le. Aku suka sombongnya," kata Mondi.
"Jelek ah. Cantikan juga emak gue," kata Lean setelah melihat foto Gea. Ia lalu melempar ponsel Andra ke kursi yang terbuat dari bambu.
"GOBLOG HP GUE DI LEMPAR! KALO LECET GIMANA BAMBANG? DIMARAHIN EMAK GUE NTAR!"
"GUE GANTI DIBILANGIN! SANS AJA!" ujar Lean tidak kalah ngegasnya.
"KENAPA LO IKUTAN NGE GAS JUGA?!"
"SUKA SUKA GUE LAH! MULUT MULUT GUE!"
"Woy elah berisik! Lo liat noh si Sapian. Anteng sambil belajar. Nggak kayak kalian," ujar Mondi sambil menunjuk Savian yang sedang mengerjakan soal dengan tenang sambil mendengarkan musik melalui headphone.
"Jiwa malas gue bergetar melihat Sapian ngerjain tugas," ujar Gilang lalu menyesap rokoknya kembali.
"Sap, ntar gue nyontek ya," kata Lean yang sudah selesai bacoting dengan Andra.
Savian melepas headphonenya. "Ha? Lo bilang apa, Le?"
"Ntar gue nyontek di lo."
Savian menggeleng dan melotot. "Punya otak kan? MIKIR!" balas Savian tiba-tiba ngegas.
"NGGAK USAH NGEGAS! PAKE MELOTOT SEGALA LAGI!" Itu lah Lean. Jika sudah dipancing ngegas, dia akan ikutan ngegas juga. Dasar.
"Nyenyenye," balas Savian sambil mengerucutkan bibirnya.
"Eh, itu bukannya mobilnya Clara ya?" tanya Zico menunjuk sebuah mobil Sedan warna hitam yang barusan lewat.
Lean, Savian, Andra, dan Mondi ikut melihat mobil Clara.
"Emang iya. Terus kenapa? Mau nebeng lo?" kata Mondi.
"Ya nggak lah. Tumben aja gitu dia lewat ke sini, rumah dia kan arahnya ke sana. Mau kemana ya dia?"
"Ya mana gue tau. Lagian kenapa jadi lo yang kepo? Naksir lo sama dia?"
"Yakali gue naksir sama cewek modelan kayak Clara. Cantik sih tapi licik."
"Clara?" tanya Alterio yang baru saja bangun. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari tangannya.
"Ho'oh. Kenapa emang?" tanya Zico heran.
"Nggak." Alterio mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Ia langsung menghubungi Sia. Sial, nomornya tidak aktif. Alterio khawatir Sia akan diganggu oleh Clara dan teman-temannya lagi. Alterio sangat tau seperti apa sosok Clara. Licik dan jahat.
"Sap, lo bisa lacak lokasinya Clara lewat nomor hp nya nggak?"
Savian yang pintar dalam bidang komputer pun mengangguk. "Bisa. Mau gue lacak sekarang?"
Alterio mengangguk. "Yang cepet, Sap."
"Bos, emang ada apaan sih?" tanya Zico penasaran.
"Gue curiga tadi Clara bawa Sia. Nomor hpnya Sia nggak aktif."
"Kalo ternyata hp dia abis baterainya gimana?" tanya Gilang.
"Nggak. Sia jarang main hp."
"Berhasil! Dia ada di jalan Lembayung," terang Savian.
Alterio langsung mengambil kunci mobil dan segera menuju ke jalan Lembayung. Firasatnya tidak enak.
Harusnya lo bisa ngelawan mereka Si. Jangan pernah takut selama lo benar. Karena yang salah, akan tetap kalah. - Batin Alterio
Ia menambah kecepatan mobilnya. Lampu merah pun ia trobos. Ia tidak ingin Sia terluka, bukannya apa-apa, Sia adalah teman sekaligus tetangga terbaiknya. Dia juga sering membantu Alterio, entah itu dalam bentuk tugas atau pun mengobatinya.
***
Viola dan Andin mendorong masuk Sia ke dalam sebuah rumah kosong. Membuat Sia jatuh tersungkur. Lututnya sedikit berdarah karena tergores kerikil. Rumah kosong itu tidak berlantai, masih tanah dengan banyak kerikil kecil namun tajam. Viola langsung mengikat kedua tangan Sia.
"Heh, Sia!" Clara mendekati Sia dan menyentuh dagunya.
"Gue udah bilang kan sama lo? Nggak usah deketin Al lagi! Dia bakal jadi milik gue asal lo tau! Lo juga harusnya sadar, cewek miskin kayak lo itu nggak akan bisa sebanding dengan Alterio!"
Sia hanya bisa menatap Clara tajam. Ia tidak bisa bicara karena mulutnya masih di lakban.
"Oh lo mau ngomong?" Clara melepas lakban Sia dengan cepat. Perih. Itu yang Sia rasakan.
"Ayok ngomong. Mau ngomong kan lo?"
"Ya. Gue mau bilang kalo lo itu lebih nggak pantes buat Alterio. Lo tau kenapa? Karena lo itu cewek licik, Cla! Lo liat Amanda, dia juga suka sama Al tapi nggak gini caranya. Cara lo untuk mendapatkan Alterio itu salah!"
PLAK!
Clara kembali menampar Sia. "Berani lo ngomong gitu?! Percuma gue buka lakban, nggak guna!" Clara kembali melakban mulut Sia.
"La, Ndin. Sekarang," ujar Clara. Viola dan Andin mengambil ember berisi air yang ada di sudut ruangan. Lalu dengan tega mereka menyiram Sia. Menyebabkan seragam Sia tembus pandang. Mending kalo hanya air biasa. Mereka mencampurkan air dan juga es batu. Sangat dingin.
"Si, lo nggak pernah make up kan? Gue make up in lo deh," ujar Viola lalu mengeluarkan lipstick dari saku jaket jeansnya. Ia langsung mencoret wajah Sia dengan lipstick. Di pipi, hidung, kelopak mata, dan dahi.
"Lo makin cantik deh Si kalo kayak gitu," ejek Andin sambil tertawa. "Oh ya, gue ada telur nih. Mau nggak Si?"
Andin melempar telur ke seragam dan rambut Sia. Sia tidak tahan dengan semua ini. Ia ingin berteriak dan melawan namun tidak bisa. Sia tidak ingin menangis, tapi, apa daya? Air matanya lolos begitu saja.
"Nangis lo? Cengeng. Kuy pulang, kita biarin dia tinggal di sini."
Clara, Viola, dan, Andin berbalik. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Alterio yang baru saja datang.
"Bitch. Cara kalian terlalu klasik," ujar Alterio sinis.
"Al. Lo salah paham. Ini nggak seperti yang lo kira," ujar Clara mencoba menjelaskan.
"Iya Al. Kita di sini itu untuk menolong Sia. Iya kan, Si?" tanya Viola sambil memandang Sia.
"Al, gue sama temen-temen gue masih ada urusan. Duluan." Clara melangkah keluar. Namun rambutnya keburu ditarik oleh Alterio.
"Aduh Al sakit! Lepasin!"
"Gue bakal lepasin lo dengan dua syarat."
"Iya iya! Apaan aduh sakit!"
"Pertama lo harus janji jangan pernah ganggu atau pun bully Sia lagi."
Clara terdiam sebentar lalu mengangguk. "Oke gue janji!"
"Kedua, lo dan temen temen lo harus jadi babunya Sia."
"HAH?!" teriak ketiganya kaget.
"Gue si ogah," kata Andin sembari mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.
"Gue apa lagi," tambah Viola dengan memutar mata malas.
"Kalo kalian nggak setuju nggak papa. Siap-siap aja selama di sekolah kalian ngggak akan tenang."
"Nggak bisa ganti apa syaratnya? Yang lain deh," tawar Clara.
Alterio semakin kencang menarik rambut Clara.
"Aw! Sakit aduh!" teriak Clara.
"Janji nggak?"
"OK deh janji," jawab ketiganya. Ngeri juga jika sudah diancam oleh Alterio. Mengingat dia adalah ketua geng.
Alterio melepas tangannya dari rambut Clara. Ia mengangkat ponselnya. "Kalian udah gue rekam. Berani langgar, liat nanti resikonya."
"Ck!" decak Clara kesal. Lalu ia segera pergi bersama temannya.
Alterio melangkah mendekati Sia. Sia menggelengkan kepalanya seolah tidak mau Alterio mendekatinya.
"Kenapa lo geleng-geleng? Gue kan cuma- ASTAGFIRULLAH!" Alterio segera berbalik badan ketika melihat seragam Sia tembus pandang.
"Kenapa lo nggak bilang kalo seragam lo tembus pandang sih? Oh ya mulut lo kan di lakban." Alterio melepas jaketnya. Ia kembali mendekati Sia dengan mata yang tertutup. Ia menutupi seragam Sia dengan jaketnya. Setelah dirasa jaketnya sudah menutupi, Alterio membuka matanya perlahan.
"Nah udah nggak keliatan." Alterio melepas lakban dengan hati-hati. Lalu melepas tali yang mengikat tangan Sia.
"Anjir muka lo, Si. Jelek amat."
Sia memukul lengan Alterio. "Sialan lo!"
"Oh ya Si, biar nggak salah paham. Dalaman lo nggak keliatan kok tadi."
Sia kembali memukul lengan Alterio. "Udah ih nggak usah bahas itu. Ayok pulang."
"Skuy lah. Duh mobil gue otw bau nih," ujar Alterio ketika mencium bau amis akibat bekas telur yang ada di seragam Sia.
"Al, jangan gitu lah," ujar Sia kesal.
"Iya enggak. Yaudah masuk."
Sia dan Alterio memasuki mobil. Ketika dalam perjalanan, Alterio melirik ke arah Sia yang tampaknya sedang melamun.
"Harusnya lo bisa ngelawan mereka. Nggak perlu takut. Karena yang salah itu mereka."
"Ngelawan gimana? Mereka bertiga cuy!"
"Lo sih di suruh ikut ekskul bela diri nggak mau. Jadi gini kan?"
"Kenapa jadi nyalahin gue? Ngeselin lo mah."
Alterio tertawa mendengarnya. Ia menghentikan mobil ketika sudah sampai di depan rumah Sia.
"Lupa. Makasih ya Al," ujar Sia sebelum turun dari mobil.
Alterio mengangguk. "Langsung mandi Si. Penampilan lo jelek banget sumpah."
"Tanpa lo kasih tau juga gue tau. Dan nggak usah ngeledekin gue lagi!"
"Eh tunggu dulu Si," Alterio mencekal tangan Sia yang hendak turun dari mobil, "tadi gue bohong."
Sia mengangkat sebelah alisnya. "Bohong apaan?"
"Soal dalaman lo tadi. Warna item kan?"
Blush. Wajah Sia merah padam menahan malu. Ia memukul lengan Alterio dengan kesal. "ALTERIO! MATI AJA LO!"
***