Starla mematikan alarm ponselnya, tubuhnya terasa berat sekali pagi ini, matanya juga agak bengkak akibat menangis semalam.
Starla bangun dari tidurnya, merenggangkan ototnya, barulah berjalan ke kamar mandi, membersihkan seluruh tubuhnya dan giginya setelah selesai ia memakai mencari pakaian olahraganya, karena semalam ia tidak sempat mempersiapkan buku pelajaran, jadinya ia melakukannya sekarang; geografi, Indonesia, PPKN. "Hm," ia mengambil pakaian seragam gantinya, serta bedak dan lip gloss, agar tak terlihat pucat sehabis olahraga.
Starla memastikan semua keperluan tidak ada yang tertinggal. "Baju, buku, make-up, sudah semua..." ia pun keluar dari kamar, tetapi berhenti, ragu turun ke bawah ada Ibunya yang mungkin akan menasihatinya lagi.
Starla tidak yakin apakah kali ini ia akan kuat menahan air matanya mendapat nasihat Ibunya, ia tahu Ibunya melakukan yang baik untuknya, tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya sendiri.
Starla mengambil napasnya, barulah menuruni tangga, pandangan matanya tetap tertuju ke anak tangga yang dilangkahinya, barulah setelah sampai di bawah, matanya lurus ke depan, sesuai dugaan, ada Ibunya di sana sedang duduk di sofa sambil meminum teh, sudah memakai pakaian kerja, maklum saja, Ibunya memiliki kebiasaan takkan tidur lagi sehabis sholat subuh berbeda dengannya.
Rosa meletakan cangkir teh hijaunya. "Duduklah Starla."
Starla menurut tanpa menjawab, duduk di seberang Ibunya.
'Ingatlah Starla, Ibu melahirkanmu hingga bertaruh nyawa demimu, jangan marah atau membentak meski kau kecewa sama Mama.' kata Starla dalam hatinya.
"Bagaimana tidurmu?" tanya Rosa kalem.
Starla mengambil napas dalam. "Baik Ma," ia terlelap sehabis menangis.
Rosa tersenyum kecil. "Starla terlihat lesu sekali padahal Mama sama Papa mau memberikan kabar baik buat Starla loh."
"Eh?" Starla yang tadinya hanya tertunduk, menatap Ibunya sekarang. "Kabar baik?"
Rosa mengangguk. "Semalam, Mama dan Papa berdiskusi soal tindakanmu dan Denis, kami berpikir, berargumen, bertukar pikiran semalaman lewat telepon..."
Degub jantung Starla berdetak lebih cepat dari sebelumnya, dalam hatinya berharap bukan tentang memperketat perlindungannya dan Denis, ia takkan tahan dengan itu, ia yakin Denis juga, tetapi Ibunya bilang kabar baik, haruskah ia senang? Ia menunggu dengan was-was.
"Akhirnya dengan sedikit tekanan dari Mama, Papa setuju untuk mengijinkanmu naik bus sekolah," Rosa melanjutkan disertai senyum lembut kali ini. "Perlindungan Mama dan Papa berikan mulai berefek pada dirimu, jadi kami memutuskan untuk menurutimu,"
Starla ternganga mendengarnya.
Tidak salah dengar telinganya? Ia diperbolehkan naik bus? Naik bus?
Starla Annora naik bus sekolah?
Starla bangkit berdiri dan segera menghambur ke Ibunya, memeluk dengan erat. "Terima kasih," katanya pelan. "Terima kasih, Mama dan Papa mau mengerti aku..."
Rosa membalas pelukan Starla. "Maafkan Mama dan Papa jika terlalu keras padamu, Starla. Mama dan Papa hanya tidak ingin kejadian dulu terulang kembali, melihatmu terpuruk selama satu tahun menghancurkan hati Mama dan Papa." katanya sambil membelai lembut rambut hitam Starla.
Starla menggelengkan kepalanya; ia sungguh-sungguh terharu mendengarnya. "Akulah yang harus minta maaf, seharusnya aku ijin sama Mama dan Papa dulu bukan bertindak seenaknya."
Rosa melepaskan pelukan mereka. "Mama rasa sudah waktunya berangkat, hari ini masuk jam tujuh, kan?" tanyanya.
Starla mengangguk.
"Bus belum ada jam segini, jadi Mama dan Papa memberikan pengecualian di hari rabu kau tetap diantar oleh Arthur, tetapi bisa naik bus pulangnya." kata Rosa.
Starla tersenyum lebar. "Itu lebih dari cukup, Ma. Aku setuju!" serunya semangat. "Terima kasih sekali lagi, Ma."
"Belajar yang benar, Starla." kata Rosa menasihati.
Starla mengangguk, dan mencium tangan Ibunya baru keluar rumah, ia melihat Arthur sudah berdiri di samping mobil, membuka pintu mobil untuknya.
"Silakan Nona Starla," kata Arthur.
Starla tersenyum lebar.
Untuk pertama kalinya, Starla begitu semangat naik mobilnya.