webnovel

The Lost Love

Banyak orang bilang, hubungan yang berada dalam status long distance (jarak jauh) yang konon selalu menjadi suatu ancaman hubungan akan mudah berakhir, namun nyatanya tidak semua benar demikian. Lalu bagaimana hubungan itu akan berjalan dengan akhir yang indah, setelah bertaburan dengan kata-kata manis, kepercayaan, kejujuran dalam waktu yang begitu sangat panjang? Jika nyatanya dua sejoli yang kini sedang menjalani hubungan itu tengah memiliki perbedaan keyakinan yang begitu kuat sebagai makhluk yang beragama. Mencoba untuk melawan dengan mengatasnamakan cinta yang begitu dalam di hati mereka, yang tumbuh tak terduga sejak pada pandangan pertama. Karena sejatinya cinta yang sesungguhnya, tak pernah mengenal status, suku, adat, atau ras sekalipun. Ini adalah tentang hati yang tidak bisa kita kendalikan kepada siapa akan berlabuh, mencoba untuk tetap bertahan dan menjalani skenario Tuhan yang mereka percayai telah di takdirkan untuk mereka yang akan memulainya. Lantas bagaimana akhir dari kisah mereka? Siapa yang harus mereka pilih? Cinta yang begitu dalam, atau keyakinan yang begitu sakral tehadap sang pencipta (Tuhan).

Michella91 · 歴史
レビュー数が足りません
317 Chs

Sebuah ungkapan perasaan

"Ken, disini!" panggil Alona setelah dia lebih dulu melihat Kenzo di taman.

Seketika Kenzo menoleh dan melihat Alona melambaikan tangan padanya. Kenzo sedikit terkejut, karena detak jantungnya kini bergetar setelah melihat Alona.

Kemudian Ken melangkah menghampiri Alona. Sore ini, Alona terlihat jauh lebih cantik. Dengan kaos lengan pendek dan pres body berwarna peach, dipadukan dengan celana levis berwarna biru navi selutut.

Setelah Ken berjalan hendak menghampirinya, Alona baru menyadari jika sikapnya tadi terlalu berani sehingga kini dia tersipu malu ketika Ken menatapnya dari jarak dekat.

"Ehm, kau… sudah sampai lebih dulu," ucap Ken canggung.

"Ah, tidak. Ehm… Sekitar 10 menit yang lalu," sahut Alona seraya menggaruk tengkuk lehernya. Dia salah tingkah, begitupun Kenzo yang memalingkan wajahnya seraya memegangi bagian dadanya.

"Huhft…" Kenzo menghembuskan napas panjang.

Mereka saling terdiam kemudian, saling mengatur napas juga suasana yang canggung. Saling tersipu malu yang bercampur debaran jantung yang kian meningkat.

"Ah, eh, kita… Kita duduk saja atau mau berkeliling taman?" tanya Kenzo, akhirnya memulai bicara.

"Kita, duduk saja disini. Sepertinya lebih enak untuk menikmati suasana taman sore ini, Ken."

"Ehm, baiklah!" jawab Ken seraya duduk sedikit menjauh dari Alona.

"Jadi… Bagaimana kegiatanmu hari ini?" tanya Kenzo kembali.

"Seperti biasa, Ken. Tidak ada yang berubah dari hari-hariku, lalu kau?"

"Aku? Hemm… Hari-hariku selalu penuh dengan cerita baru, terlebih lagi sejak… Mengenal dirimu, Alona."

Degh!

Detak jantung Alona seakan terhenti sejenak. Dia menoleh Kenzo seketika dengan tatapan sendu, Kenzo tersenyum membalas tanggapannya yang demikian.

"Ih, dasar. Mulai lagi deh, gombalnya." Alona mendecak sebal memalingkan wajahnya, sejujurnya dia senang dan wajahnya kini berubah merah jambu.

"Eh, hei… Kenapa wajahmu mendadak merah begitu? Ehhem, apa kau merasa malu dengan ucapanku barusan?" ujar Ken kian menggodanya.

"Ih… Kamu ini, apa kau mengajakku kemari hanya untuk menggodaku saja?" Alona tampak kesal.

"Aku mengajakmu bertemu karena aku rindu."

Alona kembali tercengang mendengar ucapan Ken yang lugas tanpa ragu sedikitpun.

"Apa kau tidak merindukanku?"

"Ehm, aku…"

"Ah, sepertinya kau tidak pernah memikirkanku sehingga menjadi rindu."

"Kata siapa? Aku juga selalu memikirkanmu akhir-akhir ini, entah kenapa kau selalu menjadi hantu di setiap kali aku ingin tidur lelap."

Kenzo tampak sumringah, mendengar apa yang Alona sampaikan. Itu pertanda, Alona memiliki perasaan yang sama sepertinya."

"Jadi, bagaimana?" tanya Ken dengan tatapan lembut memandang wajah Alona.

"Apa?" tanya Alona kebingungan.

"Apa kau mau menjadi pacarku?" ucapan Ken spontan begitu saja disampaikan. Karena dalam hati dan pikirannya saat ini, memang itu lah yang terjadi.

"Cih, sepertinya kau memang sudah pengalaman dan banyak mempunyai wanita selain diriku."

Kenzo mengernyit penuh tanda tanya mendengar ucapan Alona barusan.

"Kenapa kau berpikir demikian, Alona? Apa aku terlihat seperti cowok playboy?"

Alona diam sejenak, menatap lekat wajah Kenzo. Mereka saling berpandangan saat ini, lalu perlahan Alona mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia benar-benar berpikir jika Ken adalah cowok playboy.

"Akh. Ya ampun," seru Kenzo menepuk keningnya.

"Pfffttt… Kau terlihat frustasi mendengar ucapanku, itu tandanya semua yang kuucapkan memang benar adanya."

"Hah, aku memang baru saja putus dari pacar ku sebelumnya."

"Sudah kuduga," sahut Alona menanggapi.

"Tapi menjadikanmu sebagai pacarku kali ini, aku sungguh serius."

"Kita baru saja kenal, Ken. Bagaimana mungkin kau memintaku menjadi pacarmu,"

"Apakah jatuh hati dan mencintai seseorang butuh alasan, Alona?"

Alona menggelengkan kepalanya dengan tatapan lugu.

"Nah, itu kau tahu…"

"Ehm, aku… Aku hanya ragu, karena sebelumnya aku tidak pernah berpacaran dengan seorang cowok."

"Sungguh? Apakah ini berarti, aku akan menjadi seorang laki-laki perdana yang mendapatkan cintamu?"

"Ih, apaan sih…" Alona tampak kembali tersipu malu. Membuat Ken semakin gemas ingin mencubit kedua pipinya saja, sebab saat dia tersipu malu dengan wajah bersemu merah, Alona tampak semakin manis saja.

Alona kembali terdiam sejenak, dalam hati dia berpikir apa yang harus dia katakan pada Ken. Disisi lain, dia begitu senang. Karena dia juga merasa jatuh hati pada sosok Ken yang selalu riang dan membuatnya tersenyum bahagia. Namun disisi lain, dia takut jika kali ini Ken hanya akan menjadikannya pelampiasan saja. Karena baru saja putus dengan kekasihnya, tentu dia belum siap untuk merasakan sakit hati setelah itu.

"Ken, bisakah aku berpikir dulu?"

"Aah, apakah itu harus?"

"Hem, ini terlalu mendadak untukku, Ken." Alona menjawab dengan nada lirih.

Kenzo mulai merutuki dirinya sendiri, "Kenzo… Dasar kau, sudah tentu dia terkejut. Karena kau langsung saja mengungkapkan perasaanmu, harusnya kau jauh lebih bersabar."

"Ken… Kamu tidak marah kan?" tanya Alona lagi dengan lembut.

"Ah? Ehm… Tidak, aku mengerti. Baiklah, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Aku juga tidak ingin menjadi seorang laki-laki yang mendesakmu akan perasaanku," sahut Kenzo dengan nada kecewa.

"Ken, aku tidak merasa dipaksa olehmu."

"Pfft… Senyum dong, jangan sedih begitu. Kenapa kau terlihat sangat serius?" Kenzo mencoba menghiburnya.