Andre memandang Agatha,
"Kalau itu memungkinkan. Kenapa tidak? Musuh kita biasanya bergerombolan, kita pun harus bersatu. Jika tidak kita akan semangkin kacau," balas Andre.
Semua orang diam, "Ayo, mulai berlatih. Aku tidak ingin kita membuang-buang tenaga," ujar Georgia. Ia semangkin takut, "aku rasa, aku sudah siap, untuk semua kegilaan ini," ujar Georgia menatap semua orang.
"Tuan Andre, tolong bimbing kami!" ujar Pamela.
"Sebaiknya, Nayla dan Alan. Kalian pergilah mencari vampir vegetarian. Ajaklah mereka untuk bersatu dengan kita," ucap Andre, "sebelum, Hector atau siapa pun dalang di balik semua ini mengajak mereka." Lanjut Andre menatap Nayla dan Alan,
"Apakah semua ini benar-benar mengerikan, Sayang?" tanya Gwendolyn.
Ia melesat secepat angin berada di sisi Andre. Menggenggam lembut tangan suaminya. Gwendolyn tidak mempercayai, jika semua yang dipikirkan suaminya selama ini benar adanya.
"Percayalah, kepadaku! Aku tidak tahu. Apakah semua ini ulah seseorang atau karena suatu radiasi? Tapi, yang jelas perang akan terjadi. Ras Manusia akan punah!" balas Andre.
Semua orang terdiam dan tercekat, "Wah, mana aku belum menikah juga!" celetuk Sean. Semua orang memandang ke arahnya, "Apa? Kamu malah memikirkan hal itu? Aku sudah 500 tahun belum menikah," balas Alan.
"Ah, kamu sih, manusia abadi. Aku hanyalah manusia biasa," balas Sean tersenyum kecut.
Alan terdiam, "Andaikan aku bisa memutar waktu kembali, aku malah memilih menjadi manusia biasa," tukas Alan.
***
Malam hari turun dengan cepat, kegelapan yang damai membuat sesuatu yang mengerikan di sana. Sesuatu yang mengintai mulai bergerak turun mencoba mencari mangsa.
Alan dan Nayla bergerak ke luar berusaha untuk mencari kerabat, kenalan, yang masih ada di luar sana.
Nayla mengendarai sepeda motor dan Alan melesat membayangi Nayla, "Nay, melambatlah sedikit. Di depan ada sesuatu," ucap Alan. Ia langsung melesat terlebih dahulu ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di depan.
Nayla mengikuti saran Alan dengan sedikit melambat, ia melihat para zombi mulai berjalan dengan terseok-seok membelah jalanan. Nayla berusaha untuk memutar jalan memasuki hutan, ia tidak ingin terjebak melawan puluhan zombie.
Alan melesat membaui Nayla, "Mengapa Nayla malah ke arah hutan?" batin Alan bertanya. Ia melesat mengejar Nayla.
Nayla sendiri berusaha kabur dari para zombie, ia merasa lebih baik menghindar untuk saat ini. Akan tetapi, Nayla melihat di depannya beberapa zombie sedang menyantap mangsanya. Nayla tercekat rasanya ia ingin muntah, melihat darah yang menetes di sana di antara bibir dan taring mereka.
Nayla bergidik membayangkan hal itu. Ia tidak menyangka semua yang dialaminya adalah fenomena yang sangat di luar nalar. Nayla menelan ludahnya, membayangkan jika manusia yang dimangsa oleh zombie itu adalah dirinya.
Seketika bulu kuduknya meremang, rasanya ia ingin lari menjauhi semua itu. Bersembunyi di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun.
Alan tercekat, ia sangat benci bau darah. Ia takut jika ia salah dan menerkam manusia lainnya, ia melirik Nayla. Ia sedikit menjauh, "Nay, jika aku berubah menjadi monster. Aku mohon, habisi aku!" pesan Alan.
Nayla tercekat, ia tidak menyangka jika Alan akan mengatakan hal itu. Nayla mengeluarkan pedangnya, kali ini Andre memberinya dua pedang, boomerang kecil, pistol dan sangkur perak.
Andre dan Gwendolyn benar-benar memperhatikan segala sesuatunya. Nayla masih mengingat, Gwendolyn dan Agatha memeluknya begitu pun Andre, Georgia dan keempat teman mereka.
"Berhati-hatilah, Nay! Aku rasa, untuk saat ini, kita berteman!" ucap Georgia sebelum memeluknya. Nayla tersenyum memeluknya, "Kau, juga! Berlatihlah yang kuat," balas Nayla.
Nayla tidak menyangka ia dan Georgia harus berada di waktu dan tempat yang salah sehingga menyatukan mereka. Biasanya mereka selalu saja bermusuhan, berbeda dengan saat sekarang. Mereka saling membahu untuk memperjuangkan dan mempertahankan Ras Manusia.
Nayla mengingat semua itu, "Baru saja aku dan Georgia berteman. Sudah ada saja halangannya," batin Nayla.
Ia bersiap melompat dari sepeda motornya, ia berusaha untuk bersiaga. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan mereka apalagi, Alan di sana. Bau anyir dan amis darah memenuhi hutan kecil tersebut, "Berapa banyak manusia yang sudah dimangsa oleh zombi ini?" batin Nayla bertanya.
Alan sudah melesat ke arah zombi yang sedang memangsa manusia, mereka melihat Alan. Namun, mereka tidak terlalu bereaksi. Mereka melewati Alan dan menuju ke arah Nayla.
Alan melihat manusia yang sudah menjadi mangsa bangkit dan menjadi zombie yang haus akan darah.
"Oh, begitu mekanisme cara kerjanya? Mengapa populasi zombie meningkat berpuluh kali lipat," batin Alan.
Ia melesat mendekati Nayla yang sudah mulai bertarung dengan zombie. Alan mencabut pedangnya dan menyabetkan ke arah zombi tersebut. Selain itu ia juga membakarnya dengan cakar apinya.
Sehingga para zombie yang terbakar tidak lagi bisa kembali utuh. Mereka menghilang, Alan mengernyit karena bau anyir darah. Ia melesat naik ke atas pohon bertengger di sana seperti burung, Apa yang kau lakukan Alan?" tanya Nayla sedikit bingung.
Ia tidak menyangka jika Alan begitu fobia terhadap darah manusia, "Pergilah dulu, Nay! Aku akan mengikutimu dari belakang," perintah Alan.
Nayla mulai mengendarai sepeda motornya melaju terlebih dahulu. Alan masih mengatur gejolak hasrat binatangnya untuk berburu mangsa, ia berusaha untuk menguasainya.
Ia mencakar batang kayu hingga terbelah menjadi dua bagian.
Alan melesat mencari binatang buas yang bisa ia mangsa. Namun, ia hanya melihat seekor rusa. Secepat kilar ia melepaskan dahaga, "Papa, bagaimana mungkin kau mengutusku dan Nayla untuk mencari sekutu? Bisa-bisa aku yang memangsa Nayla," batinnya.
Ia melesat mengejar Nayla membaui di setiap jalan yang dilalui oleh Nayla. Ia secepatnya menemukan Nayla yang terus berkendara di dalam pekat malam, "Wanita yang, hebat! Sangat mirip dengan Amirah, benar-benar keturunannya!" batin Alan.
Ia membayangkan mantan tunangannya 500 tahun silam. Baginya itu seperti beberapa puluh tahun saja, ia tidak menyangka ia sudah sangat tua dan renta. Ia harus bertarung berdampingan dengan cucu keturunan kekasih tak akan pernah jadi miliknya.
Alan melesat mengambang seakan terbang di sisi Nayla yang mengendarai sepeda motor. Nayla mulai hafal dengan segala aroma Alan yang sulit diartikannya dengan bau parfum paling mahal pun tidak ada yang menyamainya.
"Mengapa begitu lama?" tanya Nayla tidak mengerti.
"Anggap, saja! Aku sedang ke kamar mandi," ucap Alan sekenanya.
Nayla tersenyum, ia ingin bertanya banyak hal tentang vampir. Namun, ia merasa pertanyaannya sangat tidak sopan. Nayla hanya melirik ke arah Alan, "Ke mana tujuan kita?" tanya Nayla.
"Kita harus meninggalkan Signpost Forest, kita harus ke Alaska! Di sana ada teman kami Judith dan Amber," ujar Alan, "Mereka vampir seperti kami juga. Aku harap mereka masih selamat," lirih Alan.