webnovel

The Kingdom of NETERLIANDIS

NETERLIANDIS sebuah kerajaan yang melibatkan bentuk mata dan fantalis sihir dalam penentuan kasta dari takdir seseorang. Hingga pada suatu ketika, lahirlah seorang bayi yang akan merangkai takdirnya sendiri. Seorang bayi pemilik fantalis berbeda yang akan mencoba menciptakan perubahan di kerajaan Neterliandis. Percintaan, pemberontak, penghianatan serta ribuan rahasia akan terungkap dalam perjalanannya membentuk keadilan. Akankah keadilan benar-benar tercipta di tangan seorang bayi yang akan menjadi dewasa nantinya? Atau malah kehancuran yang akan di dapat oleh kerajaan Neterliandis. Note: Cerita ini belum direvisi, bisakah kalian membantu saya untuk mencari paragraf yang mana typo dan sebagainya dalam cerita ini? jika iya kalian hanya perlu memberi komentar pada paragraf yang sebaiknya perlu saya revisi. 07 Oktober 2021

Aksara_Gelap · ファンタジー
レビュー数が足りません
40 Chs

Tak Terkendali

Ayunan pedang yang terbuat dari fantalis sihir begitu apik dan kuat, menebas ke arah udara dengan cepat. Dedaunan pohon Pinus yang jatuh ikut sobek hanya karena getaran dari pedang fantalis yang begitu bersinar tertimpa cahaya matahari.

"Seperti kamu sudah bisa mengendalikan fantalis sihirmu dengan sempurna, Pangeran Dinata. Sekarang coba kamu buat bentuk senjata lain dari fantalis yang kau punya."

Dengan sigap Pangeran Dinata menuruti perintah dari gurunya ini, Paman Gandara. Ia mengeluarkan fantalis kristal es yang kemudian mengelilinginya hingga terbentuk sebuah busur dan panah.

"Sekarang tarik busur panahmu dan lepaskan ke atas udara. Kita lihat seberapa kuat dan jauh ia dapat melesat di udara."

Pangeran Dinata kemudian menarik tali busurnya kuat-kuat dan melepaskannya ke atas. Anak panah itu tampak meleset sampai tak terlihat kecepatannya oleh Paman Gandara dan Dinata sendiri.

Sudah cukup lama Dinata menunggu tapi anak panah tadi tak kembali ke bawah. Paman Gandara lantas tersenyum melihat tingkah Dinata yang sedang menunggu anak panah dengan sabar.

Pffftttt.....

Paman Gandara menahan tawanya sebelum berbicara pada Dinata, "Sudahlah, Dinata. Tak usah kau tunggu anak panah itu kembali, seperti kau berharap pada wanita yang tak pasti maunya."

Ucapan Paman Gandara berhasil membuat Dinata terkekeh geli, ia tak mampu menahan tawanya mendengar ucapan lelaki yang masih setia dengan lajangnya itu.

"Paman bisa saja, membuat latihan seperti penantian. Satu lagi, saya siap jika mendengarkan curhatan pamanku yang tampan ini," ucap Pangeran Dinata tak mau kalah menggoda Pamannya itu.

Paman Gandara mendehem malu mendengar ucapan Dinata, dan ia berusaha mulai memindahkan pembicaraan ini ke arah latihan lagi.

"Anak panah itu tak akan kembali karena telah musnah karena gesekan dari udara. Semakin cepat melesat maka akan semakin cepat pula ia musnah, apalagi fantalismu kristal es akan mencair jika menembus atmosfer dan terkenah cahaya matahari langsung."

"Oh begitu ternyata. Tapi Paman, sebenarnya saya sesekali masih merasakan fantalis sihir ini tak terkendali, keluar dari aliran darah dan menembus pori-pori."

"Tenang saja Dinata, kau hanya perlu banyak latihan untuk mengendalikan fantalis yang sedang meluap-luap di tubuhmu itu. Ini baru latihan ke 3 bukan, baru 4 hari kembalinya kesadaranmu setelah pencabutan. Hal biasa jika fantalis belum terkendali sepenuhnya."

"Ah, iya." Ingatan Dinata kembali menyelinap ke masa ketika latihan pertama dilakukan.

------

"Ini tak terkendali, Paman," ucap Pangeran Dinata yang terus menjauh dari Raja Indra dan Paman Gandara sambil menutup kedua tangannya yang terus mengeluarkan fantalis.

"Jangan ke arah sana, Dinata," ucap Raja Indra yang kemudian melakukan teleport ketika melihat Pangeran Dinata berjalan dan hampir mengenai pedangnya yang masih tertancap di tanah.

Grap.... Tangan Raja Indra berhasil menarik tangan dari Dinata untuk tidak berjalan ke arah pedang.

Raja Indra merasakan sensasi dingin menembus tulangnya saat bersentuhan dengan tangan Dinata. Dengan cepat Raja Indra menarik Dinata dari dekat pedang tadi dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman.

"Ayah, tanganmu... Lepaskan, Ayah," Dinata sontak menepis tangan ayahnya ketika melihat hampir setengah lengan Raja Indra membeku.

"Tidak apa-apa, Dinata. Ayah bisa membereskannya, ini hanya perlu dicairkan saja dengan sihir api. Bukankah begitu, Gandara," ucap Raja Indra menahan sakit yang ada di lengannya agar bisa tetap tenang dan terlihat baik-baik saja.

"Ah," Gandara tampak sedikit kaget dengan apa yang dilihatnya, "i..iya, bisa kita sembuhkan dengan mudah. Tenang saja Dinata."

"Nah kamu dengarkan?, sekarang ayah akan pergi dengan Paman Gandara untuk menyembuhkannya. Kamu di sini saja, berlatihlah dengan hati-hati dan tenang."

Raja Indra dan Gandara kemudian pergi menjauh, meninggalkan Pangeran Dinata sendiri untuk berlatih.

------

Saya tahu persis ayah berbohong waktu itu, tidak muda mencairkan lengannya yang sudah membeku. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa selain percaya ayah akan baik-baik saja.

"Dinata... Pangeran Dinata," teriak Paman Gandara yang mengagetkan Dinata dari lamunannya.

"Kamu tidak mendengar ucapan saya tadi?"

"Ah iya, Paman. Maafkan saya tidak fokus tadi. Apa yang Paman bicarakan?"

"Ehm," Paman Gandara menghembuskan napasnya cukup dalam sebelum mengulang ucapannya lagi, "kamu tahukan pengorbanan pusaka bara kristal merah sudah dilakukan 4 hari yang lalu, dan memang tak terjadi ledakan dalam 2 hari ini seperti kata peramal kerajaan. Tapi, hal ini tidak dapat kita katakan berhasil karena gunung Negalitipus masih menunjukkan aktivitasnya. Paman takut pengorbanan itu hanya sia-sia, gunung Negalitipus akan tetap meletus," tutur Paman Gandara.

"Saya juga sempat tak yakin jika bara kristal merah mampu menyerap semua energi api pada magma gunung sebesar itu, tapi kita tidak salah telah mencoba semua kesempatan."

"Iya, Dinata. Sekarang kita harus berpikir keras, bagaimana cara kita menghentikan Negalitipus jika kemungkinan itu jadi!"

"Benar, Paman. Saya akan berusaha mencari caranya."

"Oh iya, Dinata. Kapan seleksi tahap akhir pemilihan putra mahkota dilaksanakan?"

"Lima hari lagi, Paman. Artinya sebentar lagi semuanya akan benar-benar selesai," jelas Dinata sambil menyungngakan kepalanya menghadap hamparan langit biru.