webnovel

The Kingdom of NETERLIANDIS

NETERLIANDIS sebuah kerajaan yang melibatkan bentuk mata dan fantalis sihir dalam penentuan kasta dari takdir seseorang. Hingga pada suatu ketika, lahirlah seorang bayi yang akan merangkai takdirnya sendiri. Seorang bayi pemilik fantalis berbeda yang akan mencoba menciptakan perubahan di kerajaan Neterliandis. Percintaan, pemberontak, penghianatan serta ribuan rahasia akan terungkap dalam perjalanannya membentuk keadilan. Akankah keadilan benar-benar tercipta di tangan seorang bayi yang akan menjadi dewasa nantinya? Atau malah kehancuran yang akan di dapat oleh kerajaan Neterliandis. Note: Cerita ini belum direvisi, bisakah kalian membantu saya untuk mencari paragraf yang mana typo dan sebagainya dalam cerita ini? jika iya kalian hanya perlu memberi komentar pada paragraf yang sebaiknya perlu saya revisi. 07 Oktober 2021

Aksara_Gelap · ファンタジー
レビュー数が足りません
40 Chs

Kembali Mencair

Wanita cantik itu tersenyum dan mengangguk, membuat berlahan air mata Pangeran Dinata tanpa sadar tumpah, sosok ia sangat ingin lihat sekarang ada didepannya sedang tersenyum.

Sosok ibu Pangeran Dinata berjalan dan semakin dekat, hingga akhirnya memeluk Dinata erat. Berlahan warna mata Pangeran Dinata kembali seperti semula, itu artinya fantalis sihirnya tak lagi menguasai otaknya.

"Putra saya ternyata tumbuh tinggi dan tampan, bahkan lebih tampan dari ayahnya. Pffftttt.... Ah, andai saya bisa membesarkan kamu sendiri, Dinata. Pastilah saya akan merasa bangga dan bahagia yang luar biasa melihat kamu hari demi hari menjadi tumbuh besar dan cerdas, sayang itu hanya impian belaka, Dinata."

Ratu Nias Kusuma melepaskan pelukannya dan menatap dalam wajah putranya yang kaget terdiam dengan air mata yang turun.

"Apa..ini? Air mata, ada apa dengan saya. Mengapa saya lemah seperti ini," ucap Dinata seakan tak percaya ia sedang menangis dan merasakan sedih.

Berlahan hati yang membeku itu kembali mencair karena dekapan hangat seorang ibu yang ia rindukan. Dinata mengangkat kedua tangannya yang gemetar untuk menghapus air mata orang yang sangat ia rindukan itu.

"I... Ibu, apakah saya sedang bermimpi? Ibu benar-benar memeluk saya? Ibu, peluk saya erat lagi, saya masih ingin merasakan kehangatannya," ucap Pangeran Dinata masih dengan air mata yang mengalir.

Ratu Nias Kusuma hanya tersenyum memandang wajah Pangeran Dinata tanpa ucapan apapun lagi, ia kemudian berlahan hilang memudar bersama kristal es yang lenyap meninggalkan Dinata yang berlutut menagis diarena seleksi.

Kenapa secepatnya ini Ibu pergi? Kenapa tidak lebih lama lagi Ibu di sini mendekap saya. Dinata butuh Ibu, tolong kembali, Ibu....

Setelah Ratu Nias Kusuma menghilang bersama kristal es miliknya, dengan cepat pula sihir besar melingkupi arena yang dikeluarkan Dinata lenyap.

Semua orang di sana tampak bingung dengan apa yang terjadi, mereka sama sekali tidak mengerti mengapa sihir itu tiba-tiba lenyap. Pandangan mereka hanya bisa menatap heran Dinata yang berlutut menagis serta Pangeran Ryan dan ibunya yang saling berpelukan menahan ketakutan.

Di jarak yang cukup dekat, Raja Indra terlihat sangat kelelahan sambil memperhatikan Pangeran Dinata. Sedangkan Paman Gandara berdiri dibelakang dengan wajah cemas sambil memegangi bahu kekar Raja Indra.

"Sihir besar itu tampaknya sudah hilang. Apakah kita berhasil, Raja Indra?"

"Sepertinya berhasil, Gandara. Saya bisa merasakan hati Dinata sudah hangat kembali, sekarang kita hanya perlu memperhatikan hasilnya di sini. Sepenuhnya keputusan sekarang ada di tangannya sendiri, memilih tetap mengikuti nafsu atau memakai hatinya."

Gandara hanya mengangguk pelan, menandakan bahwa ia paham maksud perkataan Raja Indra.

Di tempat lain Pangeran Ryan mengajak ibunya menyingkir dari arena selagi Dinata diam termenung. Langkah mereka sangat lambat hati-hati, rasa takut masih terasa jika sewaktu-waktu Dinata menyadari pergerakan mereka.

Tubuh Pangeran Ryan yang penuh dengan luka membuat ia berjalan sempoyongan dan terjatuh dengan suara yang cukup keras. Dinata menoleh dan akhirnya berjalan ke arah mereka yang tengah cemas.

Dinata yang tak tahu sedang berpikir apa, dengan cepat mengeluarkan fantalis sihirnya dan mendekat ke arah Pangeran Ryan yang sudah tidak bisa berdiri lagi.

"To... Tolong lepaskan anak saya, Pangeran. Biarkan kami pergi."

"Maafkan saya Pangeran Dinata, saya memang sudah salah memancing amarah kamu tadi. Saya sungguh menyesal dengan ucapan saya, kamu boleh membunuh saya tapi saya mohon jangan sakiti ibu saya, Dinata," ucap Pangeran Ryan berusaha menutupi ibunya dengan tubuh kekarnya.

Sama sekali tidak ada ucapan dari Dinata, sekarang ia berusaha menggapai lengan Pangeran Ryan yang penuh dengan darah.

Arghhh, Fantalis sihir Dinata menyentuh lengan Pangeran Ryan membuat ia berteriak keras, "Ah tunggu, kenapa lengan saya terasa jauh lebih ringan, jangan-jangan," mata Pangeran Ryan menoleh ke arah Dinata yang tampak sedang fokus.

"Sudah, jauh lebih membaik bukan? Kemarikan lengan yang satunya lagi, biar saya obati juga."

"Ah, iya. Terima kasih banyak Pangeran Dinata," Pangeran Ryan lmenatap bingung akan perubah sikap yang ditunjukkan oleh Dinata, sambil memberikan lengan kanannya yang juga terluka.

Dengan cepat Dinata juga menghentikan darah yang mengalir dan mengeringkan luka yang cukup dalam itu, ia bahkan mengobati hampir seluruh tubuh Pangeran Ryan.

"Sudah, saya sungguh menyesal karena sudah lepas kendali dan hampir membunuh kamu tadi, Ryan. Dan untuk Bibi, maafkan saya karena sudah berprilaku tidak sopan dan membuat anda kaget dan takut. Sungguh saya tidak sadar melakukan itu tadi, apakah Bibi dan Ryan bisa memaafkan kesalahan saya?"

"Tentu Dinata, saya yang salah dan saya juga harus minta maaf atas itu. Dan ibu saya juga pasti memaafkan kamu, Dinata. Benar kan, Bu?" Tanya Pangeran Ryan pada ibunya yang masih terdiam kaget.

"Ah, iya. Bibi memaafkan kamu, Pangeran Dinata," ucap ibu Pangeran Ryan memegangi tangan Dinata dengan lembut.

"Terima kasih, Bi bolehkah saya memeluk Bibi? Saya sangat merindukan ibu saya sekarang."

"Tentu boleh, kemarilah," dengan senang hati ibu dari Pangeran Ryan memeluk Dinata dengan hangat, seperti anaknya sendiri. Dianta yang melihat Pangeran Ryan menetap mereka dengan senyum, menarik lengan Pangeran Ryan untuk ikut berpelukan bersama.

"Maafkan saya, Ryan. Bisakah kita menjadi teman baik," bisik Dinata dan dibalas anggukan senang oleh Pangeran Ryan.

"Iya, kita akan menjadi teman baik yang saling mengerti."