webnovel

Kenangan

Kemudian Elais meraih jaketnya yang terjatuh di bawah kaki Ery dan melangkah keluar ruangan mesin peminjam dengan santainya.

Apa yang dilihat Ery di perpustakaan ini benar-benar bak kapal pecah. Dalam sekejap perpustakaan yang begitu rapi, hancur seketika. Buku-buku yang berserakan di setiap penjuru ruangan nyaris menutupi lantai ruangan. Lembaran kertas yang terpisah dari bukunya, dan rak-rak buku yang saling bertumpang tindih, membuat aksen tua perpustakaan ini semakin kentara.

"Hey tunggu, kenapa kau malah menghancurkan mesinnya?" teriak Ery setelah berhasil mengontrol keterkejutannya.

"Itu lebih baik. Sebaiknya kau juga cepat keluar." Elais mengakhiri percakapan dan melambaikan tangan di ambang pintu keluar perpustakaan kemudian pergi begitu saja tanpa menoleh kepadanya.

"Apanya yang lebih baik," batin Ery, meskipun mau tak mau ia harus segera ikut keluar dari perpustakaan ini sebelum nantinya akan terkena lebih banyak masalah lagi.

🍁🍁🍁

"Dari mana saja kau?" tanya seorang wanita bertubuh gempal yang sedang asyik duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponselnya. Tubuhnya yang lebih mirip balon udara itu hampir tak muat di kursi kayu yang didudukinya.

"Perpustakaan." jawab Ery datar sambil tetap berjalan menuju kamar tidurnya, tanpa menoleh sedikit pun pada wanita itu.

"Diam di situ!" wanita itu berkata setengah berteriak pada Ery. Membuat ia terpaksa menghentikan langkahnya dan menoleh pada wanita itu dengan wajah malas.

"Well, ada apa Bibi?" Ery tahu bahwa sebentar lagi interview terlama akan segera didapatkannya lagi dari bibi Allen.

"Ada apa? Harusnya kau menutup mulutmu itu dan berhenti melakukan kekacauan yang tidak jelas." matanya melotot di balik layar ponselnya, sampai-sampai Ery bisa melihat urat di atas dahinya menegang, sepertinya bibi Allen berusaha untuk menahan amarahnya.

"Kekacauan? Apa maksudmu Bibi, aku baru saja datang dan aku belum mengacaukan rumah ini. Benarkan?"

Bibi Allen menghampiri ia dengan tatapan murka, "Coba jelaskan padaku apa maksud dari semua ini?" lalu dengan kasar didekatkan layar ponsel miliknya pada mata Ery. Tertulis di sana berita tentang sabotase yang terjadi di perpustakaan Pirattes yang dilakukan oleh dua orang remaja dan terpampang dengan jelas wajah mereka di layar itu, tentu saja salah satunya adalah wajahnya.

"Bibi itu bukan kesalahanku, lelaki itu yang melakukannya."

"Lalu apa ini bukan dirimu? Dan apa aku akan percaya pada ucapanmu? Kau benar-benar telah melakukan hal yang begitu memalukan Ery,"

"Tapi aku tak mungkin melakukan kekacauan semacam itu, Lelaki bodoh itu yang melakukannya dan aku terjebak di sana!"

"Kau benar-benar gadis gila, sama seperti Ibumu!" teriaknya

Ery terpaku, giginya bergemeletuk, rasa sakit yang baru saja menusuk membuatnya tak mampu berkomentar apa pun lagi. Kalimat pedas dari bibi Allen benar-benar telah mengiris hatinya. Wajahnya terasa sangat panas.

"Aku tak mau tahu jika ada polisi yang mencarimu dan—lebih baik akui saja kesalahanmu itu." ucap bibi Allen seolah-olah tak peduli bahwa dirinya telah menyinggung perasaan sang keponakannya itu.

"Aku tak akan mengakuinya Bibi, karena itu bukan kesalahanku." tegas Ery sambil berbalik badan tak jadi masuk ke kamarnya, suasana hatinya kini terasa sangat kacau.

"Gadis keras kepala, mau ke mana lagi kau? tak ada waktu untuk kabur." cibir bibi Allen,

Ery menghentikan langkah kakinya di ambang pintu, kemudian menoleh pada bibinya yang masih dengan kilatan amarahnya, "Jangan lupa Bibi, separuh rumah ini masih milik Ibuku." ucapnya lantang, lalu pergi begitu saja meninggalkan bibi Allen tanpa menghiraukan pertanyaan dan amarah darinya.

🍁🍁🍁

Ery tahu bahwa  ia tak bermaksud melarikan diri, hanya saja berdebat dengan bibi Allen membuatnya merasa sangat muak. Wajar saja jika ia menjadi sangat benci pada bibinya itu, karena semua hal buruk yang menimpa ibunya adalah karena kesalahan bibi Allen, dan bagaimana pun juga dirinya tak akan pernah bisa memaafkan bibinya itu sampai kapan pun juga.

Sekarang Ery bahkan tak tahu harus pergi ke mana, berita tentang dirinya dan lelaki bodoh itu tersebar ke penjuru kota Planche. Layar-layar di setiap jalan menayangkan kekacauan itu dan semua orang sudah mulai melihatnya.

"Dasar bodoh, kenapa aku kabur seperti seorang penjahat yang melakukan kejahatannya,  kenapa hari ini aku sial sekali." rutuk Ery dalam hati sembari menutupkan penutup kepala jaketnya dan berjalan secepat mungkin.

Ery menghentikan langkahnya di seberang jalan setapak yang sepi. Kemudian berjalan menuju sebuah tanah lapang, dan sebuah pohon rindang berdiri di ujung jalan. Ia duduk di sana, matanya menerawang jauh ke dalam lamunannya.

Semilir angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjang bergelombangnya yang dibiarkan tergerai bebas. Perlahan ingatan tentang ayahnya muncul kembali di alam pikirannya. Ery tersenyum getir, tatkala percakapan terakhir yang diucapkannya dengan sang ayah terngiang-ngiang begitu jelas dalam memori masa kecilnya.

"Kau tahu Ery,   bahwa namamu adalah nama sebuah pohon di Los Angeles."

"Pohon apa itu Ayah?" tanya Ery kecil penasaran.

Ayahnya mengelus rambut putri kesayangannya, "Pohon Erythrina." jawabnya lembut.

"Kenapa namanya seperti itu? Apakah pohon itu sangat bagus Ayah?" tanyanya penasaran,

"Kau tahu Ery, orang Asia menyebutnya dadap merah. Dan pohon itu berwarna sangat indah, cantik dan menyejukkan. Ayah sangat suka pada pohon itu, warna gradasi yang dihasilkan pohon Erythrina menciptakan perpaduan hijau dan merah yang begitu menyejukan mata bagi siapa saja yang melihatnya." terang sang ayah panjang lebar, mata cekungnya terlihat berbinar saat mengatakannya. Ada satu hal yang dimengerti oleh Ery kecil saat itu, bahwa ayahnya begitu sangat menyukai pohon dadap merah.

"Lalu di mana aku bisa melihat pohon itu?" ujar Ery penasaran,

Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan dari putrinya, "Di sini, di tempat kita duduk sekarang ini."

"Tapi aku tak melihatnya."

"Pohon itu ada di atas kepalamu Ery, dia menaungi kita dari panasnya mentari."

Sesaat kemudian Ery cemberut. Bayangannya tentang pohon yang sangat indah itu sirna seketika tatkala ia mendongakkan kepalanya ke atas.

"Pohon ini sama sekali tak cantik, hanya terlihat seperti pohon besar saja. Dan sangat tua." kritiknya kesal.

"Dengar Ery, kau belum mengerti maksud perkataanku sekarang ini. Tapi suatu saat nanti kau pasti akan memahaminya."

Mendengar itu Ery hanya terdiam dan cemberut. Sang ayah tahu bahwa putrinya merasa tidak puas dengan penjelasannya, lantas ia mengusap lembut rambut Ery.

"Jangan bersedih Ery, pohon Erythrina adalah pohon pelindung. Ayah memberimu nama Erythrina karena bagi Ayah kau adalah seorang malaikat pelindung,"

"Benarkah?" tanya Ery ragu-ragu.

Sang Ayah tersenyum lantas memeluk putrinya, "Tentu saja benar Ery,"

Tak terasa sebuah butiran bening berjatuhan di kedua pelupuk matanya.