"Memang apa yang terjadi semalam?"
Alfa membelalakkan matanya sembari sedikit menganga. Ia berdiri dan mengucek matanya. Lalu melihat wajah Amy baik-baik.
"Kau…siapa?" tanyanya dengan ragu dan hati-hati.
Amy melihatnya lama. Tiba-tiba ia meraih bantal di belakangnya dan secepat kilat melemparnya tepat di wajah Alfa.
"Kau gila, huh?!!"
Alfa tumbang, tubuhnya terpental hingga hampir jatuh, namun ia berhasil menangkisnya. Ia hanya terkejut dan tidak mengira Amy sudah kembali. Dirinya sangat khawatir melihat keadannya yang parah kemarin.
"Apa yang terjadi semalam?" tanya Amy yang lebih seperti ancaman.
Ia turun dari ranjang dan mendekati Alfa yang ketakutan dan berdiri di sudut dinding, ia takut jika Amy mengamuk lagi. Dan memang benar, Amy melangkah mendekat sembari membawa bantal yang lain.
"Kudengar kau tadi memanggilku Amanda lagi, iya kan?"
"Apa? Kau salah dengar. Aku tidak memanggilmu begitu." Alfa tidak berani melihat wajahnya.
Amy berdiri tepat di hadapannya dan meraih dagunya lalu menghadapkan wajahnya ke depan. Meskipun Alfa lebih tinggi darinya namun Alfa tak punya kekuatan penuh. Amy benar-benar mengerikan saat marah, ia bisa membanting apapun dan melemparnya pada orang yang dimarahinya. Belum lagi lidahnya yang ceriwis dan tidak terkalahkan argumennya.
"Alfa," panggilnya misterius.
Alfa menelan ludah dengan kesusahan.
"A…apa?"
"Kau tahu kenapa aku menyukaimu dulu kan?"
"Eh?"
"Kau lupa? Kau benar-benar lupa?!"
"Tidak lah. Masa aku lupa, ha ha," tawanya garing.
Di masa sekolah dulu, Amy pernah menyatakan cinta pada Alfa, sayangnya saat itu Alfa benar-benar dalam pengawasan Rataka hamapir 24 jam, mungkin sampai saat ini ia masih diawasi hanya saja tidak transparan. Alfa mendadak bengong mengingat masa lalunya. Amy tidak pernah tahu betapa dia harus struggle dengan semua yang ia punya. Sorot matanya menghadap ke bawah. Ia terlalu banyak mengingat masa lalu. "Mana mungkin aku lupa. Kau terlalu agresif dulu."
"Apa?!"
"Iya, kau sangat agresif sampai tidak memberiku kesempatan untuk lebih berani dan percaya diri."
Alfa mengambil bantal di tangan Amy, lalu meletakkannya di lantai begitu saja. Ia merubah posisinya, direngkuhnya pinggangnya yang kecil dan berputar 180 derajat. Kini Amy yang tersudut di dinding, Alfa menaruh salah satu tangannya di dinding sejajar dengan kepala Amy. Tangannya mengepal, sorot matanya menajam dengan penuh keyakinan seolah akan perang.
"Kau kenapa sih?" Amy jengah.
"Aku menyukaimu."
Wajah Alfa serius. Keduanya saling bertatapan.
"Kau gila, huh?" Amy mengalihkan pandangannya.
"Aku memang tolol."
"Alfa, kau sebenarnya kena…"
"Tidak kenapa-kenapa. Aku cuma mau bilang hal yang harusnya aku bilang padamu 5 tahun yang lalu." Alfa menghela napas berat. Ia memejamkan matanya sejenak lalu menghadapi Amy lagi yang dipenuhi kebingungan. "Aku tidak bisa berhenti, bahkan jika aku meminum semua jenis alkohol di dunia ini, aku sulit berhenti. Tapi aku harus berhenti karena itu kau. Karena aku tidak mau melihatmu terluka lagi. Aku harus menebus semua yang kulakukan. Kau akan membenci dna mengutukku jika kau mengetahui semua yang telah kulakukan selama ini."
Selama setahun terakhir ini Alfa masih menyelidiki Amy karena atasannya. Bahkan beberapa kali ia dimarahi dan dipukul saat melaporkan tugas. Kadang ia berharap bertemu dengan orang yang pernah ia temui di UKS (Rataka).
"Kalau ada orang itu, dia pasti bisa menghentikanku dan membebaskanku dari penjara ini," pikirnya dalam hati. Wajahnya tertekuk dan sendu.
"Alfa," Amy menyentuh pipinya lembut. "Aku tidak tahu apa yang terjadi semalam, tapi…kuharap aku tidak menyakitimu. Dan tentang apa yang sudah kau lakukan di masa lalu, aku tanya, apakah kau seorang kriminal? Buronan? Tidak, kan? Jadi jangan salahkan dirimu atas semua yang sudah terjadi."
"Jika kau tidak memiliki mereka (fyber) dalam dirimu, aku pasti akan melarikan diri dan seterusnya akan jadi bidak. Aku tahu seharusnya tak mengatakan ini tapi…kuharap mereka melindungimu dari bahaya yang tidak kau tahu."
Alfa melepaskan tangan Amy yang masih memegang pipinya. Kemudian ia berbalik sembari menunduk dan hendak keluar kamar. Namun Amy mencegahnya, ia memeluk Alfa dari belakang.
"Kalau begitu teruskan," Amy berkaca-kaca. "Kalau kau jadi bidak demi aku, harus kau teruskan. Bukankah itu lebih aman agar kau tidak terluka? Jangan terluka demi aku."
Alfa tersenyum miris mendengarnya. Tidak menyangka Amy memiliki pemikiran seperti itu. Sedang dirinya memanglah bidak paling bawah dari Sekte Segitiga Merah. Ia dibawah salah satu 7 pilar Harimau. Dia tak bisa begitu saja mengubur keberadaannya. Jika mungkin ia ingin hilang drai ingatan Amy, namun perasaannya terlalu egois.
"Bagaimana bisa aku menghilang sedang aku menyukainya terlalu dalam?" batin Alfa.
"Aku takut," Amy makin erat memeluk Alfa. "Aku takut kau menghilang seperti dulu. Saat pertama kali kita bertemu di sekolah, kau esok harinya langsung menghilang. Sebenarnya kau kemana? Kenapa kau tidak pernah menjawab pertanyaanku yang ini? Sebenarnya apa yang terjadi tadi malam? Aku ingat kita berda siap pergi bekerja, tapi kenapa aku tidur hingga pagi hari?"
Alfa berbalik dan memegang bahunya, Amy kebingungan setengah mati. Ia hanya takut jika salah satu fyber menyakiti Alfa. Ia tidak tahu bahwa selama ini Alfa berada di dekatnya untuk mengawasinya.
"Tidak ada yang salah. Kau kecapekan semalam dan pingsan, kau juga demam jadi aku merawatmu dan berakhir ketiduran di kamarmu."
"Benarkah hanya itu?"
Alfa mengangguk dan tersenyum.
"Aku mendengarmu."
Alfa berjingkat, ia terkejut tapi berusaha menjaga ekspresinya.
"Apa yang kau dengar?"
"Amanda. Kau memanggilku Amanda tadi, kan?"
Alfa bernapas lega, ia mengira Amy mendengar apa yang semua dikatakanya kemarin malam. Ia mengacak rambut Amy dengan lembut dan mengelus puncak kepalanya.
"Iya. Aku lupa memanggilmu Amanda lagi."
"Aku akan menunggu."
"Apa?"
"Tentang yang kau katakan tadi. Aku akan menunggumu sampai kau menceritakannya sendiri padaku."
Alfi teringat pada kata-kata Amy semalam bahwa dia akan menunggu dia sendiri mengatakannya. Tapi kenyataan bahwa keduanya adalah kesadaran yang berbeda membuatnya heran.
"Apa fyber itu membagi ingatannya dengan Amanda?" batin Alfa.
"Jadi, apa yang kita lakukan hari ini?" tanya Amy.
"Tapi sebelum itu, bukankah ada yang perlu kita luruskan?"
Amy diam sembari memandang Alfa dengan penasaran.
"Kita berdua saling menyukai satu sama lain. Kita seperti saudara, kan?"
"Te…tentu saja. Kau pikir apa lagi sialan?!" Amy melangkah agak menjauh dari Alfa. Ia agak kikuk. "Aku memang menyukaimu dulu, tapi masa sekolah itu cinta monyet! Bukankah kau juga menyayangiku seperti sahabat?"
"Meskipun sahabat, aku akan terus menjadi temanmu, saudaramu, partner pekerjaan dan kakakmu yang meskipun hanya terpaut satu tahun. Aku akan jadi semuanya untukmu. Kau lupa kita tumbuh di panti asuhan yang sama cukup lama?"
"Ah ya, Fa. Kapan kau mulai keluar dari panti? Apa saat sekolah dulu kau masih di sana?"
Alfa gugup, karena sejak SMP ia sudah berada di tempat asuhan yang salah. Amy tak menduga kalau itu akan jadi pertanyaan yang cukup sensitif. Ia sendiri tidak pernah bertanya karena Alfa tidak pernah menyinggungnya jadi dia berpikir mungkin Alfa tak ingin membahasnya.
"Apa itu juga bagian dari yang tidak bisa kau katakan pada orang lain?"
"Aku tidak tahu."
"Tidak apa-apa." Amy tertawa. "Kenapa sedih begitu?" ia memukul punggungnya dengan keras hingga Alfa ikut tertawa pelan.
"Kita adalah partner. Kita adalah teman. Jangan lupakan itu."
"Teman, ya."
"Memangnya kau mau hubungan yang bagaimana?" Amy mendecih.
"Sepertinya kita bukan teman."
"Ha?"
"Setelah kuingat-ingat, kau pernah bilang kalau kau Batman-nya sedangkan aku Robbin-nya."
"Sialan kau!"
Alfa tertawa, melihat wajah tersipu Amy. Ia puas tertawa mengerjainya. Meski begitu ia senang melihat Amy kembali. Meskipun pergantian kesadaran sering berganti, nyatanya Alfa bahkan keluarga Amy pun sulit menanganinya, karena itu memang bukan hal yang mudah dan bisa dikendalikan begitu saja.