"Mantra yang kumiliki adalah penghancur, sama seperti keinginan Rey. Ia ingin menghancurkan ayahnya, keluarganya dan semua orang yang menentangnya dan menyiksanya. Aku telah lahir bersamaan dengan mantra itu."
Rey menjelaskannya.
Mantra Rey adalah penghancur. Ia menghancurkan pakaian tang Gita kenakan saat dia hampir melecehkannya. Sayangnya karena energi Gita terlalu kuat dan juga ada Arvy, pakaiannya tidak bisa hancur sepenuhnya.
"Seberapa besar kekuatannya? (mantra penghancur)" tanya Taka.
"Aku tidak bisa merobohkan gunung atau gedung pencakar langit. Tapi aku bisa melempar mobil sejauh 2 kilometer."
Taka manggut manggut. Ia memikirkan sesuatu, ia menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
"Kenapa kau tersenyum dengan menakutkan seperti itu?"
"Aku sedang memutuskan untuk menghabismu atau tidak."
"HA?! Apa maksudmu?! aku sudah memberitahumu segalanya, kau bahkan tidak memberitahuku ini di mana, tapi kenapa kau…"
"Sssstt!"
Rey diam seketika.
"Ini memang di panti rehabilitasi. Aku tidak bohong, hanya saja memang tidak banyak pasien gila sepertimu."
"Apa?"
"Panti rehabilitasi ini khusus untuk orang orang tertentu, kau pikir ini panti rehabilitasi para pecandu narkoba?"
"Jadi apa yang akan kau lakukan padaku sekarang?"
"Aku tidak akan membunuhmu. Kau harus jadi bawahanku mulai sekarang.
"Ha! Bawahan?! aku tidak mau."
"Kalau begitu kau mau pilih mati dengan cara apa?"
Rey menelan ludah.
"Tenang saja, ini bukan zaman kolonialisme, kerja rodi, atau romusha. Kau memiliki background yang kuat jika menjadi anak buahku," Taka tersenyum licik. "baiklah, sepertinya kau sudah sadar dan normal,s seperti manusia biasa. Ingat, jangan gunakan kekuatanmu kalau aku tidak menyuruhmu. Sekali kau melanggar kau akan mati, paham?!"
Rey diam saja.
"Woi! Paham apa tidak sialan!"
"Paham." sahutnya dengan setengah hati.
"Kau punya tugas."
"Ha?"
"Temui Arvy."
"KAU GILA?" teriaknya.
"Siapa yang gila? Coba katakan lagi."
"Ma..maaf."
"Bagus." Taka mengelus kepalanya yang kucel. "Ieuuh, kenapa kau kotor sekali sih. Aishh mandi sana!' Taka menutup hidungnya.
Rey mencium ketiak dan bau badannya dan memang mengeluarkan bau tidak seddap. Selama ini dai memang menggila seperti monster.
"Iya iya nanti aku mandi. Ah ya, bolehkah aku tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Sekte segitiga merah itu apa?"
"Ha?!"
Flashback
"Bukankah kau dari sekte Segitiga Merah?"
"Segitiga merah? Apa itu? Norak sekali namanya."
Rataka terdiam.
"Siapa kau? Bawahannya Arvy?"
"Beraninya kau tidak sopan padaku. Berapa usiamu?"
"Kenapa kau penasaran? Sepertinya aku lebih tua darimu."
Rataka tertawa terbahak-bahak.
Rey menatapnya bingung.
Rataka mendekat lalu mencengkram dagunya.
"Usiaku ada zero zeronya di belakang. Bagaimana? Kau mau melawan nenek moyangmu yang tampan ini?" (cek bab 44)
Flashback end
Kembali ke percakapan Taka dan Rey.
"Sekte segitiga merah itu apa?"
"Musuh," jawab Taka.
"Apa?"
"Mulai sekarang mereka juga musuhmu, karena kau sudah jadi bawahanku."
"Apa mereka berbahaya? Apa mereka kuat?"
"Mereka memiliki banyak anggota yang tingkat kekuatan beragam. Ada banyak mantra berbahaya di sana."
"Karena itulah kau membutuhkanku."
"Aiishh bocah ini. Nanti kujelaskan. Kau ada dalam pengawasanku mulai sekarang. Semua tingkahmu di luar area, apapun yang terjadi aku akan mengetahuinya."
"Ha? Kenapa bisa begitu?"
"Karena aku sudah memantraimu." (mantra penghubung, seperti yang digunakan pada Rowlett sebelumnya)
"Kenapa harus begitu?"
"Karena aku tidak percaya denganmu sialan."
Rey hanya bisa menghela napas.
"Terserah kau saja. Jadi, apa kau harus menemui Arvy? Kenapa aku harus menemuinya? Tidak ada alasan lagi bertemu dengannya."
"Minta maaflah."
Rey tersentak. Ia menoleh dan mendapati Taka berwajah serius. Ia tertegun mendengarnya.
"Minta maaflah padanya," pinta Taka. "Ini tugas pertamamu. Lakukanlah dengan benar."
Taka berdiri dari kursinya kemudian meninggalkan Rey yang merenung seorang diri. Ia keluar dan menatapnya dari kaca kecil di pintu sebelum akhirnya ia menutup pintunya.
Taka tersenyum puas. "Sepertinya dia sudah jinak."
Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Holan kembali.
"Bagaimana?" tanya Holan.
"Pertemukan dia dengannya (Arvy)."
"Baiklah."
***
"Ada apa Paman?" tanya Arvy dari seberang telepon, tidak biasanya Pamannya menghubunginya di jam segini. Itu adalah Holan.
"Apa kau sibuk?"
Arvy diam sejenak, berpikir bagaimana menjawabnya. Sebenarnya ia tengah bersiap ingin menemui kakaknya dengan dokumen kemarin di tangannya. Ia ingin mengklarifikasi tentang kebenaran dokumen itu. Ia memakai jaket dan bersiap namun Paman Holan meneleponnya. Ia tentu tak bisa menolak jika pamannya meminta sesuatu bukan.
"Memangnya ada apa?"
"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
"Eh?"
"Datanglah ke panti rehabilitasi."
"Siapa?"
"Rey."
Degh. Arvy membisu.
"Arvy? Arvy?"
"Ah iya."
"Kau melamun?"
"Maaf, aku hanya terlalu banyak berpikir."
"Bagaimana? Kau mau datang?"
"Em, baiklah. Aku akan ke sana."
Setelah panggilan terputus. Arvy duduk di tepi ranjangnya, berpikir sejenak. Ingatannya tiba tiba melayang ke hari dimana Rey masih berkeliaran bahkan setelah ia menghajarnya. Ia bahkan sempat menyalahkan Rey atas hilangnya Gita, namun saat ia memarahinya ketika masih di basemen apartemennya, Rey tidak pernah berbicara. Dia seperti ketakutan seolah akan diburu sesuatu, padahal dia sendiri monster tapi memiliki rasa takut sebesar itu. Arvy pun mengenyahkan pikirannya bahwa hilangnya Gita adalah karena Rey.
Flashback
Tidak ada tempat duduk di sini. Sebelum yang dalam penuh kita harus cari meja."
"Kenapa?"
"Kau tidak belajar?"
Gita lagi-lagi mengengeh sembari tersenyum lebar. Arvy menahan senyumannya. Dirinya lega melihat gadis itu kembali berseri-seri seperti biasa. Mereka melihat meja melingkar di sudut yang masih belum ditempati. Ada tiga kursi di sana. Keduanya berjalan beriringan bersama. Hingga seorang pria berpapasan dan melewati Arvy di sampingnya. Bahu mereka hampir bertabrakan. Orang asing itu memakai jaket hitam hoodie dan menutupi kepalanya dengan penutup jaket. Seolah angin berhembus kuat, Arvy berhenti melangkah. Ia menoleh ke belakang dan menatap tajam orang itu.
"Dia masih berkeliaran?" batin Arvy. (cek bab 21)
Arvy melempar ponselnya sesudah Amy menelepon
"Sssst." Arvy meletakkan jari telunjuknya di bibir Gita. "Pelankan suaramu.
Gita berubah tegang, ia mulai ketakutan.
"Apa ada masalah?"
"Sepertinya dia datang lagi. Si Rey sialan itu," batin Arvy.
Gita melihat ekspresi wajah Arvy yang tegang. Dirinya juga menggenggam tangannya terlalu kuat. Ia sadar ada hal serius yang akan terjadi jika mereka tetap di dalam hutan.
"Kita harus segera kembali," kata Arvy.
Gita mengangguk."Maaf. Aku menyusahkan lagi."
"Ini tidak ada masalahnya denganmu."
Arvy mengeratkan jaket Gita agar tidak kedinginan. Ia lalu meraih lengan Gita yang satunya dan dilingkarkan di lengannya. Arvy menatapnya serius.
"Tetaplah di dekatku, paham?"
Gita berpegangan erat pada lengan Arvy lalu mengangguk.
"Di sini terlalu bahaya. Malam hari, di tengah hutan, dan hawa dingin. Tempat yang seratus persen mengundang hawa-hawa jahat dan hal-hal buruk. Ini pasti jadi gawang yang bagus untuk rencana Rey. Aku tidak boleh memberinya kesempatan."
Mereka berdua melangkah cepat dan berusaha keluar dari hutan dengan susah payah.