webnovel

Dokumen Palsu

Mereka bertiga masih membahas ini itu.

"Ah ya, harus kuapakan hadiah ini?"

"Bawa kemari. Aku akan menyimpannya, kalau beruntung akan kuberikan padanya kalau bertemu." Arvy mengangkat kotak besar itu dan membawanya ke salah satu ruangan di bar.

"Aku lupa membawa jaketmu, Vy." kata Amy.

"Hemm. Kau boleh mengembalikannya kapan kapan," teriak Arvy dari dalam.

Selagi Arvy di dalam, Alfa berbicara dengan Amy.

"My, kau yakin akan ke rumahnya?"

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Sekarang?"

Amy diam saja.

"Haruskah kita bertanya Arvy?"

Keduanya saling bertatapan.

Di dalam Arvy menaruh kotak itu di dalam almari kaca yang besar dekat ruang penyimpanan alkohol. Tiba tiba ponsel di sakunya berdering. Arvy mengangkatnya.

"Halo."

"Tuan, ini saya."

Arvy seketika mengerti. Itu adalah bawahannya yang ia minta untuk menyelidiki Gita. Ia baru kembali dari luar kota untuk mengumpulkan informasi demi informasi yang tersisa. Arvy menutup teleponnya lalu bergegas keluar.

"Kak Arvy kita sudah memutuskan untuk pergi seka…"

"Tidak bisa!" sahut Arvy dengan cepat.

"Apa?!" teriak Amy. "Kenapa?"

"Aku harus pergi ke suatu tempat."

Arvy memakai baju rapi dan bergegas pergi. Lebih tepatnya berlari keluar.

"Tapi… Kak Arvy!" teriak Alfa. Namun Arvy berlari cepat sekali. "Ada apa dengan situasi ini? Aiishh."

Amy hanya melirik Arvy yang berlarian ke luar dengan air muka datar.. Ia lalu berdiri dan memutuskan untuk keluar dari bar.

"Kau mau kemana?"

"Kemana lagi? Tentu saja pulang."

"Begitu ya. Baiklah, ayo pulang."

Keduanya keluar dari bar.

***

"Apa anda sudah melihat dokumennya lagi?" tanyanya.

"Iya. Aku tidak tahu dimana bagian yang palsu."

Arvy mengeluarkan dokumennya.

Bawahannya bernama Ravis, usianya sama dengan Mark. Ia seorang pengacara handal dan bekerja di bawah Arvy. Perawakannya kurus dan tidak terlalu tinggi, matanya tajam dan alisnya tebal. Orang mungkin akan mengira dia keturunan arab karena kontur wajahnya.

Ravis mengeluarkan dokumen itu.

"Coba anda lihat di lembar kesehatan rumah sakit Adijaya."

Arvy membaca dan memperhatikannya lagi. Memang ada yang aneh dari lembar dokumen itu.

"Rumah sakit itu tidak pernah ada, saya sudah mencarinya di luar ibu kota. Tidak ada rumah sakit bernama itu. Saya mengumpulkan daftar klinik kedokteran dan dokter pensiunan di seluruh ibu kota. Namun nihil, Tuan. Tidak ada riwayat pasien bernama Gita yang anda maksud."

Arvy hanya mendengarkan, ia menghela napas.

"Dan dokumen ini…mohon maaf sebelumnya, tapi kemungkinan dokumen kesehatan itu palsu."

"Ini yang tidak aku pahami. Bagaimana….bagaimana bisa…." Arvy tidak habis pikir. "Apa alasan kakek memalsukannya? Dia bilang ingin aku segera menikah, tapi kenapa memalsukan ini? Dia bahkan mengatakan kalau Gita mungkin sudah meninggal."

"Saya memiliki 2 kesimpulan, bolehkah saya mengatakannya?"

"Katakan."

"Kemungkinannya ada 2. dilihat dari motif pemalsuan dokumen ini, pertama, informasi Nona Gita tidak pernah ditemukan atau bisa saja memang tidak sengaja dicari oleh kakek anda dan yang kedua kakek anda berhasil menemukan keberadaan nona Gita namun kemungkinan untuk menunjukkannya pada Tuan Arvy sangat tidak memungkinkan."

"Sepertinya kesimpulan pertama agak tidak bisa kuterima, kalau kesimpulan kedua, bagaimana maksudmu? Jelaskan lebih detail?"

"Seperti ada kemungkinan Nona Gita mengalami kecacatan atau…"

"APA KATAMU?!"

Ravis kaget hingga terlonjak dari duduknya. Arvy berdehem dan pura pura membenahi coat nya karena tidak sadar dirinya baru saja berteriak.

"Maafkan aku, aku terlalu… ya begitu lah."

"Tidak apa apa Tuan, saya paham."

"Gita? Cacat?" Arvy menghela napas. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Maaf tuan sebelumnya karena membuat anda khawatir begini, ini hanya hipotesis saya."

"Baiklah, teruskan saja."

"Jika Nona Gita memiliki keadaan yang tak dapat diterima Direktur Rossan, belia pasti menghalangi hubungan anda dengan Nona Gita."

"Ahh. Itu masuk akal."

"Benar kan? Jika nona Gita memiliki keadaan yang tidak sesuai yang diharapkan, direktur Rossan pasti ingin anda menjauhi nya dan mencari gadis lain, tadi anda bilang direktur Rossan ingin anda segera menikah kan?"

"Aku tidak yakin Kakek memiliki pemikiran picik seperti itu?" Arvy menghela napas lagi, ia memegang dahinya yang pening.

"Saya yakin kalau Nona Gita masih hidup. Setelah saya memeriksa dan mempelajari dokumen ini secara mendalam, bahwa dia meninggalkan rumah sakit baru tahun lalu dengan penyakit leukemia stadium awal. Peluang untuk sembuh masih tinggi, pasti ada alasan besar mengapa Nona Gita keberadaannya tidak bisa diketahui orang orang, terutama anda. Ia bahkan berbohong ingin pergi ke Toronto. Atau kesimpulan yang ketiga…"

"kesimpulan ketiga?" Arvy menunggu nunggu. "Tunggu, kau bilang tadi ada 2."

"Iya maaf Tuan. Tiba tiba saat kepikiran satu hipotesis lagi."

"Apa itu?"

"Kemungkinan Nona Gita sengaja menghindar dari anda, agar anda tidak menemukannya, agar anda tidak mencarinya."

"Apa kakek sudah memperhitungkan semua ini?"

"Saya tidak bisa menerka direktur Rossan. Tapi jika direktur sudah menemukannya dan mengetahui alasan nona Gita dan membantu nona Gita menyembunyikannya, itu past sesuatu yang membahayakan anda Tuan."

"Membahayakan? Jadi jika kakek sudah menemukannya dan mengetahui mengapa Gita menyembunyikan diri, kakek sengaja membantunya agar aku tidak lagi mencarinya? Begitu?"

"Iya. Namun ini hanya deduksi saya sejauh ini. Saat saya mencari informasi nona Gita beberapa suster dari rumah sakit mengatakan bahwa ada beberapa orang yang juga datang ke sana beberapa minggu yang lalu mencari orang yang sama, saya menebaknya itu adalah orang orang Direktur Rossan."

"Untuk saat ini kau tetaplah mencari informasi di beberapa tempat yang sudah kau kumpulkan."

"Baik Tuan."

Setelah itu, Ravis meninggalkan kafe tersebut terlebih dahulu agar tidak ada yang menyadari.

Arvy masih duduk termenung melihat file file dokumen itu. Ia tidak ingin percaya dengan penarikan kesimpulan atau hipotesis yang diberikan Ravis, namun ia tahu bahwa itu mungkin saja dilakukan. Bagaimana mungkin ia bisa dengan mudah percaya, sedangkan kakeknya begitu senang melihat dirinya akhirnya dekat dengan gadis setelah sekian lama.

"Apa kakek sepicik itu ingin memisahkan aku dan Gita? Padahal ia belum mengetahui bagaimana sifat dan karakter Gita yang sebenarnya?" pikirnya.

Ia duduk dengan siku bertumpu di meja dan kedua telapak tangannya menyatu di bawah dagunya. Setelah diam beberapa detik akhirnya Arvy seolah akan menyerah.

"Ahhh sial!"

Ia mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi. Ia akhirnya kembali ke apartemennya, melempar ponselnya ke sofa dan memutuskan untuk mandi dan menenangkan diri.

Keluar dari kamar mandi, ia masih memakai kimono putih dan handuk kecil di rambutnya. Ponselnya di atas sofa berdering, seseorang menelponnya.

Arvy melihat di layarnya. Itu adalah Amy.

"Amy? Ada apa dia meneleponku?" pikirnya. Ia mengangkatnya.

"Ada apa?"

"Aku sudah memutuskannya."

"Apanya?"

"Kita akan ke sana hari Kamis."

"Kamis? Berarti 2 hari lagi. Apa ada alasan tertentu kenapa 2 hari lagi?"

"Alfa besok harus ganti perban lagi."

"Ah begitu ya. Pastikan kau kasih dia obat yang kuat agar tidak loyo."

"Ngatain orang lain tapi kau sendiri juga loyo, dasar!"

"Ha? Aku? Loyo? Mana mung…"

Klik!.

Amy menutup panggilannya.

"Aiishh sialan bocah ini," umpat Arvy.

Ia lalu berdiri di depan kaca dan bercermin untuk melihat otot bisep di lengannya.

"Anak itu pasti tidak melihat betapa aku ini sangat berotot, cih!"

"Berotot apanya sialan!" gumam Amy sembari melangkah mengambil minum di kulkas, seolah menyahut kata kata Arvy.