"Dokumen itu dibuat dengan cara yang sangat sulit dideteksi kepalsuannya. Saya yakin seratus persen."
"Tapi Arvy tahu kalau aku menipunya! Padahal setelah sekian lama dia akhirnya mau berbicara dengan kakeknya, tapi sekarang semuanya buyar gara gara dokumen ini!"
Tiba tiba pria itu memikirkan sesuatu.
"Direktur, mungkinkah ada seseorang yang berlatar belakang medis atau hukum yang memberitahunya?"
"Apa maksudmu?"
"Saya sudah memastikan bahwa dokumen itu mirip dengan aslinya seolah olah dari pihak rumah sakit yang sesungguhnya. Namun ini berbeda lagi jika Tuan Muda memiliki rekan atau bawahan yang bekerja di rumah sakit dan pengadilan. Ia pasti diberitahu oleh seseorang."
"Selidiki anak itu. Cari tahu siapa saja yang terlibat dengannya selama ini."
"Baik, Pak."
"Suruh Rataka datang ke tempat biasa besok. Siapkan tempatnya."
"Baik, Pak.
Setelah mengatakan itu, pria yang notabenenya kanan tangan Rossan keluar dari ruangan.
***
Holan menatap Nadia yang tertidur lelap di ruangannya. Sembari duduk di sampingnya dan memegang telapak tangannya dan mengelus elusnya. Wajah Nadia, isterinya teduh dan masih cantik seperti biasa.
"11 tahun," Holan berkaca kaca. "11 tahun kau meninggalkan aku, Nadia. Apa kau sudah tidak mencintai aku lagi?"
Namun tentu saja tidak ada jawaban. Holan menceritakan tentang kondisi anak anaknya. Ia biasanya akan mengoceh perihal Dio dan Amy yang sekarang telah menjalankan kehidupannya masing masing. Dan bagaimana keduanya hidup dengan baik.
"Kau tahu Nadia, Amy putrimu…sekarang bukan lagi gadis kecil yang dingin yang tidak bisa merasakan emosi. Putrimu tumbuh menjadi gadis remaja cantik, bahkan dia sudah tidak mencintai aku lagi sekarang, karena dia sudah punya kekasih yang sangat dia cintai lebih dari ayahnya. Haha." Holan menertawakan dirinya sendiri. "Aku tidak tahu siapa yang mengincar nyawa Amy hingga sekarang. Putri kita dalam bahaya, Nadia. Seseorang mengancam putri kita. Aku sangat takut, jujur aku tidak bisa membayangkan jika Amy dilukai oleh orang jahat.
Ia mengingat percakapannya dengan Rataka saat ia merasakan ada yang mendekati Amy, aura yang sana kuat seolah akan membunuh putrinya.
Flashback
"Kau menemukan orang yang mencurigakan di sekitar Amy?"
"Itu hanya perasaanmu. Tidak ada yang krusial saat aku ke sekolah Amy. Dia baik-baik saja." Rataka menyembunyikan perihal Alfa sebelum ia mengkonfirmasi sendiri tingkat ancamannya.
"Tidak mungkin. Jelas-jelas aku merasakan seluruh fyber dalam dirinya seolah terguncang." (cek bab 38)
Flashback selesai.
"Dan Dio..kau benar benar tidak mau melihatnya sembuh? Dia sudah menderita sejak lama, merindukanmu sampai seperti ini dan hampir hilang kewarasannya. Tapi aku…aku adalah ayah yang buruk untuk putra kita. Aku tahu aku hanya bisa mengeluh, aku hanya bisa mengeluh tentang anak anak kita padamu, tapi….aku sangat merindukanmu. Aku rindu dimana kita saling mengobrol ringan di rumah, membicarakan anak anak kita yang imut. Dio tidak seharusnya mengalami kepedihan ini, Dio seharusnya tidak menderita sampai seperti ini. Ini gara gara aku yang tidak bisa menggantikan sosokmu untuknya."
Ingatan Holan juga melayang saat malam itu.
Flashback
Malam itu, saat semua orang sudah tertidur termasuk Amy. Holan memergoki Dio tengah mengonsumsi pil obat tidur dalam dosis yang banyak, 3 kali lipat dari yang seharusnya. Holan masuk dan mencekal tangannya, hingga pil pil itu berjatuhan di lantai.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ayah. "Kau ma mati huh?"
Dio menatapnya tajam.
Holan sadar bahwa kata katanya cukup kasar untuk anaknya yang pernah melakukan bunuh diri.
"Memangnya ayah tahu apa?"
"Apa kau bahkan memikirkan ibumu saat melakukan ini? Apa kau pernah memikirkan perasaannya? Kenapa kau melakukan ini, Nak?"
"Justru itu! Justru itu, Yah!"
"Apa?"
"Mantra kutukan atau apalah itu aku tak peduli, toh orang yang melakukannya tidak bisa ditemukan hingga sekarang kan? Padahal sudah bertahun-lama. Ayah…kau juga tahu itu kan? Kau tahu ibu tidak akan kembali pada kita kan?!"
"Jadi, kau akan menyerah?"
Dio tidak menjawab, ia diam dan memalingkan wajahnya.
"Kau akan menyerah padahal ibu sangat menyayangimu? Huh?"
"Ayah aku…"
"Hentikan. Hentikan sekarang juga Dio. Ayah minta maaf karena tidak menyadari keadaanmu lebih cepat. Tapi ayah juga kehilangan, ayah juga kehilangan ibumu." mata Ayah berkaca kaca. Ia tidak bisa membendung rindu yang selama ini ia tahan dalam dada. Bahwa dirinya juga merindukan isterinya.
Ayah mengambil wadah pil berbentuk silinder di tangan Dio dengan pelan.
"Ayah tahu kau akan mengerti. Kau paham apa yang ayah maksud kan? Ini bukan seperti ibumu menginginkan kau untuk mengakhiri hidup. Bukan hanya kau yang berjuang, ibu juga berjuang untuk kembali pada kita. Jadi… ayah mohon…"
Dio menangis, menunduk dengan tersedu sedu.
"Ibu…"
"Ayah mohon tunggulah sebentar lagi. Tidak…maksudku tunggulah sampai ibu siap kembali pada kita. Tunggulah sampai waktu itu tiba. Tetaplah hidup sampai saat itu." (cek bab 90)
"Aku berjanji akan menemukan orang yang melakukan ini padamu. Jadi kumohon Nadia, kumohon…" Holan memegang erat tangan isterinya. "Bertahanlah sampai saat itu tiba. Sebagaimana Dio bertahan untukmu, sebagaimana kami semua bertahan untukmu."
Holan menundukkan kepalanya.
"Memang benar aku yang tidak tahu diri. Kau yang memilihku malah aku yang melukaimu. Bagaimana bisa kau menyukai pria sepertiku Aku memang suami yang tidak tahu diri, dan juga menantu yang tidak tahu diri."
Holan dahulunya adalah orang yang sangat tegas. Bekerja sesuai aturan dan disiplin. Saat bertemu dengan Amy pun saat itu, ia merasa tidak berniat untuk mengangkatnya sebagai anak, namun karena fyber dalam tubuhnya menginginkan perlindungan darinya, Holan berpikir bisa memanfaatkannya dan menggunakannya untuk keuntungan dirinya sendiri. Padahal dirinya sama, tidak jauh beda dari kondisi Amy. Ia baru tahu bahwa Amy adalah anak panti asuhan yang memang sudah direncanakan oleh Nadia untuk diadopsi sebelum peristiwa naas itu terjadi. Dia adalah pria robot yang jatuh cinta pada wanita yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Ingatan Holan melayang pada masa lalu.
Flashback
Direktur menatap tajam seseorang yang tengah berlutut di hadapannya. Ia menamparnya lagi dan lagi hingga pipi orang tersebut memerah. Meski usianya sudah lebih dari 70 tahun dan memakai tongkat, staminanya sangat besar hingga menimbulkan luka memar di wajah orang itu. Dia adalah Mayor Holan.
"Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, Holan," kata Direktur dengan pelan namun penuh penekanan dan berapi-api. "Kau lupa siapa yang memungutmu? Aku harus menyadarkanmu dari semua tanggung jawab yang sepertinya hampir pudar dari otak kosongmu itu."
Direktur kembali ke tempat duduknya dan berusaha mengendalikan amarahnya. Ia membuka laci mejanya dan mengambil sebuah surat.
Ia memandangi surat itu dan menghela napas.
"Beberapa hari yang lalu, Nadia kemari," katanya tiba-tiba, dengan nada yang tidak tinggi seperti sebelumnya.
Mayor terkejut. Ia mendongak.
"Kemarilah. Ambil surat ini. Dia menitipkannya untukmu."
"Apa? Mungkinkah Nadia…"
"Ya, dia sudah tahu sejak lama. Tentang siapa sebenarnya dirimu dan jati diri ayahnya yang sebenarnya."
Mayor menunduk, matanya berkaca-kaca. (cek bab 5)
Holan mencium tangan Nadia dan menangis mengingat semua itu. Semua kebahagiaan maupun kepedihan yang ia lewati bersama isterinya, semua kenangan dan semua perasaan yang telah ia bagi selama ini. Hanya bisa ia ceritakan pada Nadia yang tengah terbaring bertahun tahun di ranjang dingin itu.
***
"Apa katamu?" Ardana menerima telepon dari seseorang.
Orang itu memberitahunya tentang putranya yang datang ke kantor direktur dan membuat keributan di sana bahkan memukul seorang tamu penting.
"Arvy? Melakukan hal seperti itu?"