webnovel

The Eternal Love : Raja Chandra

[Bab 215 sampai seterusnya akan direvisi secara berkala oleh penulis] Perjalanan hidup Chandra, calon Raja Mahaphraya dari sebelum lahir sampai menemui cinta abadinya. Dia adalah pria nakal yang bertemu dengan 'eternal love-nya' di Valepawan. Pertemuan dengan Karina, meninggalkan bekas yang sangat mendalam dan selalu diingat sepanjang hidupnya, bahkan sampai bereinkarnasi sekalipun. "Siapa kau? ".... Aku Raka." Namun, semakin lama mengenalnya, Chandra merasa Karina bukanlah gadis biasa. Terlalu banyak bahaya dan tanda tanya di kehidupan Karina yang membuatnya enggan kembali lagi ke Mahaphraya sebagai calon raja. Apa alasan Chandra merasa enggan kembali ke Mahaphraya? "Aku selalu menunggumu, Raka ...." Lalu bagaimanakah kisah Chandra dengan eternal love-nya? Inilah lika-liku hidup Chandra yang dikemas dari sisi asmara, politik, maupun keluarga. ——— Cover art by maple.design_

meinjasumin · ファンタジー
レビュー数が足りません
244 Chs

Promise(Jahankara POV)

***

"Istriku pingsan?" Tubuhku kaku dengan mata nanar yang menatap Eros.

Wanita itu menganggukkan kepala, masih mempertahankan posisi bersedekap.

"Aku melihatnya di lorong. Dia sudah diba–"

Tanpa menunggu penjelasan Eros lebih lanjut, aku langsung berteleportasi ke kamar Anindya. Aku mengutuk diri sendiri. Betapa bodohnya aku sampai tak merasakan mana Anindya yang melemah.

***

Aku langsung berlari ke sisi Anindya saat sampai di kamarnya. Salah satu dayang yang berada di sisinya langsung mundur memberikan ruang padaku.  Sedangkan para dayang yang lain membantu tabib dengan menggosok-gosok tangan dan kaki Anindya agar bangun.

"Anindya, sadarlah!"

Aku menggenggam erat tangan kanannya sambil memberikan nutrisi lewat mana agar dia sadar.

"Hmm, ku kira kau akan benar-benar membunuh istrimu."

Itu Eros. Sepertinya dia ikut berteleportasi juga ke kamar Anindya. Aku menangkap pergerakan tubuhnya yang melongok untuk melihat Anindya.

"Hei, mana anakmu ini tidak main-main ya," kata Eros, "pantas saja ibunya sampai pingsan begini."

Entah itu dapat disebut sebagai pujian atau bukan. Yang pasti saat mendengar itu ada rasa sakit yang sangat besar dalam hatiku.

Itulah yang ku khawatirkan. Semakin besar mana jabang bayi, maka dia akan semakin mengancam nyawa sang ibu. Apalagi Anindya memiliki mana yang cukup lemah.

"Kalau tak mau bantu, pergilah." Aku mengusir Eros tanpa melihatnya dan tetap fokus pada Anindya.

Eros menarik jubah lengannya. Tanpa diduga, dia ikut membantu agar Anindya sadar. Dan hal itu membuat aku menatap horor padanya.

"Aku membantu Ratu, bukan kau."

Aku hanya mengangguk kecil menanggapi Eros. Dalam hati, aku berterima kasih padanya karena mau meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu Anindya yang secara tak langsung juga membantuku.

"Ughhh."

Aku langsung mengusap dahi Anindya yang berkerut. Hatiku berdebar-debar hanya dengan mendengar suara geraman samarnya.

"Anindya? Anindya? Ayo bangun, ini aku." Perlahan namun pasti, mata Anindya terbuka. Aku dan Eros menghentikan kegiatan mengisi nutrisi Anindya lewat mana.

"Ja ... han ... ka ... ra?"

Aku mengangguk semangat sambil meletakkan tangan Anindya yang ku genggam tadi di bawah dagu.

"Ya, ini aku, Sayang."

Dia mengedipkan mata perlahan. Mungkin untuk menghalau sinar yang cukup terang di kamarnya.

"Ugh, ya .... Apa tadi aku pingsan?" Dia memijit keningnya. "Ah, saya pingsan?"

Bibirku terbungkam seketika. Kenapa kau menjaga jarak lagi? Bukankah tadi kau sudah memanggilku seperti biasa, Anindya? Aku mendatarkan wajah, kemudian tersenyum simpul seolah tak ada apa-apa.

"Ya, kau pingsan. Syukurlah sekarang sudah sadar. Apa ada yang sakit?" Aku memindai tubuhnya dari atas sampai bawah. Dia menggeleng perlahan sambil menutup matanya.

"Tidak ada."

Tabib yang menyiapkan obat menatapku dengan tatapan mengode. Di tangannya sudah ada segelas obat yang tadi dibuatnya untuk Anindya jika dia sudah sadar. Aku mengangguk pelan, memberi isyarat agar mereka meninggalkan kami. Termasuk Eros yang ku suruh keluar walaupun raut wajahnya terlihat ingin memakiku.

Ketika pintu sudah tertutup rapat, aku pindah ke sisi kiri untuk memudahkan mengambil barang yang berada di atas nakas.

Aku mengelus puncak kepalanya, lalu memanggilnya dengan suara lembut.

"Anindya."

"Hmm." Dia hanya bergumam kecil untuk menjawab panggilanku.

Ego dan gengsi, silakan kalian pergi terlebih dahulu. Aku tidak ingin Anindya marah dan celaka lagi karena kalian.

"Minum obat dulu agar kau lebih sehat."

"... letakkan saja di sana, nanti akan saya minum. Silakan anda keluar, Yang Mulia." Dia hanya menjawab, tapi matanya tertutup untuk menghindari ku.

"Tidak. Ayo minum obat dulu. Mau kau yang minum atau aku yang minum?" Jika Anindya ingin aku yang minum, sebenarnya juga akan berakhir di mulut Anindya.

Dia membuka matanya, lalu menoleh padaku yang tiba-tiba memasang senyum canggung.

Aku berdebar tidak karuan. Ini adalah kali pertama kami bertatapan intens setelah berpisah selama empat bulan. Sial! Kenapa aku seperti remaja yang sedang kasmaran lagi? Ingatlah, Jahankara! Istrimu sedang sakit, Bodoh!

"Saya saja yang minum." Dia bersiap untuk mengambil posisi duduk. Sebelum dia melakukannya, aku lah yang membantu dia terlebih dahulu.

"Terima kasih, Yang Mulia."

Aku mencengkram erat gagang cangkir dengan senyum kecut yang terpatri. "Panggil seperti biasa saja, Anindya. Aku merasa ada jarak di antara kita jika kau memanggilku seperti itu."

"Tidak mau," tolaknya langsung dengan nada tegas. Dia menengadahkan tangan, meminta gelas yang berada di tanganku. Tentu saja aku menolaknya juga.

"Aku akan merawatmu."

Dia menghela napas panjang sambil merotasikan matanya. "Terserah anda saja lah."

Aku tersenyum kecil, merasa sedikit puas dengan jawaban ambigu dari Anindya. Aku mengambil sendok, lalu menyuapi obat tersebut pada Anindya yang tak acuh padaku.

Dia mengernyitkan alis saat cairan tersebut melewati kerongkongannya. Tiba-tiba dia menjulurkan lidah dan cairan tersebut keluar dari mulutnya.

"Uekkk, ughhh!" Sontak aku mengambil sapu tangan yang terletak di atas nakas, lalu menyeka bibirnya yang basah.

"Obat apa sih yang diberikan tabib itu? Kenapa pahit sekali?" rajuknya dengan kesal sambil melihat pakaian dan selimut yang sedikit basah.

Aku tersenyum geli mendengar protesan darinya. Sudah ku duga Anindya akan seperti ini. Dia tak terlalu suka obat. Jika sakit, dia lebih memilih untuk menahan sakitnya atau mendapatkan pengobatan sihir dari penyihir menara saja.

Aku memberikan sapu tangan padanya dan dia mengernyit kebingungan.

"Tak mungkin aku berbuat lancang pada seseorang yang sedang marah padaku, kan?" tanyaku menjawab raut wajahnya.

Dia sempat terpaku sebentar menatap mataku. Setelah itu dia mengambil sapu tangan dengan cepat, lalu membersihkan selimut dan pakaiannya.

"Terima kasih." Anindya memberikan sapu tangan yang kotor untuk diletakkan di tempat semula.

Setelah itu kami bergeming di tempat dan menyelami pikiran masing-masing. Anindya menunduk sambil mengelus perut yang mulai terlihat agak buncit, serta aku duduk tegak dengan sekali-kali meliriknya.

"Ehm, apakah ada yang masih sakit?"

Anindya menggeleng pelan dengan sedikit bergumam. "Tidak ada," jawabnya. "Bagaimana kabar, Yang Mulia?"

Aku cukup terkejut dengan pertanyaan spontan darinya. Namun, ku ubah raut wajahku dan menjawabnya. "Setidaknya cukup baik daripada kau."

Dia mendengus samar kemudian menoleh padaku. "Yang Mulia tak menanyakan kabar saya?"

Aku menarik napas dan menatapnya dengan penuh arti. "Aku sudah melihatmu pingsan berulang kali. Itu artinya kau tak baik-baik saja."

"Berulang kali?" Anindya cukup terkejut mendengar jawaban dariku.

Haha, apa dia mengira kalau aku datang saat dia pingsan di awal kehamilan dan sekarang saja?

Aku mengangguk samar, lalu mengambil sebuah apel merah dan mengupasnya untuk pengalihan.

"Ya, berulang kali. Aku bahkan mendengar kau merintih kesakitan dalam tidurmu setiap malam."

Aku tak tahu bagaimana raut wajahnya saat aku mengatakan hal yang ku lakukan diam-diam selama empat bulan terakhir. Terkejut, marah, sedih, terharu, atau apa? Aku hanya fokus pada apel yang sedang ku kupas dan memang sengaja tak ingin melihat raut wajahnya.

"Apa Yang Mulia datang ke kamarku setiap malam?"

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Bisa dibilang begitu." Aku menyerahkan sepotong apel yang sudah ku kupas padanya. "Makan ini."

Dia tersenyum kecil, lalu menerima dan memakannya.

"Kenapa?"

"Aku merindukanmu. Aku khawatir padamu. Aku hanya ingin berada di sampingmu. Yah, seperti itulah." Aku mengacak-acak rambut yang memang sudah tak rapih sejak matahari menyingsing.

Ah ... ini cukup memalukan. Setelah empat bulan tak berbicara seperti ini pada Anindya dan aku tiba-tiba membeberkan semuanya dengan lancar?

"Terima kasih, Yang Mulia."

Huh? Aku mendongak dengan raut terkejut.

"Saya kira Yang Mulia tak memedulikan saya lagi."

Hei, mana mungkin ...? Tidakkah dia tahu kalau aku menyusupkan mata-mata para dayang untuk melaporkan semua yang dia lakukan?

"Kenyatannya aku tak seperti itu, Anindya."

"Ya, anda masih sama." Dia tertunduk, mungkin melihat apel yang tersisa sedikit di tangannya?

Aku menatap perut yang mulai agak membuncit di balik pakaiannya. Bibirku bergetar, ragu untuk menanyakan hal itu.

"Em ... bagaimana bayinya?"

Deg, deg, deg, deg. Jantungku berpacu lebih cepat daripada sebelumnya.

"Bayi?" Anindya mengelus pelan perutnya, "dia sehat."

"Ohh."

Anindya menoleh dan membuatku tersentak kecil di tempat.

"Terima kasih karena sudah menanyakan keadaannya, Jahankara."

Pupil mataku melebar dengan kepala yang agak maju ke depan. "Ya ...?"

Apa telingaku tidak salah dengar? Anindya memanggilku seperti semula, kan?

Dia tersenyum lebar sampai-sampai aku melihat matanya juga ikut tersenyum.

"Terima kasih sudah memedulikan keadaan bayi kita."

Ugh! Aku memegangi dada yang berdebar keras. Jangan bilang aku mengidap penyakit  jantung! Ini karena ... karena ... Anindya tersenyum begitu cerah menggantikan bulan yang bergantung di luar sana.

"Kau malu?"

Aku langsung menggeleng menjawab pertanyaannya. Eh, aku rasa itu bukan pertanyaan melainkan sebuah godaan.

"Tentu saja tidak!"

Anindya terkekeh geli mendengar sanggahan dusta. Kebohonganku pasti tercium jelas olehnya. Aku berdeham singkat untuk mengurangi rasa badum-badum di dada.

"Aku minta maaf."

"Untuk apa?"

Matanya menatapku dengan sungguh-sungguh. Uhh, jelas-jelas aku tahu itu tatapan introgasi tingkat tinggi dari Anindya. Aku pernah melihatnya saat dulu dia mengintrogasi tentang mantan kekasih yang menggodaku setelah kami menikah.

"Untuk sikap brengsek, keras kepala, dan keegoisanku." Aku tertunduk seperti anak yang sedang dimarahi oleh ibunya. Ya, hanya Anindya dan mendiang ibu saja yang bisa membuatku seperti ini, tidak ada yang lain.

"Aku juga minta maaf untuk itu," imbuh Anindya dan membuatku menatap matanya, "aku juga membuat kesalahan yang amat banyak selama empat bulan ini. Aku juga yang selalu menghindar darimu."

"Jadi kita sama-sama salah, ya?" Aku bertanya dengan hal yang sudah jelas sambil tertawa kecil.

"Kita sama-sama keras kepala untuk mempertahankan," sambungnya sambil tersenyum. Anindya tahu apa alasan aku begitu marah padanya.

"Betul. Oh, bolehkan aku bertanya?" Aku menggenggam tangan Anindya, sengaja.

Dia mengangguk, lalu membalas genggamanku. Sekilas aku sempat akan terbang lagi, tapi tertahan karena apa yang ku tanyakan akan menjadi keputusan akhir di antara kami.

"Apa keputusanmu masih sama?"

Dia diam. Bahkan mengalihkan mata agar tak bertatapan langsung denganku.

Aku takut? Tentu saja!

Aku sangat takut dengan jawaban yang akan diberikan Anindya. Kemungkinan terbesar, aku lah yang akan ditinggalkannya.

Aku mengelus punggung tahannya, kemudian ku kecup perlahan. "Katakan saja, Anindya. Aku tak akan marah kali ini. Atau beri isyarat jika kau tak sanggup untuk menjawabnya." Aku berusaha untuk meyakinkannya dengan perkataan dan perbuatan.

Dia mengangguk pelan, tapi pasti. Dan aku? Aku hanya bisa menampakkan senyum di tengah kenyataan duri yang menusuk-nusuk jantung hatiku.

Aku akan ditinggalkan lagi. Itulah kesimpulan dari jawaban Anindya.

Aku menciumi punggung tangannya. Tak kuasa mendongak untuk menatap mata teduhnya lagi. Aku sedang berusaha untuk menahan tangis karena jawaban yang diberikannya itu menyakitkan. Padahal aku sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk, tapi ... tetap saja ... menyakitkan.

"Kau tak marah?" Suara Anindya terdengar ragu-ragu saat bertanya padaku.

"Tidak, aku tak akan marah. Aku sudah berjanji secara tak langsung padamu, mana mungkin aku marah."

Oh, ayolah ... jangan menangis, Jahankara.

"Jahankara?" Anindya berusaha untuk mengangkat kepalaku, namun ku tahan.

"Tidak, Anindya, jangan."

Dia menarik rambutku dengan cukup kencang agar aku mendongak menatap matanya. Tidak, jangan sampai aku menatapnya malam ini atau aku akan menangis.

"Tatap mataku atau aku tak akan memaafkan mu!" tegasnya dan membuat aku langsung mendongak.

Tak butuh waktu lama untuk air mata merembes keluar. Aku langsung memeluk dan menghirup wangi tubuhnya yang mampu untuk menenangkan.

"Jangan menangis, Jahankara."

Aku menggeleng kecil dalam ceruk pundaknya. Mana mungkin aku tak menangis kalau akhir dari hubungan kita beberapa bulan kemudian sudah ditentukan.

"Sudah ku katakan jangan. Kau memaksa dan aku tak bisa menahannya," aduku berusaha untuk menghentikan tangis karena ada hal yang belum ku katakan lagi padanya.

Aku melepas pelukannya dan menatap dia dengan sungguh-sungguh.

"Aku berjanji akan menemani hari-harimu dengan kebahagiaan. Aku berjanji hari-hari itu tak akan pernah kita lupakan seumur hidup, bahkan sampai kita pergi ke alam atau dimensi lain. Aku berjanji tak akan ada air mata lagi di antara kita. Hanya kebahagiaan yang harus tersisa di antara kita. Pegang janjiku, Anindya, dan jika aku melanggar, maka kau bebas untuk membunuhku."

"Kau bebas untuk membunuh dan mengutukku, Anindya Phraya."

———

Selamat beraktivitas lagi^^

meinjasumincreators' thoughts