(Leon PoV)
Semakin jauh aku berjalan setelah berpisah dengan Ellise, aku melihat Wolf sedang duduk mengobrol dibawah pohon bersama dengan seorang laki-laki yang tidak kukenal. Kulihat dari arah samping, laki-laki itu sepertinya terlihat seumuran dengan kami, dan mengenakan kaos hitam dan celana pendek.
"Yo." Sapaku pada mereka berdua.
"Oh, hei, Leon." Jawab Wolf sembari melirik ke arahku.
"Siapa orang itu?" tanyaku sambil memiringkan kepala dan melirik orang yang ada disamping Wolf.
Wolf memalingkan pandangannya ke arah orang yang kulirik selama beberapa saat lalu berkata, "Namanya Morfin, aku baru saja bertemu dengannya disini."
"Apa dia adalah rekan kita?"
"Menurutmu apa aku akan berteman dengan musuh?"
"Entahlah. Aku hanya ingin memastikan."
Orang yang bernama Morfin itu hanya diam mendengarkan percakapan kami. Dan tampaknya dia juga tidak tertarik untuk ikut mengobrol.
Aku berjalan ke arahnya lalu mengulurkan tangan kananku padanya.
"Namaku Leon, salam kenal." Kataku.
Dia tersenyum dan menjabat tanganku lalu berkata, "Aku Morfin, salam kenal, Leon."
Setelah mengatakan itu aku menarik kembali tanganku dan berpaling ke arah Wolf.
"Apa kau sudah tidak apa-apa?" tanyaku pada Wolf.
"Ya begitulah." Jawabnya dengan nada datar.
Tiba-tiba angin dingin berhembus dari arah selatan. Bulu kuduk ku merinding dan disaat yang bersamaan aku merasakan sebuah firasat buruk.
Selang beberapa detik, Wolf dan Morfin yang tadinya duduk dengan tenang tiba-tiba berdiri. Dilihat dari tingkah dan ekspresi mereka, sepertinya bukan hanya aku yang mendapat firasat buruk.
"Mungkinkah ini sudah dimulai?" Wolf bergumam dengan pelan.
"Apa yang sudah dimulai?" tanyaku yang tidak mengerti dengan apa yang digumamkannya.
Wolf menghela nafasnya lalu menatap lurus ke arahku.
"Bukankah aku pernah mengatakan tentang ini diawal pertemuan kita?" katanya.
"M-Mungkinkah..." Aku tanpa sadar mundur beberapa langkah. Keringatku mulai bercucuran hingga membasahi tubuhku, dan kakiku tak berhenti gemetar.
Angin mulai berhembus sekali lagi, dan disaat yang sama Wolf menatap mataku dengan tajam.
"Tidak ada waktu untuk takut, Leon." Tegasnya, "Sebaiknya kita segera pergi menuju ke utara."
Aku mengatur napasku perlahan-lahan untuk menjernihkan kembali pikiranku. Seiring berjalannya waktu, keringatku mulai berhenti dan kakiku tidak lagi gemetar.
Meskipun aku sedang tidak berlari, napasku entah kenapa begitu berat dan dadaku sedikit sesak. Aku mengelus-elus dadaku dengan tangan kanan selama beberapa saat hingga akhirnya aku tenang kembali.
"Kau sudah tenang?" tanya Wolf dengan nada bosan.
Sesaat sebelum aku hendak menjawab, aku teringat pada seseorang.
"Oh iya, aku hampir lupa. Kita juga harus membawa Ellise pergi bersama kita." Kataku sembari bergegas menuju ke jalan yang tadinya aku lalui.
"Kau mau kemana?" tanya Wolf sambil menghadang jalanku dengan tangan kirinya.
"Bukankah sudah jelas."
"Tidak, kau tidak boleh membawa dia bersama dengan kita."
"Apa-apaan kau ini?" bentakku sambil menepis lengan kiri Wolf dengan tangan kiriku.
"Asal kau tahu saja." Balas Wolf sembari mendorongku, "Dia itu hanya akan memperlambat kita."
Aku mendorong Wolf lebih kencang daripada yang dia lakukan padaku lalu berkata dengan penuh amarah, "Jika kau memang tidak ingin bersamanya, maka aku tidak akan mau ikut bersamamu lagi."
Hatiku begitu panas ketika dia menyuruhku untuk meninggalkan Ellise, sampai-sampai aku ingin mengoyaknya menjadi beberapa bagian.
Dengan penuh amarah aku berjalan menyusuri hutan menuju ke gubuk dimana Ellise berada sekarang.
Sesampainya disana, aku tanpa pikir panjang membuka pintu masuk gubuk dengan kasar. Bagian dalam gubuk itu diterangi oleh lentera yang diletakkan diatas lantai, lalu saat aku melirik ke samping kanan, aku melihat 5 orang pemuda sedang berkerumun, dan didekat mereka ada beberapa tombak yang tersusun rapi.
Aku mencoba mendekati mereka dengan perlahan, tetapi tiba-tiba salah satu dari mereka menyadari kehadiranku. Orang itu lantas mengambil tombak yang ada didekat mereka lalu melemparkannya ke arahku.
Menyadari hal itu, aku langsung melompat ke depan sambil terus melirik ke arah mereka. Dan diantara mereka, aku dapat melihat seorang gadis yang pakaiannya sudah diberantakkan.
Dalam sekejap hatiku yang sudah panas semakin memanas karenanya. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke arah mereka lalu melancarkan tinju dengan tangan kananku kepada salah satu dari mereka.
Saat orang yang kuserang itu terkena tinjuku, 4 orang lainnya menyerangku dengan tinjuan mereka satu per satu.
Wajahku dipukul sampai membuatku mundur beberapa langkah, setelah itu satu pukulan yang sangat keras mendarat diperutku hingga membuatku ingin muntah. Sebelum aku sempat mengambil napas, sebuah tendangan diluncurkan ke arah wajahku, aku kehilangan keseimbangan dan terbaring lemah.
Saat akhirnya kupikir serangan akan mereda, salah satu dari mereka menginjak perutku hingga aku menjerit sangat keras.
Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhku, dan mulutku mulai memuntahkan darah.
"Argh..." Aku sekali lagi menjerit ketika orang itu menginjak perutku sekali lagi.
Gelak tawa menggema didalam gubuk ini, lalu beberapa saat salah satu dari mereka yang tidak lain adalah Roman berkata kepadaku, "Ahaha, kau pikir kami akan menjadi rekan kalian dengan senang hati?"
"Bre-ng-sek k-kau." Kataku dengan suara yang begitu pelan kepadanya.
Sebenarnya aku sangat ingin menghajarnya saat ini juga, tetapi tubuhku sudah benar-benar tidak dapat bergerak. Selain itu, setiap kali aku mencoba bergerak, rasanya begitu menyakitkan.
Roman semakin mendekat, lalu tanpa peringatan ia langsung menendang kepalaku dengan sangat kuat. Salah satu gigiku melayang keluar akibat tendangan itu dan darah mulai memenuhi mulutku.
Rasa sakit yang kurasakan semakin bertambah karena tendangan tadi. Namun sekarang aku sudah tidak berdaya lagi untuk membalas.
Ah, aku benci pada diriku yang begitu lemah ini. Padahal saat ini temanku yang berharga sedang membutuhkan pertolonganku. Tetapi kenapa aku begitu lemah.
Sial! Sial! Sial!
Kumohon! Siapa saja! Tolong selamatkan Ellise!
Hatiku menjerit begitu kencang, dan isi kepalaku menjadi kacau.
Aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku. Namun lagi-lagi perutku diinjak. Darah terburas dari dalam mulutku dan jatuh membasahi pakaianku.
Aroma yang begitu amis dan menyengat semakin membuat pikiranku kacau. Napasku mulai tidak karuan dan kepalaku menjadi sangat sakit.
Pandanganku mulai kabur dan hatiku menjerit.
Tolong aku!