Tepat ketika Maya hendak melarikan dirinya, lengannya ditangkap oleh seseorang. Maya hampir berteriak, tapi ketika menemukan orang yang menangkap pergelangan tangannya itu adalah Ken, ia menghela napas lega.
"Kau … bekerja?" tanya Ken dengan nada tidak percaya.
Maya mengangguk, ia melihat orang di seberang jalan yang melangkah menuju tempatnya, ia dengan cepat menggamit tangan laki-laki itu.
"Ayo, kita pulang!"
Ken tergagap dengan sikap Maya, ia langsung membuka pintu mobil dan menyuruh gadis itu masuk, walau dalam kepalanya muncul begitu banyak pertanyaan. Maya langsung mengunci pintu mobil begitu Ken telah duduk di kursi kemudi, ia menyandarkan tubuhnya.
"Ada apa? Kenapa kau terlihat begitu … panik?" tanya Ken lagi tanpa menoleh ke arah Maya, gadis itu menggeleng pelan dan memijit pelipisnya, ia merasa pusing.
Ken tahu ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada Maya, ia tidak tahu apa itu, tapi ia tetap tidak bisa tidak khawatir.
"May, sebaiknya kau beritahu sebelum aku berpikiran yang tidak-tidak."
Maya menegakkan tubuhnya, ia menetralkan detak jantungnya sejenak, kemudian ia merogoh tasnya dan memamerkan sebuah kotak kecil berwarna hitam.
"Seseorang mengirimkan ini ke loker tempatku bekerja, lihat isinya!"
Maya memperlihatkan boneka kain perca yang wajahnya dijahit dengan foto dirinya, pisau kecil di perutnya itu masi tertancap di sana bersama dengan noda merah.
"Tidakkah menurutmu ini menakutkan?"
"Itu?"
Maya mengerutkan keningnya, raut wajah Ken sama sekali tidak terlihat panik, justru laki-laki itu terlihat santai, seolah hal itu sudah biasa terjadi pada dirinya.
Ken meliriknya sekilas lalu terkekeh pelan. "May … May … dulu kau biasa mendapat hal seperti ini, reaksimu biasa aja."
Kata-kata Ken sama persis dengan yang dikatakan oleh Nora, sebegitu banyakkah orang yang membencinya dulu sebelum ingatannya hilang?
Seperti apa dirinya di masa lalu?
Maya menggigit bibirnya, selain Ken dan Nora, ia tidak mengetahui siapapun lagi, hanya mereka yang mengetahui cerita masa lalunya. Tapi mereka selalu bungkam.
"Sudahlah," ucap Ken, ia menghentikan mobilnya di depan sebuah kedai es krim. "Mau kutraktir es krim?"
Maya tanpa keraguan langsung menganggukkan kepalanya, Ken tertawa kecil, ia keluar dari mobil sambil membawa jaketnya yang berwarna biru pudar, Maya pikir laki-laki itu akan memakainya untuk dirinya sendiri.
Tapi teryata untuk dirinya, Ken memasangkan jaket itu ke bahunya sambil terkekeh pelan.
"Kau masih memakai seragam kafemu, tidak enak dilihat orang."
Maya tersenyum, dalam hati ia diam-diam merutuki dirinya sendiri, mengapa ia harus tersipu dengan semua perlakuan sahabatnya sendiri, Maya menepuk jidatnya pelan.
Ken membawanya ke kursi paling dekat dengan jendela, ia menyuruh Maya duduk sementara dirinya pergi untuk memesan es krim di konter, Maya melihat sekeliling, sepertinya ia di masa lalu sering kemari, terbukti dengan perasaannya yang merasa akrab dengan segala hal yang ada di kedai ini.
Dekorasi kedai ini sederhana, konter di cat warna-warni, bangkunya berwarna merah muda cerah dan mejanya berwarna kuning, ada lemari berisi air dingin di sudut ruangan, seragam para pelayannya pun berwarna merah muda dan kuning, menambah kesan semarak dan jiwa es krim yang melekat.
"Nah …." Ken meletakkan dua mangkuk es krim, satu berwarna merah muda dan satunya lagi berwarna coklat. Ken menyerahkan yang merah muda itu kepadanya, ada toping stoberi yang segar di atasnya.
"Ini es krim favoritmu," ucap Ken lagi.
Maya mengangguk, ia mulai menyendok es krim itu dengan semangat, ia merasa senang dengan perhatian yang Ken berikan padanya, seandainya mereka bukan sahabat, mungkin Maya akan menjadikan Ken sebagai kekasihnya.
"Kita dulu sering kemari," lanjut Ken lagi, ia melirik sekeliling dan menepuk-nepuk meja. "Ini adalah tempat duduk favorit kita, aku selalu memesan yang coklat, kamu yang stoberi, Nora selalu memesan es krim secara random, dan …."
"Dan?"
Maya mengangkat wajahnya, ia melihat Ken dengan seksama, laki-laki itu tiba-tiba tertawa canggung. "Itu … kau tidak akan bisa bertemu dengannya lagi, sayang sekali. Dia Delilah, sekarang sedang kuliah di luar negeri."
"Delilah?" tanya Maya, ia sama sekali tidak pernah mendengar nama ini dari Nora atau Ken sebelumnya, di album foto pun ia tidak melihat ada gadis lain selain dirinya dan Nora.
"Ya … itu … dia sebenarnya tidak begitu akrab dengan kita … hanya teman nongkrong sebentar, sudahlah jangan terlalu dipikirkan."
Ken sepertinya tidak ingin membicarakan Delilah lebih banyak, laki-laki itu berusaha mengubah topik pembicaraan.
Maya mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa ada benarnya juga perkataan Ken, mungkin Delilah benar-benar tidak terlalu penting dalam geng persahabatan mereka.
Ia juga tidak ingin ambil pusing tentang orang yang tidak ada kaitannya dengan dirinya.
Mereka berdua menghabiskan semangkuk es krim dengan diselingi candaan, Maya tertawa, perasaan ini benar-benar akrab padanya, seolah-olah di masa lalu, ia sangat dekat dengan Ken.
'Mungkinkah dulu kami pacaran?'
Maya buru-buru menepis pikirannya, ia mengambil tisu dan menyeka mulutnya, Ken memainkan ponselnya sebentar.
"Ken, kau tahu dimana ponselku? Selama ini aku tidak pernah melihatnya," kata Maya sambil menatap ponsel Ken dengan iri.
Ken tertawa kecil, ia mengusak rambut Maya. "Aku tidak tahu, sepertinya sudah hilang pada kecelakaan itu, ayo kita beli ponsel baru."
Maya menyentuh kepalanya yang diusak oleh Ken, ia tersipu, dengan pipi merah ia mengangguk kaku.
Ken dengan cepat membawanya ke toko ponsel, ia bahkan tidak menanyakan pada Maya ponsel apa yang ingin dibelinya, laki-laki itu langsung memesankan ponsel dengan model dan mereka yang sama dengan dirinya.
"Apa aku perlu membayarnya?" tanya Maya pada Ken ketika melihat laki-laki itu tanpa ragu membayar ponselnya.
Ken tertawa lagi.
"Tidak perlu, aku tidak kekurangan uang seperti Nora … kau hanya perlu membayarnya dengan istirahat."
Maya mendengkus, ia tahu jika kata-kata Ken itu adalah bercanda, tapi kata-kata itu terkesan merendahkan Nora. Di antara mereka berdua memang Nora lah yang tidak punya, gadis itu harus bekerja keras untuk memiliki sesuatu, namun walau begitu ia tidak pernah melihat Nora mengeluh sekalipun, sebaliknya sahabatnya itu selalu tersenyum dengan ceria.
"Jangan cemberut, aku hanya bercanda." Ken merangkul bahu Maya, mereka sesaat berkeliling dan melihat-lihat toko, Maya tidak menolak semua perlakuan Ken pada dirinya, sebaliknya ia malah menyamankan diri dalam rangkulan laki-laki itu.
Pipi Maya bersemu, merah sampai ke telinga, detak jantungnya mulai berpacu tidak terkendali, ia tidak ketakutan seperti bertemu penguntit itu, tapi lebih ke perasaan bahagia yang membuncah di dadanya, rasa senang dan ingin memegang laki-laki itu dalam genggamannya.
Sepertinya perasaannya benar, mereka dulu benar-benar sepasang kekasih.