Tae berlari melewati lorong kelas, mencari keberadaan seseorang dengan tergesa-gesa. Seseorang yang sangat ia pedulikan perasaannya tetapi kini tanpa sadar, ia jugalah yang melukai hati seseorang tersebut. Seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, seseorang yang sangat ia cintai.
"Tae, kau mencari Tee? Dia ada di taman belakang." teriak Kit saat melihat Tae berlarian di depan lorong kelas. Tae terlihat berlari hingga harus mengatur napasnya dulu baru menanggapi omongan Kit dengan anggukkan dan berlari lagi menuju taman belakang kelas Tee.
"Ada apa?" tanya Phana pada Kit dengan wajah kebingungan melihat Tae yang berlari.
"Entahlah, tetapi sepertinya akan ada kejadian yang menarik. Ayo!" Kit menarik paksa tangan Phana dan ikut menyusul Tae ke taman.
💓💓💓💓
Tee sedang duduk termenung di salah satu bangku taman dengan kepala direbahkan di meja panjang sambil tangannya memainkan ujung bolpoin. Pikirannya sekarang tidak menentu. Ia masih memikirkan perihal hubungannya dengan Tae, hubungan yang menurut kebanyakan orang masih tabu. Walaupun di negara sudah ada undang-undang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis tetapi tetap saja, kaum minoritas itu selalu mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat.
"Aku harus bagaimana?" ucap Tee pelan. Dia tau dia egois jika harus mempertahankan hubungan ini sementara mungkin Tae akan mendapatkan masalah karena ini, apalagi dia adalah bintang untuk tim sepak bolanya. Belum lagi tanggapan kedua orang tua mereka jika mengetahui ini. Ah, terlalu banyak hal yang membuat Tee berpikir ulang.
"Apakah perasaanku sepadan dengan penderitaannya?" Belum sempat dia berpikir yang tidak-tidak, ekor matanya menangkap sosok yang selama ini membuatnya menunggu. Menunggu untuk selalu dicintai dan menjadi dia apa adanya.
"Tae.." Tee bertanya dengan suara pelan saat sosok itu mendekat, "Sedang apa kamu disini?" dengan wajah kebingungan melihat Tae ada di hadapannya, dengan nafas yang hampir habis dan butiran peluh seperti habis berlari.
Grep!
Tanpa menjawab pertanyaan dari Tee, Tae maju dan memeluk tubuhnya dengan erat. Awalnya Tee bingung dengan sikap Tae yang tiba-tiba itu, tetapi Tee membalas pelukannya dengan erat seolah-olah Tae adalah penyangga tubuhnya agar tegak berdiri.
"Tee, maafkan aku. Ma-maafkan aku Tee.." Tae berulang kali mengucapkan kata maaf dengan suara yang terisak menahan tangisannya.
"Tae, apa maksud kamu?" tanya Tee dengan suara pelan. Hembusan nafas Tae terasa panas di kulit tengkuknya, tetapi itu membuat Tee nyaman dan memejamkan mata.
"Tee maafkan aku yang marah sama kamu padahal aku gak tau kamu diemin aku itu karena apa. Maafkan aku yang malah egois tanpa nanya terlebih dahulu apa masalah sebenarnya. Maafkan aku karena kamu yang harus tersiksa mendengarkan ocehan sampah mereka tentang kita." tanpa berhenti Tae terus mengucapkan kata maaf dan dia menyesal sudah memperlakukan kekasihnya itu tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang menjadi penyebabnya.
"Hei Tae, hei.. Kamu kenapa hmm? Aku gak apa-apa." Tee melepas pelukannya dan meraih wajah Tae dengan kedua tangannya agar Tee bisa melihat di kedua matanya.
Tee melihat sendu di mata Tae akhirnya juga tidak kuat menahan butir air matanya yang dari tadi sempat ia tahan. Tangan Tae menghapus cairan yang jatuh dari mata Tee itu dengan pelan dan lembut, ada rasa bersalah dan marah saat melihat kekasihnya terluka karena omongan orang lain. Apa yang salah dengan mereka? Mereka juga tidak ingin dilahirkan dengan orientasi seperti ini. Mereka juga sudah berusaha untuk melawan perasaan ini karena mereka tau bahwa ini salah. Tetapi apapun yang sudah mereka lakukan, tetap saja perasaan ini tidak hilang. Apa yang harus mereka lakukan? Orang-orang hanya bisa membicarakan kesalahan dari hubungan seperti mereka, tanpa tau apa ucapan itu menyakiti hati mereka. Apa yang bisa mereka lakukan? Hanya diam dan menjalani hidup seperti biasa layaknya manusia normal, manusia normal yang juga mempunyai hati dan layak untuk dicintai.
"Tee, aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan segala apapun yang ada pada dirimu. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu, aku tidak peduli siapa kamu karena aku hanya mencintai sosokmu." Tae tersenyum kecil dan menatap intens Tee. "Kamu tau, aku sudah menaruh perasaan ini padamu sejak lama. Entah kapan tetapi yang pasti mencintaimu adalah hal yang paling alami yang aku rasakan."
"Tapi Tae, dengan hubungan kita kamu pasti akan mendapatkan cemoohan dari orang-orang. Bagaimana dengan orang sekitar kita? Bagaimana dengan orang tua kita?" air mata Tee semakin deras turun membasahi wajahnya.
"Persetan dengan omongan atau cemoohan dari mereka. Mereka tidak tau seperti apa perasaan kita, jadi untuk apa kita dengarkan mereka? Yang kita perlu lakukan adalah saling terbuka dan mendukung, Tee. Bagiku itu sudah cukup. Dan untuk orang tua, aku pikir aku siap kapan saja untuk dipukul oleh ayahmu jika mereka tau aku memacari anak kesayangannya." Tae tersenyum dan itu menjadi virus bagi Tee yang ikut tersenyum sambil memukul lengan Tae.
"Bodoh! Aku laki-laki, jadi yang akan dihajar bukan kamu saja tapi aku juga." jawab Tee sambil tertawa.
"Aku mencintaimu Tee.." Bibir Tae perlahan mendekat dan mengecup pelan bibir merah milik Tee.
"Aku juga mencintaimu Tae."