webnovel

Lelah Bersabar

"Jadi wanita bernama Serra itu mengancam Anda lagi, Bos? Apa kami perlu turun tangan untuk membungkamnya."

Pria dengan tubuh besar dan tatoan itu berkata dengan suaranya yang berat. Memandang Gino yang duduk dengan santai tepat di hadapannya.

"Tidak usah, Roy." Itulah jawaban Gino dengan nada santainya. Mengendurkan urat-urat tubuh sang bawahan yang tampak siap untuk melakukan apapun perintah darinya. "Biarkan saja dulu. Sejujurnya… Serra udah hopeless. Dia benar-benar sudah nggak ada harapan lagi kalau Rafael sudah menetapkan hatinya. Dia saja yang masih halu dan tak kunjung sadar."

"Tapi Anda bilang tadi kalau dia kemarin mendesak Anda. Bahkan mengancam akan membocorkan perbuatan Anda yang sebenarnya pada Mbak Luna?"

"Untuk sekarang biarkan saja dulu. Itu kita pikirkan nanti. Apalagi karena kita punya waktu dua minggu sampai janji yang kutetapkan. Pokoknya… kamu bantu aku memikirkannya. Bagaimana caranya untuk dapat mengendalikan Serra sehingga dia nggak menghancurkan rencanaku."

"Baik, Bos. Saya akan mencoba memikirkannya."

Pembicaraan mereka jeda sejenak. Saat Roy kembali menuangkan cairan vodka ke dalam gelasnya, lalu dengan cepat menenggaknya. Ekspresinya tampak lebih serius. Sorot matanya lebih kelam. Pokoknya terlihat sangat berbeda dengan wajah yang ditunjukkannya di depan orang-orang di luar sana. Terutama terhadap Luna, wanita yang disukainya.

"Tapi… sebenarnya ada yang semakin menggangguku belakangan ini. Membuatku menjadi sangat tidak sabaran," kata Gino setelah beberapa saat.

"Apa itu, Bos?"

"Luna." Gino mendesah pelan kemudian. "Aku mulai muak menunggu. Maksudku, aku memang sudah bertekad untuk menunggunya sejak awal, tapi belakangan aku menjadi tidak sabar. Dia tetap saja nggak berubah terlepas dari segala usahaku padanya. Dia masih saja menganggapku seorang teman, bahkan… dia jelas masih mengingat Rafael."

Padahal dari dulu yang Gino selalu lakukan adalah menunggu. Dulu saat terlambat mengambil langkah dari Rafael saat mereka SMP, dia dengan sabar tetap menjaga perasaannya walaupun harapannya begitu tipis. Belakangan ini juga begitu. Dia juga harus sabar menahan hatinya demi membiarkan Cinta menjalankan misinya untuk mengembalikan ingatan Rafael.

Sudah terlalu lama sepertinya, sehingga sekarang dia menjadi tidak sabar. Apalagi karena memang egonya tengah berada di titik-titik yang tinggi setelah memutuskan untuk berhenti bersandiwara. Untuk akhirnya mengikuti sisi iblis di dalam hatinya setelah selalu menjadi malaikat penjaga sejak masih bocah.

"Apa kamu bisa membantuku soal itu, Roy?" tanyanya tak lama kemudian. Pria bertubuh besar itu dengan cepat tanggap menyahutinya.

"Tentu, Bos. Anda tinggal sebutkan saja perintah Anda. Saya pasti akan berusaha keras untuk menjalankannya."

"Bagus."

Gino menyeringai. Sesungguhnya sampai sekarang dia tak percaya akan begitu dipatuhi oleh pria yang merupakan kepala preman yang memegang banyak kawasan di Ibu Kota ini. Hal itu secara tak langsung membuatnya menjadi pimpinan dari geng tersebut, di mana ada puluhan orang yang mengikuti komandonya di bawah kendali Roy.

Namun dia mendapatkan keberuntungan itu demi langkah hebat yang dilakukannya beberapa tahun yang lalu. Saat dia menyelamatkan nyawa Roy dari kecelakaan, bahkan memberikan bantuan tanggap sebelum para medis datang. Hal itu menyelamatkan hidup pria ini, yang kemudian membuatnya bersumpah untuk mendedikasikan hidupnya untuk pria itu.

Pada awalnya Gino sama sekali tak memedulikan kekuasaan yang diberikan tiba-tiba padanya itu. Karena tentu saja, dia tak merasa butuh rombongan preman di sekitarnya karena sangat bertentangan dengan kepribadiannya. Namun kemudian dia berubah pikiran ketika menemukan kesulitan dan kemuakan di dalam hidupnya. Siapa menyangka kalau Roy memang menepati kata-katanya? Sehingga dengan mudah pria itu menjadi seseorang yang berpengaruh yang membantunya mendapatkan beberapa keinginan jahatnya.

Sebelumnya dia tidak pernah memanfaatkan Roy dan anak buahnya pada Luna, kecuali saat dulu pernah sekali Luna mengalami masalah pemerasan. Dia juga merasa kalau tak seharusnya dia memenangkan hati Luna dengan bantaun Roy. Tapi pria itu semakin kehilangan kesabaran semakin ke sininya. Sisi terburuk di dalam dirinya benar-benar bangkit begitu topeng utamanya tersingkirkan.

"Jadi apa yang harus kami lakukan, Bos?" tanya Roy lagi dengan nada bingung.

"Yang kalian harus lakukan adalah…."

***

Tak peduli betapa masih sedih dan beratnya beban pikiran Luna, tapi wanita itu tak akan pernah menunjukkannya di tempat kerja. Dia masih terus saja menjadi sosok yang ceria dan penuh tawa, baik itu kepada pelanggan ataupun bawahannya.

Itulah salah satu yang membuat Gino masih tetap menganggap Luna sebagai wanita spesial di hidupnya, terlebih dari bagaimana banyak hal telah terjadi. Karena Luna selalu memberikan energi positif di manapun dia pergi. Dan yang paling penting, senyuman itu selalu berhasil membawanya ke masa-masa remajanya. Senyuman khas cinta pertama yang istimewa, yang berhasil membawa sebuah kebahagiaan yang tak akan ditemukan pada perempuan manapun lagi di dunia ini.

'Bagaimana mungkin dia tetap terlihat sama?' Gino tersenyum tanpa sadar. 'Mungkin ini sebabnya kenapa Rafael begitu sulit untuk melupakannya. Dia mungkin memang merasakan hal yang sama. Sehingga itu sebabnya ketika amnesia dulu pun… dia dia bisa dengan mudah kembali jatuh cinta terhadapnya.'

Gino menepis pemikiran itu. Terlebih karena melihat Luna sempat melirik ke arahnya, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum. Membuat wajah pria itu dengan mudah juga berubah jadi senyuman.

'Apa sulitnya sih untuk juga jatuh cinta padaku, Luna? Kenapa kamu terus berbuat tidak adil padaku, dengan hanya menganggapku seorang teman dibanding sebagai pria seperti yang seharusnya. Mau sampai kapan kamu terus seperti ini, padahal sudah banyak yang kulakukan untukmu.'

Sorot mata jahat Gino kembali ke luar. Dia tampak memainkan jemarinya, saat kemudian mengambil ponselnya. Lantas mengirimkan pesan kepada Roy.

[Gino: Kita lakukan sesuai dengan rencana kita. Mulai malam ini.]

Tak butuh waktu lama sampai mendapatkan sahutan.

[Roy: Baik, Bos. Saya dan yang lain akan mulai melakukannya. Bos tenang saja.]

[Gino: Ingat. Jangan sampai ketahuan ya. Apalagi menyangkut pautkan dengan diriku. Lakukan dengan rapi dan sehati-hati mungkin.]

[Baik, Bos. Akan kami lakukan. Anda hanya perlu menunggu kabar dari saya nantinya.]

Seringaian kejam terlihat di wajah pria itu, seraya kembali melayangkan pandangannya pada Luna. Memandang gadis itu dengan cukup lama. Mengikuti gerakannya, yang kini tampak menyapa seekor anjing yang dibawa masuk oleh sepasang kekasih muda. Ekspresi gemas perempuan itu kepada sang binatang, juga membuat gemas Gino yang melihat dari kejauhan. Dipandangnya Luna dengan penuh arti.

'Kita percepat saja, Luna. Aku benar-benar harus diperlakukan seperti ini terus. Aku ingin memillikimu seutuhnya, agar aku juga pada akhirnya dapat mengungguli Rafael. Lalu menunjukkan padanya betapa saakitnya saat melihat perempuan yang kau cintai menyandang gelar kekasih orang lain. Persis seperti yang kualami sejak dulu… dalam kisah cinta segi tiga ini.'

***