webnovel

Ke Mana Arah Selanjutnya?

bukan miliknya, beserta kamar yang begitu asing. Sehingga kalau dihitung dia hanya tidur selama empat jam saja. Apalagi karena hatinya belum sepenuhnya tenang setelah kejadian semalam.

Wanita itu kini hanya melamun di atas tempat tidur. Dengan bersandar di kepala tempat tidur, dia melayangkan pandangannya ke jendela. Memandang keadaan subuh yang masih cukup gelap. Mentari belum terlalu menunjukkan cahayanya.

'Selanjutnya bagaimana ya? Apa aku lapor ke polisi saja? Tapi aku merasa tinggal di sana sama sekali belum aman untuk saat ini. Tapi masalahnya… mau pergi ke mana? Bahkan walau pindah ke tempat yang baru pun, orang itu mungkin bisa kembali menemukanku. Hal yang sama juga berlaku kalau aku tinggal di rumah kedua orang tuaku. Selain membuat mereka khawatir, aku mungkin bisa ikut membawa teror kepada mereka. Tak mungkin kulakukan itu, sementara Bapak juga masih sakit.'

Wanita itu mendesah resah. Dia memegangi kepalanya. Merasa pusing karena bingung dengan semua ini.

Tiba-tiba berpikir untuk memeriksa ponselnya. Dia ingin mengecek orang yang mengganggunya semalam. Namun dia baru ingat kalau semalam Gino memegang ponselnya, berharap agar Luna bisa beristirahat dengan tenang. Hal itu membuatnya menahan lagi niatnya itu.

'Nanti saja aku minta pada Gino. Dia pasti masih tidur nyenyak sekarang, sebab karena aku dia jadi ikut sibuk dan repot.'

Luna pun memutuskan untuk bangun dari tempat tidur. Dia pun segera berjalan ke kamar mandi. Namun selain mencuci mukanya, dia tak bisa melakukan apapun. Karena dia tak mau menggunakan gosok gigi milik Gino yang menjadi satu-satunya di kamar itu.

'Tapi yang penting aku harus segera mencari tempat tinggal sementara. Entah itu di hotel atau tempat lain, tapi… aku memang nggak bisa di kontrakan itu dulu untuk saat ini. Aku juga nggak bisa terus-terusan di sini karena pasti akan merepotkan Gino.'

Setelah mencuci muka dan merapikan rambut serta dandanannya, Luna pun melangkah ke luar kamar. Dia berniat untuk membuat teh seduh seraya mungkin menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

Tapi ada hal yang tak terduga.

Ketika dia melangkah menuju dapur, dia menyadari seseorang sudah lebih dulu berada di sana. Dia tampak memakai apron dan membuka pintu kulkas. Luna pun segera berjalan mendekatinya.

"Gino? Kamu kok udah bangun sepagi ini? Padahal semalam terlambat tidur."

Pria itu tampak sedikit kaget dengan kehadirannya. Dia pun segera berdiri untuk berhadapan dengan Luna yang tampak keheranan.

"Eh, Luna. Kamu kok juga udah bangun? Masih sepagi ini?"

"Jawab pertanyaanku dulu dong." Luna sedikit terkekeh karena pria itu terkesan menyalin pertanyaan.

"Oh, sorry." Gino tersenyum kecil. "Hm… aku nggak terlalu bisa tidur semalam. Karena pas tadi kebangun lagi udah subuh, kupikir sebaiknya bangun untuk membuat sarapan untuk kita. Kamu sendiri kenapa udah bangun? Kamu nggak berniat sepagi ini ke kafe, kan?"

"Sama sih. Aku juga nggak terlalu bisa tidur," jawab Luna kemudian.

"Tch, pasti karena masih kepikiran soal semalam ya? Kan sudah kukatakan kalau semuanya sudah aman sekarang. Kamu istirahat, lupakan semua itu, sisanya kita urus ke kantor polisi untuk menyelesaikannya. Kamu nggak perlu terlalu stres."

Luna tak bisa dengan cepat menyanggupi ucapan Gino, sebab dia tahu sendiri bagaimana keadaan tidak semudah itu untuk dikendalikan. Terlalu banyak masalah.

"Tch, ya sudah. Kamu duduk saja dulu. Aku akan siapkan sarapan dulu—"

"Eh, nggak perlu." Luna menyela cepat. "Biar aku saja yang masak."

"Tch, yang tuan rumah kan aku. Lagipula sepertinya aku lebih ahli masak daripada kamu. Pokoknya kamu tenang saja, duduk di sana sambil minum teh. Dalam lima belas menit kita sudah bisa menyantapnya."

Luna masih berniat untuk bersikeras, namun akhirnya menyerah. Sepertinya memang lebih baik begitu kalau Gino bersikeras. Lagipula dia memang jarang masak, apalagi dalam keadaan begini. Takutnya malah hasil masakannya tak bisa dimakan.

"Y-Ya sudah. Kalau kamu nggak keberatan," ucap Luna canggung.

"Tentu saja nggak keberatan." Gino terkekeh. "Sudah kubilang kan membantu kamu tuh buat aku merupakan hal yang menyenangkan. Aku bahagia karena berguna buat kamu. Jadi berhenti menyebut diri sebagai beban atau sebagainya."

Kalau sudah begini Luna bisa berkata apa. Bahkan walau rasa mengganjal kembali terasa di dadanya karena merasa tak enak, pada akhirnya dia hanya bisa menelannya. Karena dia tak mau membawa topik itu terus-terusan di antara mereka. Dia juga tak mau terus menyakiti Gino dengan kata-katanya.

'Sudahlah. Untuk saat ini jalani saja dulu. Lagipula banyak urusan yang lebih penting.'

"Oh ya, Gin. Ponselku semalam di mana? Aku… mau memeriksanya?"

Gino yang sudah menyiapkan talenan untuk mengiris bawang tampak menghentikan gerakannya. Melirik sang wanita yang menunggu jawaban darinya.

"Kamu yakin udah mau memeriksanya lagi? Itu akan semakin menganggu kamu lho. Mending kamu makan dan rileks dulu."

"Aku nggak papa kok. Kamu jangan khawatir." Luna menjawab cepat. "Lagipula kita kan berencana mengurusnya ke kantor polisi. Jadi tentu saja aku harus mengecek semuanya dulu. Lagipula seperti yang kamu bilang tadi, keadaannya sudah aman sekarang. Kamu kan juga ada di sini bersamaku."

Gino mengangguk paham.

"Baiklah kalau kamu berpikir begitu. Aku letakkan di salah satu laci di dalam nakas di kamar yang semalam kuhuni. Kamu silakan ambil di sana."

"Oke. Aku cuman sebentar kok. Ntar aku ke sini lagi."

"Yup."

Luna pun bangkit dari tempat duduknya, lantas bergerak ke luar dapur. Sementara wajah ramah dan penuh senyuman Gino tadi perlahan berubah. Sorot mata yang tampak tajam dan kejam terlihat di sana.

'Semuanya berjalan sesuai keinginanku. Sekarang aku hanya perlu membuatnya bersedia untuk tinggal di sini bersamaku.'

***

"Menurutku kamu sebaiknya tinggal di sini saja bersamaku."

Luna hampir tersedak makanan di mulutnya saat mendengar hal itu dari Gino. Karena mereka awalnya memang bercerita soal kelanjutan semalam. Namun Gino menawarkan solusi yang tak terpikirkan olehnya sama sekali.

"M-Mana mungkin aku tinggal di sini?"

"Tapi kan memang keadaannya tidak terlalu baik sekarang. Selama orang itu belum tertangkap, kamu nggak bisa kembali ke kontrakan kamu. Pindah pun juga nggak akan ada gunanya, karena dia bisa mengikutimu ke mana saja. Dan seperti yang kamu bilang barusan… kamu nggak mungkin juga membawa masalah ini kepada keluarga kamu dan membuat mereka khawatir."

"Iya sih. Tapi tetap saja… solusinya bukan dengan kita tinggal bersama."

"Lalu apa? Kamu mau pindah ke apartemen ini? Aku tahu kamu punya uangnya, tapi… bukankah kontrakan itu pun juga baru kamar bayar sewaanya dua bulanan ini untuk enam bulan? Kamu akan rugi sih, sebab pengurus kontrakan nggak bakal mau mengembalikan uangnya. Sementara tinggal di hotel juga nggak akan nyaman, selain mahal tentunya. Sehingga satu-satunya tempat menurutku adalah di sini, karena kamu nggak mungkin tinggal bersama Mia yang sekarang sudah menikah."

***