webnovel

Jangan Kasih Tahu Luna

"Tidak. Aku nggak peduli dengan itu. Masa bodoh dengan semuanya, yang kupikirkan hanyalah Rafael. Aku hanya menginginkan Rafael. Jadi jangan pernah menyamakan semua itu dengan perasaanku terhadap Rafael!"

Suara Serra meninggi. Dia bahkan tak peduli walaupun keadaan di sana cukup ramai sehingga banyak yang melirik ke arahnya, namun perempuan itu tak peduli. Dia masih saja sibuk menyampaikan protesannya pada Bertha. Membuat wanita paruh baya itu mulai merasa muak.

"Lagipula Tante beneran nggak bisa seenaknya begini padaku. Tante harus mengakui kalau semua ini berawal dari kesalahan Tante yang membawanya ke rumah. Tante yang memperkenalkannya kembali pada Rafael, sehingga jadi pengahalang kami berdua."

"Itu demi kesembuhannya. Karena seperti yang terlihat sekarang, hal itu manjur. Kamu hanya tak bisa sabar dan mengerti alasan saya melakukannya. Kamu itu egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Sehingga itu sebabnya pada akhirnya saya pun muak dengan kamu. Saya mulai ikut tidak menyukai kamu."

Bertha harusnya tahu bagaimana Serra pun juga jadi tak menyukainya karena proses itu. Tapi sebaiknya dia menyimpan rapat semua itu.

"Tante pasti melakukan ini karena Tante sekarang sudah merasa di atas awan, kan? Karena Tante sudah tak punya beban lagi sekarang. Sebelumnya aku bisa menggunakan amnesia Rafael untuk menekan Tante, tapi sekarang dia sudah sembuh sehingga Tante merasa sudah tak perlu berbaik-baik padaku."

Bertha menyeringai. "Itu kamu tahu. Jadi berhentilah menyuruh saya untuk bertemu dan meladeni kamu—"

"Tapi Tante lupa satu hal. Rafael." Serra tetap tak mau kalah. "Tante lupa kalau masih ada satu kartu mati Tante lagi yang kusimpan."

Bertha tampak sedikit mengubah ekspresinya. Wanita itu memandang heran dan penasaran wanita muda di depannya.

Masih ada kartu matinya pada Serra? Ada yang terlewatkan olehnya? Tidak mungkin.

"Pada nyatanya kan Tante masih berbohong pada Rafael. Tante bilang kalau Gino dan Luna bekerja sama untuk berkhianat, padahal kan itu tidak benar. Tantelah biang masalah dari semua ini. Tante nggak mikir akan sekecewa apa Rafael begitu mengetahui hal ini?"

Ekspresi Bertha tampak sedikit berubah. Dia tampak sedikit gugup. Namun walau begitu dia tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya. Berusaha untuk tenang agar tidak terlihat terintimidasi oleh ancaman itu.

"Kamu pikir hal itu akan cukup untuk membuat Rafael terguncang. Dia mungkin akan kecewa tapi—"

"Dia nggak akan pernah percaya lagi pada Anda. Apalagi kalau dia tahu Papanya pun terlibat dan berbohong padanya. Bahkan mengenal sifat Rafael, dia bisa saja jadi memberontak dan meninggalkan rumah. Karena cintanya begitu besar pada Luna, dia akan berusaha untuk kembali padanya. Luar biasanya dia bisa dengan mudah meninggalkan kalian, karena nyatanya dia capable untuk berdiri sendiri tanpa harus terikat dengan Abraham Group melalui Raftech."

Bertha menelan ludah bulat-bulat. Harus diakui kalau kini ancaman ini mulai mempengaruhinya. Ini mulai menakutinya.

"Apa begitu saja? Saya akan beritahukan perbuatan Anda – semuanya – pada Rafael. Sehingga dengan begitu kita akan sama. Kita akan sama-sama… tidak akan dapat memiliki Rafael. Sehingga pada akhirnya… Lunalah yang kembali menang. Lunalah yang akan memilikinya – seperti bagaimana dulu sebelum Anda dengan kejam memisahkan mereka berdua."

"Serra, kamu jangan macam-macam. Kamu pikir ikatan saya dengan Rafael akan sesepele itu. Saya ini ibunya, lebih dari siapapun… sayalah yang paling berhak untuknya. Apa kamu pikir wanita tak penting yang sempat menjadi cinta monyetnya itu dapat merebut Rafael dari saya—"

"Kalau Tante segitu yakin, kita buktikan saja. Kita lihat apa Rafael memang akan memilih Anda atau cinta pertamanya. Apalagi kalau aku yang memberi tahu, bisa kupastikan kalau aku bisa membuat kebenciannya pada Anda jadi semakin membesar. Jadi jangan pernah ragukan kemampuanku. Walaupun dia sekarang mengabaikanku, tapi aku yakin bisa membuat dia mendengarkan dan percaya ketika fakta yang sebenarnya kukatakan."

Ekspresi wajah Bertha semakin pucat, sementara senyuman Serra semakin lebar. Sepertinya kita telah menemukan pemenang dari perdebatan ini.

***

Gino tampak dengan ekspresi serius menaiki anak-anak tangga menuju lantai tiga dari kafe 'Dear Moon'. Lantas setelah melewati beberapa kamar karaoke yang sedang ramai, ia memasuki sebuah ruangan dengan tulisan 'staff only' pada pintunya.

"Ada apa, Mia? Apa maksud kamu kalau Rafael datang?" tanyanya heran. Pada Mia yang telah lebih dulu di sana, bersama dengan seorang karyawan lainnya. Tampak memonitoring beberapa layar komputer yang memuat CCTV.

"Kamu lihat saja sendiri."

Tak butuh lama sampai layar berganti. Menampakkan rekaman CCTV yang menunjukkan sosok seorang pria dengan jas mahal yang memasuki pekarangan kafe. Sosok yang familier. Hal yang memang langsung menarik perhatian sang manajer kafe.

'Ada apa dengan bajingan ini. Kenapa dia ke mari,' kata Gino di dalam hati.

"Ini terjadi kemarin jam 10.37 pagi. Rafael datang dan berdiri di sana sekitar dua menit, sebelum akhirnya kembali pergi begitu saja."

"Sekitar setengah sebelas?" Gino bergumam di dalam hati sambil sedikit berpikir. "Memang apa yang dia lihat. Bisa tunjukkan kamera yang memperlihatkan bagian dalam kafe? Terutama arah counter di mana matanya tertuju."

"Baik, Mas."

Staf itu kembali dengan ahli mengubah tampilan layar. Kali ini menunjukkan bagian dalam kafe, di mana kebetulan sosok Gino dan Luna terlihat. Saat di mana mereka bisa sedikit bercanda di tengah pekerjaan, setelah hari-hari sibuk dan serius yang terjadi.

Namun kemudian, senyuman tipis terlihat di wajah Gino seketika. Tampak licik namun tak terlihat oleh Mia ataupun staf satunya yang berada di sana.

'Jadi dia melihat ini? Not bad. Ini pasti cukup untuk membuatnya sakit hati, sehingga memutuskan berbalik seperti itu. Walau aku menyesalkan karena aku tak menyadari kehadirannya. Karena kalau tidak… aku pasti bisa membuat pemandangan yang dia lihat menjadi lebih 'indah' lagi. Sehingga dia nggak akan berpikir untuk menampakkan kaki lagi di sini, atau masih berharap akan Luna lagi.'

"Menurutmu kenapa ya dia datang? Apa mungkin… Rafael akhirnya melupakan apa yang terjadi, lalu… lalu mengakui egonya untuk memaafkan Luna? Atau apa mungkin… dia tahu kebenarannya kalau Luna sama sekali tak seburuk yang dia duga?" tanya Mia dengan berhati-hati. Walau kemudian perempuan itu langsung menyadari perubahan ekspresi Gino karena ucapannya itu. "M-Maaf, Gino. Aku nggak bermaksud membuat kamu nggak nyaman kok. Aku hanya… penasaran saja karena ini nggak pernah terjadi."

"Jangan harapkan Rafael lagi untuk Luna, Mia. Terlepas dari kesalahpahamannya pada kami karena ulah Bu Bertha dan Serra, rintangan hubungan mereka terlalu banyak. Aku tak ingin melihat Luna menjalani kehidupan seperti itu lagi, karena dia dan Rafael memang sebaiknya tidak bersama." Gino kembali memasang wajah yang serius. "Ini bukan karena aku cemburu. Tapi karena aku tahu persis, kalau inilah yang terbaik untuk mereka berdua."

"Tentu saja aku setuju denganmu. Aku juga sependapat, karena Luna tampaknya memang tak seharusnya dilibatkan lagi dengan Keluarga Abraham. Maaf ya karena tadi bicara sembarangan." Mia mengoreksi cepat. "Tapi bagaimana dengan hal ini? Perlukah kita beri tahu Luna? Atau… apa sebaiknya kita sembunyikan saja? Aku bingung dengan itu sehingga langsung memberi tahu padamu sebelum memperlihatkannya pada Luna."

"Luna nggak perlu tahu soal ini. Nggak ada gunanya baginya selain menjadi beban pikiran. Sebaiknya kita diam saja, lalu hapus rekaman ini agar dia tak pernah tahu. Agar hidupnya tidak perlu semakin dilanda dilema."

***