webnovel

The Brother

"Dilan! Bangun!"

Panggilan itu terdengar bersama gedoran pintu di luar. Sang Kakak menjadi alarm otomatis yang setiap pagi membangunkan adiknya. Pria duapuluh delapan tahun itu masih berdiri di hadapan pintu kamar sang adik, membenturkan telapak tangannya ke pintu berulang-ulang.

Si adik masih terbungkus selimut. Gerimis di pagi hari adalah waktu terbaik untuk berkencan dengan tempat tidur. Sebagian orang mengharapkan pagi seperti ini terjadi di hari libur, tapi sebagian yang lain justru menerima kenyataan bahwa pagi dengan gerimis adalah sebuah penyiksaan.

Matanya terbuka. Lem-lem yang merekat pada matanya buyar ke samping. Sentuhan cahaya pagi menyentuh kasurnya. Mendung membuat matahari kurang percaya diri. Tidak secerah biasanya.

"Dilan! Cepat bangun! Jika dalam waktu sepuluh menit kau tidak turun, aku akan menjual sepedahmu!" alarm itu mengancamnya. Sang Kakak pergi setelah kalimat terakhir.

Ancaman Kakanya berhasil. Dilan mengerahkan semua kekuatan untuk bangkit dari ranjang. Terduduk di atas kasur, mencoba mengumpulkan semua nyawa yang semalam telah bepergian entah ke mana.

Ia menyingkap selimutnya, menurunkan kedua kaki ke lantai, dan berjalan malas menuju kamar mandi. Sungguh melelahkan melawan diri sendiri di pagi hari.

Air mengalir deras setelah keran diputar. Sentuhan air menghidupkan sanu bari. Wajah bantal itu dibasuhnya dengan air. Berkali-kali. Cermin di hadapan memperlihatkan wajah tampan milik remaja delapan belas tahun. Rambut acak-acakannya disugar ke belakang. Kaos putih polos itu mencetak tubuhnya.

Nama lengkapnya Dilan Putra Mahendra. Penyendiri. Tidak terlalu suka berteman. Dilan adalah siswa teladan yang tidak pernah terlibat dalam masalah. Hampir semua guru menyukainya. Mencari aman adalah prinsip yang ia pegang dengan teguh.

***

Aroma kopi americano menyambut Dilan yang baru saja keluar dari kamar. Seragam SMA telah terpakai rapi pada tubuhnya. Jaket merah berhudi menjadi ciri khas remaja itu.

Ia menarik kursi, duduk berhadapan dengan sang Kakak yang sedang menikmati secangkir kopi dengan sebatang rokok di jepit jari.

"Kau terlambat." Kakaknya berucap setelah menyesap kopi.

"Jangan coba-coba menyentuh sepedahku." Ancam Dilan seraya mengambil dua helai roti tawar yang kemudian ia balut dengan selai kacang.

Rehan tersenyum mendengar kalimat sang Adik. Pria jangkung itu adalah satu-satunya wali yang Dilan punya. Kedua orang tua mereka meninggal dua tahun yang lalu.

Tidak menghiraukan sang Kakak yang sedang menatapnya, Dilan menikmati sarapan paginya. Tanpa ekspresi.

"Ini," Rehan melempar dua gulung kertas berukuran permen ke hadapan adiknya. "Berikan pada Martin." Pintanya.

Dilan menghentikan aktifitasnya. Menatap tajam sang Kakak. "Apa ini? Kau ingin aku memberikan barang itu pada klienmu?'

Rehan mengangguk.

"Kau sudah kehilangan akal." Ucap Dilan seraya bangkit dari kursinya.

"Dilan, aku hanya meminta bantuanmu. Kau dan Martin satu sekolah, bukan?" Rehan ikut berdiri sambil mencegah tangan Dilan agar tidak pergi.

"Aku sudah bersumpah tidak akan terlibat dalam bisnis harammu, Rehan. Jadi berhentilah mengusikku!"

Dilan melepas paksa cengkraman tangan Rehan dari lengannya. Tapi sang Kakak tidak berhenti sampai di sana, ia kembali menarik tangan Dilan.

"Aku mohon, Dilan, kali ini saja. Aku tidak bisa masuk ke sana karena penjagaannya sangat ketat, sungguh hanya untuk kali ini saja." Pinta sang Kakak. Rehan memintanya dengan wajah yang dibenci Dilan.

Dilan menghela nafasnya. Menatap lama wajah pria di hadapannya.

"Sial," Umpat Dilan seraya melepas cengkraman sang Kakak. "Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi setelah ini." Lanjut Dilan sambil mengambil dua gulungan benda itu dari atas meja. Kakinya pun kembali melangkah meninggalkan rumah.

Rehan hanya bisa menghela nafasnya melihat sifat sang adik. Merasa bersalah.

***

Teko itu mengeluarkan kepulan asap dari corongnya. Suara air mendidih terdengar memanggil. Seorang gadis berseragam SMA berjalan ke arah kompor. Tangannya berayun untuk mematikan kompor yang menyala.

Gadis itu mengangkat tekonya, menumpahkan air panas ke dalam sebuah cangkir bening yang telah di isi oleh serbuk jahe. Aroma rempah menyeruak keluar. Asapnya menerpa wajah cantik itu.

Danissa. Semua orang memanggilnya dengan sebutan Danis. Seorang juara kelas yang salalu menduduki peringkat satu di kelasnya. Kecerdasan itu membuatnya memperoleh beasiswa. Ia bertetangga dengan Dilan.

"Apa kau sudah membayar SPP untuk bulan ini?" pertanyaan itu keluar dari suara serak seorang Nenek. Tubuhnya bersandar di sisi sofa, kakinya terselonjor di sepanjang dudukan sofa.

Danis menghela nafasnya sebelum menjawab, "Aku akan segera membayarnya."

Ia berjalan ke meja sofa, membawa secangkir minuman herbal itu dan menaruhnya di sana. Nenek itu menurunkan kedua kakinya ke lantai, meluruskan punggung, dan mengambil cangkir minuman herbal itu dari atas meja.

Matanya terpejam ketika cangkir itu ia dekatkan ke hidung. Aromanya dihirup perlahan sebelum akhirnya menyentuhkan bibirnya ke ujung cangkir. Seruputan pertama langsung terjun ke tenggorokannya yang kering. Hangat. Nikmat. Obat tradisional penghilang nyeri. Danis selalu membuatkan minuma herbal itu untuk Neneknya setiap pagi.

"Tuan Jay meminjami Nenek uang, kau bisa memakainya untuk membayar SPP bulan ini." Ucap sang Nenek seraya meletakan kembali cangkirnya ke atas meja.

Danis yang sedang menyiapkan beberapa bukunya ke dalam tas tiba-tiba menghentikan aktifitasnya. Raut wajah gadis berambut hitam sebahu itu berubah seketika. Tegang.

"Nenek bilang apa? Aku kan sudah bilang untuk berhenti meneri uang dari Tuan Jay?!" Danis bertanya seraya melangkah cepat ke hadapan sang Nenek.

Neneknya menengadah kepala melihat Danis yang berdiri di hadapannya. "Kau tidak perlu khawatir, Nenek yang akan membayarnya …"

Ucapan sang Nenek membuat Danis menggigit bibir bawahnya. Ia mengacak rambutnya sendiri. Ingin marah. Tidak bisa.

"Bajingan itu …" bisiknya.

"Ada apa Danis? Kenapa dengan Tuan Jay?" Neneknya bertanya khawatir. Tangan rapuhnya mencoba meraih tangan Danis.

Rasa kesal serta amarah yang terpendam membuat Danis kehilangan hati nuraninya. Tangan lembut sang Nenek dihempasnya dengan kasar.

"Aku ingin Nenek mengembalikan uang itu! Dan tolong berhenti menyusahkanku!" teriak Danis di hadapan sang Nenek. Ia seketika lupa bahwa Neneknya renta dan tua.

Tanpa peduli, Danis merampas tasnya dari atas meja, berjalan pergi meninggalkan rumah tua itu. Pintu terbanting dengan keras.

Neneknya hanya bisa mengelus dada. Mencoba mengatur nafasnya yang mulai terbatas. Sesak. Kalimat terakhir sang cucu membuatnya merasa bersalah.

***

Pukul 07.00. Para siswa SMA Westtown berlarian menuju gerbang. Pak Heri, guru BK itu sudah siap dengan kertas yang terjepit di papan skinner. Persiapan kalau-kalau ada murid yang sukarela menyumbangkan namanya untuk tertulis di sana. Pak Dedi, satpam berusia limapuluh tahun itu setia mendampingi Pak Heri di sisinya.

"Ayo, cepat! Cepat! Gerbangnya akan di tutup lima menit lagi!" teriak Pak Heri membuat para pelajar itu mempercepat langkahnya, bahkan ada yang berlari untuk menghindari keterlambatan.

Di luar gerbang, beberapa mobil terhenti di pinggir jalan. Para siswa dari kalangan atas yang setiap pagi di antar oleh supir atau bahkan orang tua mereka.

Seorang gadis hendak membuka pintu mobil ketika sang Ibu mencegah tangannya.

"Aruna, ambil ini dan begikan kepada teman-temanmu di kelas," Ibunya berkata seraya memberikan sekotak yogurt dalam paper bag, "Jangan lupa meminta mereka untuk memilih Ayahmu dalam pemilihan Wali Kota bulan depan, oke?" sambung Ibunya.

Aruna Wicaksana. Putri semata wayang keluarga Wicaksana. Ayahnya, Wicaksana adalah seorang politikus yang sedang mencalonkan dirinya sebagai Wali Kota baru. Nama Ibunya Amira. Seorang dosen bahasa Jerman di salah satu universitas ternama.

"Ayolah, Bu, aku tidak ingin jadi kaki tangannya Ayah." Keluh Aruna. Menolak mengambil yogurt itu.

"Kau bukan kaki tangan Ayahmu, kau hanya membantunya saja, ayo ambilah!" Ibunya memaksa.

Aruna kalah. Gadis berambut merah itu terpaksa mengambil yogurt sogokan milik sang Ibu. Ia akhirnya membuka pintu dan keluar dari mobil.

"Belajarlah dengan baik! Semoga harimu menyenangkan!" Ibunya melambai dari dalam mobil.

Aruna tersenyum melihat sang Ibu, tapi senyumnya seketika tenggelam ketika tubuhnya berbalik ke depan. Gadis itu pun melangkah pelan menuju gerbang yang sebentar lagi akan tertutup.

Namun tiba-tiba …

Bruk!

Bersambung …

***