webnovel

SKYCASTLE

Leith Crimsonmane, Nadine dan Gilmore menunggu di rumah dinas Donar, yang ternyata bukan sebuah rumah, melainkan apartemen mewah di lantai tiga puluh lima dari lima puluh lantai.

Di ruang makan, ketiganya sedang menghabiskan makan siang. Gilmore seperti biasa, dengan rakus melahap steak tomahawk ketiganya. Nadine hanya menatapnya sambil membayangkan kira-kira berapa banyak daging yang bisa lelaki tersebut tampung dalam perutnya. Melihatnya makan serakus itu hampir saja menghilangkan nafsu makannya sendiri. Sedangkan Leith yang gundah gulana hanya memain-mainkan tomat ceri dengan garpu, berpura-pura seolah tomat tersebut terlalu licin untuk dicolok.

"Berapa lama lagi kita harus menunggu?" Leith mulai gusar. "Bukankah kita seharusnya sudah pergi dari tadi?"

Tiba-tiba pintu depan apartemen terbanting, derap kaki terdengar ke pelosok ruangan apartemen yang hampir terbuka satu sama lain.

"Leith, Nadine, Gilmore! Dimana kalian?" Suara derap kaki berganti menjadi suara Donar yang mendekati mereka. "Ah, di situ kalian rupanya. Kalian sudah selesai makan siangnya? Ayo kita segera berangkat."

"Sudah waktunya!" balas Leith yang langsung membuang sisa makanan ke tempat sampah dan menyimpan piringnya di wastafel. Untung saja Gilmore tepat waktu mencabut sisa-sisa daging terakhir dari tulang rusuk sapi tersebut.

Nadine dengan cepat mencuci semua piring sambil bertanya, "Jadi Paman, bagaimana keadaan Alicia? Dan, kemana kita akan pergi?"

Donar sedikit mendesah. "Alicia … aku tidak tahu cara mengungkapkannya, tapi seharusnya ia baik-baik saja."

"Apa maksud papa tidak bisa mengungkapkannya?" Leith menyeletuk percakapan mereka berdua. "Sesuatu terjadi dengan Alicia?"

"Ceritanya panjang, akan lebih baik kita bahas itu selagi di perjalanan," ujar Donar.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam dari pusat kota Eidyn menuju batas kota yang lebih sepi, mereka akhirnya tiba di sebuah lapangan terbang di hamparan padang hijau.

"Baik anak-anak, turun," kata Donar seraya menutup keretanya.

"Selain beberapa kapal terbang, aku melihat tidak satupun gedung yang melambangankan kantor Magisterium," ujar Nadine.

Gilmore menunjukkan rasa semangatnya dengan berspekulasi. "Och! Sepertinya aku tahu di mana kantor tersebut. Di bawah tanah! Sangat rahasia tidak ada yang tahu, apalagi kalau berkedok bandara tua. Mungkin ada semacam jalan masuk rahasia menuju bunker kantor sihir."

"Bukan, dungu," jawab Leith, "Kantornya ada di sana," jari telunjuk Leith terpancang ke atas langit. Mereka bisa melihat secara sekilas sekelompok penyihir terbang menjulang ke atas dengan sapu ajaibnya ataupun dengan griffin tunggangan.

"Markas sihir di langit? Keren sekali!" ujar Nadine kagum.

Gilmore sebaliknya tidak terlalu terkesan. "Hmph, menurutku masih lebih keren di bawah tanah. Maksudku, kalau di atas awan, bukankah markas Magisterium lebih terekspos daripada gedung pencakar langit manapun?"

"Yah, yah, yah. Terserah kau saja. Tinggal lapor ke Grand Magus sana," jawab Leith yang mengabaikannya sambil berjalan bersama Donar menuju salah satu kapal terbang.

Mereka berempat mendekati sebuah kapal terbang berbentuk bola yang dilapisi logam kelabu. Kapal tersebut memiliki jendela bulat besar di depannya, lengkap dengan sepasang lampu kecil, serta dua jendela bulat lainnya di sisi kiri dan kanan.

"Whoa, sebuah sphereship!" seru Gilmore, "Kita akan naik sphereship, Paman Donar?"

"Memangnya kalian tidak pernah naik sphereship?" tanya Leith.

"Ya, aku tahu kau orang kaya, sudah pernah naik griffin, zeppelin, sphereship dan lusinan jenis kapal terbang lainnya. Maafkan aku kalau aku tak pernah naik satupun," Gilmore membalas dengan nada kesal.

"Cih,"

"Hei, hei sudahlah, segera naik. Kita akan ke kantor Magisterium dengan kapal ini," tukas Donar.

Donar menjadi pilot sebuah pesawat bola mini. Leith duduk di sebelahnya sebagai seorang kopilot, sedangkan kedua sahabat Alicia mengambil kursi belakang. Bola logam tersebut mulai membuka kedua lampunya, dan perlahan melayang menuju angkasa.

Gilmore dan Nadine, terutama Gilmore sangat terkesan melihat hamparan dunia yang teramat kecil saat kapal sudah lepas landas. Mereka pun dapat melihat segerombolan penyihir bolak-balik menggunakan sapu ajaib ataupun kapal terbang. Dirinya melambai-lambai sambil mengetuki jendela, meneriaki para penyihir tersebut, yang keheranan dengan kekonyolan sang lelaki raksasa yang mencoba mencuri perhatian mereka.

"Gilmore, jangan berisik!" Nadine menegurnya, "Kau norak sekali."

Leith yang di depan menyatakan persetujuannya. "Tidak bisa lebih setuju lagi."

"Oh diamlah! Kau fokus saja melihat jalan, Leith," balas Gilmore. "kalau pesawat ini jatuh, itu semua salahmu!"

Semakin tinggi, secara perlahan mulai jelaslah siluet sebongkah tanah melayang yang menghalangi terik matahari. Sebuah gedung besar mirip kastil dengan sentuhan artistik modern, seperti desain gedung-gedung di komplek parlemen absurd yang dijumpai oleh mereka sebelumnya. Entah Europa sedang memasuki masa pencerahan seni, tapi yang pasti selera mereka sangat aneh belakangan ini. Gedung tersebut ditopang oleh bebatuan tanah yang di tengahnya terdapat sumber energi sihir yang berpendar. Mungkin itulah yang membuat tanah itu, bahkan remah-remah sekitarnya ikut melayang. Di depannya terdapat plang bertuliskan 𝘔𝘈𝘎𝘐𝘚𝘛𝘌𝘙𝘐𝘜𝘔 𝘛𝘈𝘕𝘈𝘏 𝘚𝘐𝘏𝘐𝘙, 𝘗𝘌𝘓𝘐𝘕𝘋𝘜𝘕𝘎 𝘋𝘜𝘕𝘐𝘈 𝘋𝘈𝘕 𝘚𝘐𝘏𝘐𝘙.

Setelah mendapat izin dan mendarat, mereka langsung bergegas masuk ke dalam kantor. Donar tanpa basi-basi menemui penjaga kantor tersebut.

"Kami ingin bertemu dengan Haddock dan putriku, sekarang."

"Donar, Tuanku! Tentu saja, Yang Terhormat Grand Magus sudah menunggu kedatangan Anda, silahkan lewat sini!" seorang penjaga memandu mereka berempat dari lobi luas penuh penyihir menuju lorong-lorong padat.

***

Secercah cahaya silau menusuk mata gadis Crimsonmane yang masih berkunang-kunang. Ia menutup matanya sebentar kemudian mulai melihat sekelilingnya. Ruangan yang ia tempati lebih sepi dan lenggang dari tempat pengadilan tersebut. Ia melihat banyak peralatan medis dan potion yang wajarnya hanya tersedia di klinik atau rumah sakit. Alicia menyangka bahwa dirinya pasti berada di antara dua tempat tersebut.

"Halo! Kau sudah bangun?"

Suara maskulin yang asing bagi sang gadis langsung membuatnya terkesiap. Ia seketika terbangun dan matanya menemukan sosok pria perlente yang sedang memanaskan teko, menggunakan tonkat sihir mewahnya sebagai pemantik api.

Pemikiran dan penglihatan yang kabur masih menyulitkan dirinya untuk menelaah informasi di sekitarnya. Setelah diperhatikan, dirinya sebenarnya berada di sebuah ruangan kantor, dengan rak buku kosong berjejeran sedangkan buku-buku dan dokumen malah berserakan di lantai. Tergantung pula lampu gantung kuno yang sudah usang, dan burung hantu yang berterbangan ke sana kemari. Sebuah ruangan kantor dengan brankar pasien, rak buku kosong yang merusak pemandangan dengan burung liar bersarang dalamnya. Yap, tentu sebuah ruang kerja yang normal untuk staff penyihir yang sibuk.

Alicia menelisik pria tersebut. Dengan rasa enggan, ia memberanikan diri bertanya, "Uhm …, halo? Apa Anda seorang tabib?"

"Tabib? Pernah melihat tabib berpakaian seperti ini? Aku pasti menjadi dokter terkeren yang pernah ada."

"Oh … jadi, bukan seorang dokter ya? M-maaf …."

Pria itu tertawa kecil. "Tidak, tidak. Maafkan aku karena membuatmu menjadi enggan. Mari kita mulai perkenalan saja. Namaku Lachlan Haddock, Grand Magus Magisterium Tanah Sihir."

"Namaku Alicia—G-G-GRAND MAGUS?" Alicia memasang kacamata, untuk melihat sosok pria itu lebih jelas. Panik, ia membuang selimutnya dan segera bangun dari kasur. Alicia mengangkat sedikit roknya dan menunduk hormat kepada Haddock. "Yang Terhormat Grand Magus! Hamba Alicia Crimsonmane. H-hamba meminta maaf atas keteledoran hamba saat peristiwa di ruang pengadilan …," Alicia kemudian mengerang kesakitan karena tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Tangannya menggapai tempat tidur untuk menopang tubuhnya yang sempat gemetaran.

Haddock langsung bergerak ke arahnya. "Nona Alicia, jangan memaksakan dirimu! Tetaplah berada di kasur," sang Grand Magus membantu puan sihir berkacamata duduk di kasurnya. "Tubuhmu masih harus menyesuaikan diri akibat 'Kutukan Empati' yang dirimu terima tadi."

"K-k-kutukan empati? Aku dikutuk?" gerakan tiba-tiba membuat Alicia kembali merintih nyeri.

"Kukira sebagai pengguna Arcane kau harusnya sudah tahu?"

"T-tidak tahu, Yang Terhormat Grand Magus."

Selagi menuntun kepala sang gadis menuju bantal, Haddock menjelaskan, "Benar juga, itu bukan pengetahuan umum, sih. Pada dasarnya itu teknik sihir yang dikembangkan oleh para penyihir dengan kekuatan Khaos. Ketika kekuatan Arcane dan Khaos bertemu, dirimu akan merasakan sensasi yang sangat menyiksa seolah merasakan bagaimana daya Khaos digiling hidup-hidup oleh kekuatanmu sendiri. Hanya berlaku ketika energi Arcane yang keluar belum sepenuhnya terpisah darimu."

"Tapi aku belum pernah merasakan itu saat melawan pengguna partikel Protos lain!"

"Well, apakah mereka benar-benar seorang praktisi ilmu mistis?"

Alicia terdiam.

"Mau bagaimana lagi?" jawab Grand Magus. "Semua yang dipercaya Arcane akan mengalaminya. Apalagi ketika mereka hendak memurnikan seorang penyihir Khaos. Pada akhirnya kalian tidak hanya beradu sihir, kalian akan beradu untuk melihat siapa yang paling kuat menahan rasa sakit."

"A-aku mengerti ... Kurasa semuanya salahku karena diriku terlalu lemah menahan semua rasa sakit itu, ya? Aku membiarkan banyak penyihir terbunuh saat itu." lirih sang gadis.

"Segala yang terjadi sebelumnya bukanlah salahmu, nona."

"Tapi …," Alicia membalas, "Jika bukan karena aku. Mereka semua … oh, tidak. Pemandangan tersebut terulang lagi dalam benakku …" Bayangan jenazah para penyihir yang habis digerogoti mengakibatkan serangan paniknya kambuh. Dirinya mencubit batang hidungnya sambil menggelengkan kepala, sementara ia kesulitan untuk bernapas. Haddock kembali mengusap lembut pundaknya agar tetap tenang.

"Shhh … Alicia, lihat aku." Kedua telapak Grand Magus menimpa kedua pipi sang gadis guna mengarahkan wajahnya ke Haddock. "Peristiwa tadi memang menyeramkan. Aku sangat meminta maaf kau harus mengalami hal itu. Tapi kau akan baik-baik saja, oke? Aku tahu kau gadis yang kuat, aku bisa melihatnya. Sekarang tarik napas panjang dan keluarkan."

Alicia menuruti instruksi Grand Magus. Perlahan ritme napasnya teratur dan ia berhenti mengalami tantrum kegelisahaan. "Gadis pintar," kata Haddock, "Nah sekarang, kau mau secangkir teh dan kue kering?"

***

Alicia masih bermuram durja sambil meneguk teh kamomilnya lalu mencicipi beberapa kue kering yang disediakan. Sesekali ia melihat tangan kirinya yang sudah tanpa cap sihir lalu melihat Grand Magus, lalu menunduk lagi. Waktu itu sudah lewat jam makan siang dan dia sama sekali belum makan apapun sejak dikeluarkan dari penjara. Haddock yang di depannya hanya menatap si gadis yang malu-malu dengan tenang. Barangkali pria paruh baya ini tidak bisa membaca situasi canggung yang diciptakan oleh dirinya yang terus memperhatikan Alicia.

"Kau yakin segitu saja sudah cukup?" Haddock langsung memecah keheningan nan canggung itu. "Kau yakin tidak mau coba steak kamomil kami?"

Alicia melihat teh kamomilnya saat penyihir itu mengatakan steak dengan bahan bumbu yang sama dengan minuman yang ia teguk. Alicia melirik Haddock dengan tatapan tidak mengerti.

"Steak kamomil?"

"Yang terbaik di seluruh Europa," sahut Haddock bangga.

"Barangkali karena hanya tersedia satu-satunya di sini."

Haddock tersenyum dengan responnya yang sedikit dingin. "Banyak orang mengira kamomil hanya berkhasiat sebagai teh herbal. Tapi tahukah kamu, kamomil, terutama kamomil Stillmajik mempunyai serbuk sari yang melimpah? Baik serbuk sari dan kelopaknya dapat dijadikan bumbu masakan yang tak kalah sedap dari rempah-rempah tanah timur. Bagian terbaiknya? Kamomil Stillmajik berkhasiat memulihkan mana dengan cepat!"

"Anda sepertinya sangat mahfum tentang bahan makanan."

"Oh, tentu saja," sahut Haddock. "Aku yang menemukannya. Steak kamomil adalah resep dariku. Semua orang menyukainya. Well, tidak semuanya sih, beberapa kelihatannya tidak mengakui karya kulinerku, termasuk ibumu."

Alicia langsung menengadah mukanya ke arah Haddock, tanda perhatiannya berhasil ditarik oleh Grand Magus.

"Iya, ibumu. Aku ingat ia hampir membunuhku karena sering memasukan bahan absurd ke dalam makanannya. Belum lagi kritiknya ke steak kamomilku, padahal dia sendiri belum memasukan satu serat dagingpun ke mulutnya. Pokoknya kalau aku curhat soal resep masakanku yang baru, dia selalu memasang wajah jiik ini," Haddock mengimitasi wajah keheranan Alicia serta tatapan anehnya, "Iya persis seperti wajahmu itu. Dasar Crimsonmane, sangat susah memberikan pujian."

"Kupikir reaksi Mama cukup masuk akal, Yang Mulia Grand Magus," jawab Alicia.

"Oh, jangan biarkan semua pujian hanya kepada Crimonmane," Haddock menepis balik, "Mereka tak akan bisa menampungnya dengan segala kecongkakannya itu."

Tidak bisa disalahkan jika layaknya sang ibu, Alicia memandang Haddock yang berpakaian rapi ini sedikit miring dari tingkah lakunya.

Walaupun begitu, pesonanya tidak mungkin bisa ditolak. Alicia akhirnya sedikit senyum berkat kehangatan interaksi sang Grand Magus. Ia memberanikan diri membuka topik lain, katanya, "Kalau boleh bertanya, Yang Terhormat Grand Magus. Seperti apa Mama ketika dia bekerja sebagai penyihir Magisterium?"

"Panggil saja Haddock, nona. Ailsa ya? Hmmm …," Haddock merenung sebentar. "Secara penampilan beliau sangat menarik. tapi aduhai ibumu sangat tidak santai, keras, banyak mengomel, dan suka mencari kesibukan sendiri walaupun dia punya banyak waktu senggang. Satu kantor dibuat tegang olehnya. Dia bahkan lebih bossy dariku."

"Jadi mamaku pada dasarnya Tuan Bartholomew Strongbark versi wanita?"

"Oh, tidak, tidak, Alicia. Tidak ada yang bisa menyaingi Bartholomew. Ailsa jauh dibandingkan dirinya. Konon dia memang dilahirkan dengan tabiat pemarah. Dia bahkan memaki saat dirinya dilahirkan,"--Haddock meniru suara berat Bartholomew--"'Oh sialan kau, wanita! Kenapa kau malah mengusirku dari rahim yang gelap dan nyaman, lalu menarikku ke dunia fana yang kering ini! Terkutuklah kalian semua mahluk bumi bedebah!'"

Suasana ruang tersebut pecah oleh Alicia yang akhirnya tertawa, tidak peduli kalau si Bartholomew menguping di balik pintu sekalipun.

Haddock melanjutkan ceritanya, "Tapi di luar jam kerja, ibumu juga doyan nongkrong kok. Divisi kami seringkali nongkrong di pub, dan Ailsa seorang peminum handal, kau tahu?"

"S-sungguh? Aku tidak tahu kalau mamaku doyan minum," ujar Alicia yang merasa belum sepenuhnya mengenal Ailsa.

"Hei, tidak perlu malu soal itu. Itu wajar untuk para pekerja yang sibuk," Haddock sepertinya dapat menebak perasaan Alicia. "Yah, di luar itu, ibumu sangat peduli dengan orang lain. Tentu saja, beliau penyihir yang hebat, hampir semua kasus penyimpangan sihir tidak akan bisa diselesaikan kalau tidak ada beliau."

Setelah sesaat, wajah Alicia perlahan murung kembali. Setelah diingat-ingat, rasanya aneh sekali dapat melepas tawa sekarang ketika sebelumnya ia harus menghadapi pengadilan hukum pertamanya.

"Bartholomew sempat menuduhku kalau aku merupakan bagian dari alasan hilangnya Mama. Hanya karena aku bukan penyihir, ingin membuat dunia bahagia dengan sihir. Dia mengatakan sesuatu tentang mimpi itu, sekelompok orang yang ingin mewujudkannya dan mengimpikasikan mereka adalah orang jahat. Tapi aku bukan orang jahat, Grand Magus!"

Haddock terdiam sesaat. Kini ia merasa tak enak hati dengan putri Ailsa. Gara-gara Bartholomew, Alicia muda akan diawasi oleh para penyihir lain, baik ketika dia mempunyai atau kehilangan sihir Arcane-nya. Dia mungkin akan kehilangan privasinya dan itu sangat tidak mengenakkan.

"Bartholomew berkata bodoh, Alicia. Sekali lagi, maaf," Haddock menghela napas, "Sebagian besar yang dia katakan benar. Ada beberapa individu yang bersatu dan mempunyai visi ... yang sama dengamu. Hanya saja mereka punya pemahaman yang ekstrim mengenai itu dan sudah mengakibatkan kekacauan di banyak tempat. Ailsa merupakan salah satu personil yang ditugaskan menginvestigasi keberadaan mereka, namun ... nihil. Kita tidak tahu apapun tentang kelompok tersebut, padahal perbuatan mereka begitu nyata. Kita seperti sedang mencari hantu. Necromancer tadi mungkin juga bagian dari mereka. Tapi aku tahu kau bukanlah salah satunya. Aku akan mengatakannya kepada yang lain."

"Jadi, kau percaya kepadaku?"

"Aku percaya kepada Ailsa Crimsonmane, dan kemampuannya untuk menjaga anak-anaknya dari ideologi yang melenceng."

Selagi mereka berdua asik berbicara, terdengar suara ketikan dari pintu. Bartholomew langsung membuka pintu dan melapor, "Donar Crimsonmane di sini."

Donar tanpa basa-basi menerobos pintu tersebut, melihat putrinya dengan sedikit luka, namun masih dalam keadaan utuh. "Alicia!"

"Papa!" Alicia langsung berlari dan memeluk sang ayah erat-erat.

"Syukurlah kau baik-baik saja, nak," suara lembut Donar yang khawatir mengalun menenangkan Alicia.

"Papa, aku tahu aku berbuat kesalahan fatal kali ini, tapi percayalah aku hendak memberitahukannya ke papa jika papa pulang. Kuharap papa mau mendengarkan penjelasanku dulu--"

"Sudahlah nak, sudahlah," Donar menepuk pundaknya pelan. "Kau sudah mengalami banyak hal. Tidak perlu terlalu keras dengan dirimu sendiri."

"Alicia! Kau tidak apa-apa?" Nadine dan Gilmore ikut masuk mendapati Alicia. Ia tidak menduga kedua sahabatnya pun sampai jauh-jauh menjenguknya ke pusat kota lalu ke kantor di atas awan.

"Kalian!" Alicia ikut memeluk kedua sahabatnya. "Kenapa kalian sampai segitunya mencariku kemari?"

"Kamu tiba-tiba diculik seorang ninja dan menghilang begitu saja, bagaimana kami bisa berleha-leha saja, bodoh?" sahut Nadine.

"Sayangnya kami agak terlambat ya?" Gilmore pura-pura menyayangkan, "Padahal aku ingin melihat apkaah dirimu akan meringkuk menangis melawan necromancer itu."

"Ah, Gilmore, hentikan!" Alicia ngambek, "Lagian kenapa kalian bisa sampai tahu kejadian itu?"

"Siapa sih yang tidak tahu? Eh, tunggu. Apa ini seharusnya menjadi rahasia? Papamu yang memberitahu kami sih, kukira sudah jadi bagian sekilas berita."

Sambil memeluk mereka, Alicia kebetulan melihat adiknya berdiri saja di ambang pintu dengan aura yang menegangkan, mengakibatkan bulu kuduknya merinding. Entah karena hubugan darah atau apa, walaupun adiknya sangat jengkel dengan tingkah lakunya saat itu, ia juga merasakan adanya rasa lega dalam hati adiknya.

Tidak ada lari dan pelukan. Dengan sedikit enggan, Alicia mendekati Leith. "Hei, Leith. Aku tahu ini pasti inisiatifmu. Um, t-terima kasih sudah melakukannya untukku. Maaf menyusahkanmu karena tindakan gegabahku saat itu. Aku akan mencoba untuk tidak menjadi bodoh lagi."

Leith menghela napasnya, "Kau sebaiknya begitu."

Selagi Alicia bercengkrama dengan yang lain, Donar menghampiri Haddock. "Terima kasih sudah menjaga putriku dalam keadaan selamat," katanya.

"Aku tidak tahu kau punya dua anak lagi, Tuanku. Apalagi yang satunya berkulit gelap?" ungkap Haddock.

"Mereka bukan anakku, jangan berpikir aneh-aneh."

"Oh begitu. Sepertinya putrimu tidak seterpuruk yang lain pikirkan."

"Dia punya masa indah di Trinketshore, betul." ujar sang ayah, "Sayangnya, masa indah itu nampaknya tak berlangsung lama, terlebih sejak ia menemukan benda itu."

"Oh benar, bola sihir itu." Haddock lalu memanggil mereka. "Baiklah anak-anak, jika sesi ramah tamahnya sudah selesai, saatnya kita mulai berdiskusi serius tentang bola sihir Arcane murni ini." []