webnovel

SEMAR'S SONS

"Petruk! Bagong! Anake wis gugah!" Salah satu penunggang kuda berseru dalam bahasa Yawa. Ia pun segera turun, berlari dan mendapati Alicia dan para sisya.

"Syukur pada dewa-dewa, ini kamu yang pingsan tadi siang!" serunya lagi di depan wajah sang gadis dengan bahasa ibu sang gadis pula. Tentu saja Alicia tersentak melihat muka kemerahan pemuda itu terlalu dekat dengan mukanya.

"Ah! H-hai …, Anda … siapa ya?" Wajah gadis Crimsonmane yang merona tentu membuat pemuda tersebut semakin girang. Perempuan lain menggeleng heran akan sikapnya.

"Alicia, ini Sukodadi Pancalpamor, salah satu anak asuh Ki Semar."

"Alias Cangkrawangsa Pandrupralogamanik, alias Jawadisputro, alias Nolojoyotungkluk, alias Pegatwaja, alias Astrajingga, alias Dawala."

Terlalu banyak nama! Ada apa dengan orang-orang di sini? Apakah penduduk Yawa melihat status orang dari berapa banyak nama yang ia sandang? Alicia hanya punya satu nama, Alicia Crimsonmane, dan itu bahkan sudah mengundang cukup banyak orang untuk memburunya!

Sang gadis gelagapan dengan mulut cangah. "Terus, aku harus memanggilmu apa?"

"Gareng."

Gadis Crimsonmane hampir tersedak ludahnya sendiri.

"Dan ngomong-ngomong, 'Alicia'? Nama yang luhur. Keluhuranmu bukan hanya pada nama, namun rupamu pun seluhur Bathari Jhupar Halami," sahut Gareng. Gareng mundur dan berlagak merapikan pakaian dan rambutnya. Tanpa peringatan sekalipun, ia mengangkat tangan sang gadis dan menciumnya, mengikuti salam menurut istiadat barat. Alicia …. diam seribu bahasa, tak dapat memilih seribu ekspresi. Rona merahnya sedikit lebih kentara dari biasanya. Sejauh ingatannya mereka ulang, satu-satunya orang yang pernah mencium tangannya seperti itu bukanlah sosok seperti Gilmore, melainkan si kurcaci Whucksmire–di usia yang masih belia.

Kulit Gareng memang kemerahan, seperti tanah laterit. Akan tetapi, kulit yang habis dipanggang matahari tersebut menggambarkan kenikmatan hidup di alam tropis yang sangat cocok untuknya. Belum lagi dibarengi dengan rambut sepanjang bahu, tak diikat dan berantakan. Jika menurut penglihatannya tak dapat diandalkan penampilan Gareng cukup baik, tunggu ketika pemuda lain hadir melewati gerbang–karena ada tiga kuda di luar.

Seorang lelaki berbadan jangkung dengan rambut yang dikucir. Hidungnya pun yang paling mancung di antara mereka semua, sehingga dia lebih tampak sebagai seorang darah campuran. Kemudian di sebelahnya seorang lelaki lainnya, namun tubuhnya lebih pendek—mungkin lebih pendek dari Alicia sendiri. Rambutnya diikat cepol. Lelaki berbadan pendek itu mengenakan jas beskap hitam, sedangkan yang bertubuh tinggi berkemeja merah dengan corak kuning.

"Ini perempuan yang pingsan waktu itu? Darimana asalmu, Nona? Apakah gerangan dayang dari kahyangan?" gombal lelaki berbadan jangkung.

"Mampuslah sudah, bergombal lagi dia," tanggap saudara di sebelahnya. "Itu kesekian kalinya kamu berkata begitu terhadap setiap perempuan desa yang kau temui, Petruk. Sudah seperti kaset rusak saja kamu!"

Sosok yang disebut Petruk memasang wajah sok kalem menanggapi saudara bontotnya. "Bagong, semua wanita adalah mahluk kahyangan."

"Kamu tahu tidak para perempuan sudah bosan dengan hidung panjang terpampang di wajahmu? Setidaknya cobalah jangan bikin orang makin bosan dengan godaan yang sudah ada sejak penciptaan loka!"

"Kamu cuma iri, Bagong, kalau hidungmu tak semancung punyaku." Petruk mengolok Bagong. "Bukannya mau sombong, tapi aku mungkin yang paling mirip dengan pria tampan daerah barat berkat hidungku ini. Benarkan, Nona …?"

"Aku … Alicia Crimsonmane, dari Caledonia, Camelot. Salam kenal." Alicia menyalami mereka. "Ya, bentuk hidungmu lazim di tempat asalku. Kebanyakan anak-anak punya boneka pinokio di rumah mereka."

Si Pendek, Bagong, tertawa hingga terjengkang dari kuda. "Demi dewa-dewa. Bahkan perempuan barat saja menyandingkanmu dengan pinokio!" Bagong yang jahil berangan-angan sedang bermain seruling dari hidungnya. "Tut tutut tutut … Ini aku, Petrukio! Aku terlalu banyak menggoda perempuan, akibatnya hidungku sepanjang suling bambu!"

Tarian konyol Bagong ikut mengundang tawa dari Alicia dan yang lain. Petruk salah tingkah. Si Jangkung membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan Si Cebol!

Bagong dan Petruk mendekati gadis berkusi roda. "Kau tahu, Alicia Crimsonmane, cara berbicaramu lucu!" kata Bagong. Yang dia maksud adalah logat khas Caledonia-nya yang khas. Mereka sebenarnya sudah menganggap lidah orang Camelot seperti manusia ikan yang berbicara dalam air. Lalu terdengarlah di kuping mereka untuk pertama kali bunyi kata yang mendayu-dayu dengan pelafalan vokal yang aneh—aksen Caledonia.

"Ini cara orang-orang di tempatku berbicara, maaf." Alicia jengah. "A-aku bisa mengusahakan penggunaan bahasa umum yang normal jika kalian kesulitan mengerti perkataanku!"

"Tidak apa-apa, Nona. Kami tidak sebodoh itu. Lagipula kami suka logatmu." balas Petruk, yang juga dibalas oleh anggukan Bagong. "Perkenalkan, Aku sama seperti yang lain, anak asuh Ki Semar juga. Namaku Petruk, alias Bambang Pecruk Penyakilan, alias Doblajaya, alias Jengglongjaya, alias Pentungpinanggul, alias Welgeduwebleh Tongtongsot, alias Surogendolo alias Kanthong Bolong!"

"Masih ada lagi?" tanya Alicia.

"Mungkin ada lagi. Tapi aku lupa. Dan tebak mereka memanggilku apa?"

"Petruk?"

Petruk terkagum-kagum. "Nona Alicia, gerangan bukan saja dayang kahyangan paling cantik, tapi pandai pula membaca pikiran seseorang!"

"Uh … orang di sebelahmu memanggil Petruk dari tadi."

Petruk baru tersadar, menepuk dahinya. Bagong di sisinya tergelak kian keras.

"Panggil saja Bagong, nona. Nanti kamu keteteran dengan nama lainku." Bagong memperkenalkan diri. "Oh ngomong-ngomong, ini. Tak kusangka aku dapat menyelesaikannya lebih cepat. Cobalah." Bagong menyerahkan sebuah kotak kecil memanjang kepada sang gadis. Ketika Alicia melihat isi peti, wajahnya seketika berseri.

"Bagong! Kamu membuat ini? Terima kasih banyak!"

"Aku mungkin tidak pandai adu sihir seperti saudaraku yang lain. Tapi jika kamu butuh membuat sesuatu, apalagi peralatan sihir, aku ahlinya! Kamu tahu, orang-orang menjulukiku Hesphaistos dari Yawa!"

"B-benarkah begitu? Itu keren!" sahut Alicia bersemangat.

"Apa? omong kosong! Mana ada yang memanggilmu begitu?" tukas Gareng. "Lagipula, tidak ada yang tahu siapa itu Hesphaistos."

"Aku tahu Hesphaistos." Petruk menanggapi Gareng.

"Selain Petruk!"

"Aku tahu Hesphaistos juga! Dia pencipta automaton pertama dan merancang peralatan untuk para penyihir Olympus!" Alicia malah mengangkat tangan layaknya anak kecil.

"Aduh, tapi kan Nona tidak memanggil Bagong demikian!"

"Kamu tahu Hesphaistos tidak, Gareng?" Bagong malah mengalihkan pembicaraan.

"Aku tidak tahu. Sudah kubilang tidak ada yang tahu siapa itu Hesphaistos."

"Aku tahu Hesphaistos. Kau melupakanku." Petruk berucap lagi.

"Bodoh amat."

"Kalian bertiga sungguh lucu!" Alicia tertawa.

Ketiga saudara serempak berseru. "Itu artinya Nona bersedia berkencan dengan kami?"

"Hah? Apa-apaan itu? Mimpi kalian!"

"Tapi kata orang perempuan suka laki-laki yang humoris," kata Gareng.

"Aku pasti lebih lucu," tegas Bagong bercanda.

"Bah! Satu-satunya yang lucu daripadamu hanyalah badan cebolmu itu!"

"Hei! Tidak patut kamu membercandakan tubuh seseorang!"

"Oh begitu? Ada apa dengan Petrukio dan hidung serulingnya?"

"Saudaraku, alangkah baik kita meminta Ayahanda mengadakan kompetisi melawak," saran Petruk.

"Ide bagus!" keduanya bersahut. "Mari kita membuktikan siapa yang paling jenaka secara pria agar layak berkencan dengan gadis cantik ini."

Sementara Petruk, Gareng, dan Bagong sibuk berdebat, keempat gadis tertawa sambil menutup mulutnya. Tiga anak Semar begitu konyol, Alicia berharap tidak ada dari mereka menang jika lomba itu benar-benar dihelatkan.

Bagong kembali meminta Alicia memeriksa hadiah kecilnya itu. Alicia mengeluarkan isi kotak tersebut, yang ternyata adalah sebuah kacamata baru! Barulah dirinya dapat lega sedikit, karena ia dapat kembali melihat jelas lingkungan sekitar. Ketiga sisya perempuan dapat ia tatap jelas. Ketiganya juwita, sudah dia duga. Ketiga lelaki juga lumayan elok dan menarik dengan tiap-tiap perangai mereka yang unik. Saking ramah mereka, tak terasa mereka sudah akrab saja dengan sang gadis. Mencari teman di sini lebih mudah daripada di tempat di mana ia keluar dari rahim sang ibu.

Selagi asik bercakap-cakap di perkarangan, sesosok pria asing menyelongong di tengah-tengah mereka. Ia bagaikan tak mengakui keberadaan tujuh manusia di sana, melewati mereka begitu saja ke pintu keluar.

"Eh, Wisesa! Mau pulang, Saudara? Babi-babi sudah kelar diberi makan?" seru Gareng di depan kuping orang tersebut.

Petruk menempeleng pelipis lelaki berkulit merah. "Kamu kenapa sih, Gareng? Jangan begitu, dong!" tegur Petruk dalam bisik. "Wisesa? Ayo ngobrol dulu di sini! Sekalian berkenalan dengan gadis baru ini."

Tangan panjang Petruk merangkul pundak Wisesa—panggilan orang tersebut—namun ditepisnya. Wisesa tak ambil pusing jikalau yang lain menyaksikan gelagat kasarnya. Dia lelah setelah bergelut dengan babi seharian, dan hanya ingin menuju rumah. Tapi baik Bagong dan Gareng, dan ketiga perempuan tak mau mewajarkan perilaku tak tahu adatnya. Sebelum cemooh kabur dari bibir mereka, Alicia mengambil giliran terlebih dahulu.

"Hei! Kamu yang berada di kamar tadi, bukan? A-aku minta maaf kalau sudah menuduhmu sebagai pencuri. Bolehkah kita berkenalan sebentar?"

Semilir angin lebih nyaring di telinga Wisesa ketimbang ajakan baik Alicia. Jangankan menggubris, pemuda tersebut bahkan tidak menghentikan langkahnya sekalipun. Kakinya terus bergerak ke depan, ibarat tidak ada siapapun di sana. Suara-suara tadi cuma angan-angan belaka. Jangan ditanggapi kalau tidak mau dianggap gila, pikirnya.

Semuanya menatap seolah itu bukanlah kejadian baru—tentu saja kegeraman itu tak pudar dari sorot mata mereka. Hanya Alicia saja yang linglung. Alicia mungkin merasa bahwa dirinya sudah terlanjur menyinggung perasaan pemuda tersebut. Rasa tidak enak itu membuat wajah berserinya kembali masam dalam kekecewaan. Ketiga perempuan tadi mahfum akan perasaan sang gadis, mencoba memberinya kata-kata penghiburan.

"Nona Alicia tidak perlu bersedih," hibur Kiran. "Dia memang seperti itu sejak pertama kali bertemu. Dimaklumi saja."

"Masa kita harus memakluminya terus? Setidaknya dia tidak perlu bersikap berengsek!" Si Cempaka malah marah-marah sendiri. Sisanya hanya mendesah.

"Orang itu tidak akan berubah sekalipun semua orang mencercanya, Cempaka," respon Petruk. "Daging beku pun perlu dicairkan semalaman sebelum bisa dimasak dan disantap."

"Petruk, kadang aku heran mengapa kepala pukul sepertimu malah yang paling bijak di kami."

"Oh, tentu saja. Sangat disayangkan jika manusia hidup tua tanpa menggali secara maksimal kemampuan otak dan otot mereka. Mengenai Wisesa, hanya kesabaran sepanjang hidungku ini yang meluluhkannya kelak, semoga. Lagipula, masa lalunya sebagai putra mahkota Alas Purwo pasti terlampau berat. Aku berani bertaruh warisan Ayahanda bahwa tidak ada di sini yang tau seberat apa hidupnya sampai-sampai ia menjadi pribadi yang sekarang."

Alicia menukas perkataan Petruk. "Dia putra mahkota Alas Purwo? Kukira kalian sedang berselisih dengan kerajaan tersebut?"

"Oh, kami jelas masih berselisih dengan negeri fasis tersebut," jelas Bagong. "Dia Wisesa, anak asuh Ki Semar juga. Dia memang seorang anak sulung sunan sekarang, namun ia menelantarkan kesunanannya sendiri karena berpihak pada adik ayahnya. Wisesa harus bertempur dengan keluarganya sendiri, sekaligus rakyat Pulomas yang menaruh curiga kepadanya."

Petruk menyambung perkataan Bagong. "Kamipun mengira dia adalah mata-mata Alas Purwo saat kami menemukannya sekarat dekat ladang. Namun Ki Semar lebih bijak dari kami, beliau menerimanya masuk ke desa. Semua penduduk masih melampiaskan dendam kepadanya, sih, mengingat dia adalah putra mahkota Alas Purwo, dan korban rezim ayahnya juga termasuk sebagian penduduk Tumaritis.

"Tetap saja, setidaknya bersikaplah sopan agar orang bisa bersimpati padanya. Tak tahu diuntung!" balas Bagong lagi.

"Yah, sudahlah. Paling tidak kita tidak satu atap dengan Wisesa," sahut Gareng. "Akupun pasti tak tahan akan kepongahannya. Biarkan saja dia memilih tinggal di gubuk luar desa. Barangkali Barong akan mengunjunginya!"

Barong. Kedua kalinya sebutan itu terdengar di kuping gadis Crimsonmane. Mungkin terdengar seperti jenis hewan yang umum di tanah Yawa. Namun tanpa alasan yang jelas, Alicia merasa galau dengan istilah itu. Ingin sekali dia menanyakan ihwal tersebut. Sayang seribu sayang, sepasang insan menceletuk Alicia melalui kehadiran mereka di muka gerbang. Kenapa waktunya selalu tidak tepat?

Usut punya usut, kedua insan tersebut adalah adalah Ki Semar, dan seorang wanita yang Alicia yakini sebagai istrinya. Ki Semar berlindung dalam kain kali ini. Perkiraan kepala desa itu meleset; Alicia tak terperanjat melihat sang lurah. Di matanya hanyalah kakek bungkuk yang bijaksana. Dalam arti lain, seorang tua yang menjalani masa emasnya. Wanita yang diyakini sebagai istri Semar berseru kepada tiga perempuan di belakang Alicia. Suaranya tegas, kemungkinan adalah sebuah teguran.

"Maaf Alicia, kami lupa waktu. Kami harus kembali ke rumah kami," kata Kiran.

"Sampai jumpa, Alicia. Kami akan membantumu mencari benda kesayanganmu besok," ucap Cahyaningrum.

Ketiga perempuan memberikan salam hormat kepada sepasang suami istri dan pulang ke rumah masing-masing.

"Sudah saya lihat kamu sudah bertemu dengan ketiga anak saya. Dan kamu sudah mendapatkan kacamata baru!" ucap Ki Semar girang. "Kalau begitu, perkenankan matamu melihat sekilas wajah istri saya yang cantik ini, Kanestren."

Istri Semar menepuk pundak Ki Semar sembari malu-malu. Lalu ia pun melayangkan pertanyaan kepada Alicia. "Salam kenal, Nona Alicia. Suami saya sudah berbicara tentangmu. Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Salam kenal, Nyonya Kanestren. Kupikir diriku sudah sangat baikan, terima kasih."

Tidak sepenuhnya baik-baik saja, ketika sebuah geraman aneh ikut beramah-tamah. Semuanya memandang Alicia yang sontak merona. Seluruh keluarga tersebut menertawakan bunyi perut keroncongan sang gadis.

"Kamu tahu, saya baru saja dari dapur luar, guna mempersiapkan perjamuan. Hari semakin gelap, mari kita semua masuk ke dalam dan makan malam," ujar Kanestren lembut sembari mengarahkan kursi roda Alicia.

Dalam isi kepala Alicia, sekalipun kedua pasangan sudah lanjut usia, dan semuan anaknya adalah anak angkat, sejatinya mereka adalah keluarga yang lebih normal dari miliknya sekalipun—Wisesa yang tak tahu terima kasih tidak dihitung. Ini membuat Alicia sempat bertubrukan akan memori keluarga mungilnya di Camelot. Kini barulah ia merasa betapa besar rindunya akan Donar, sang ayah dan Leith, adiknya yang dingin. Alicia berusaha keras untuk tak membayangkan apa reaksi keluarganya jika yang paling rapuh di antara mereka berada di belahan dunia lain. Itu akan membuatnya berlinang air mata, larut dalam kejang buncah tak berkesudahan—matanya bahkan sedikit lembap sekarang. Untung tak ada yang dapat melihat air wajahnya jelas dalam remang.

Tapi teringatlah juga bahwa dia beruntung mempunyai dua sosok lelaki yang kuat, berakal nan bijaksana. Sesungguhnya, mereka pasti mengerti dan menyerahkan segalanya pada Kesunyian Ilahi akan perjalanan Alicia Crimsonmane dalam usaha menyelamatkan dunia.

Berbicara tentang menyelamatkan dunia, mari dikesampingkan dahulu. Itu merupakan perjalanan panjang tanpa ujung yang jelas. Untuk sekarang, saatnya bersantap makan malam. []