webnovel

EARTH'S GREATEST MAGUS

Pria yang dipanggil Haddock menarik salah satu 𝘸𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 elitnya untuk menyihir isi pikiran Alicia yang terbang arwah. 𝘞𝘪𝘻𝘢𝘳𝘥 tersebut mendekatkan tongkat di pelipis perempuan tersebut lalu merapalkan mantra 𝘈𝘳𝘵𝘪𝘧𝘪𝘤𝘪𝘢𝘭𝘪𝘴 𝘥𝘦𝘴𝘪𝘥𝘦𝘳𝘪𝘶𝘮. Sontak tangan Alicia memegang Orb dan membiarkan Haddock menerima Arcane murni dalam rupa benang biru dan terajut di tongkat emasnya. Dalam sekejap Haddock memancarkan kilatan cahaya dan seluruh tubuhnya diselimuti aura biru Arcane!

Pendaran sihirnya semakin terang. Jaringan urat nadi berkilauan oleh cahaya suci. Energi sihirnya terasa lebih segar, Haddock dipenuhi hawa optimis tapi tak bobrok, tidak seperti pecandu partikel Protos.

"Agosh Grendi, apakah kau tak tahu berapa banyak tempat yang harus kami grebek, hanya untuk menemukanmu di pengadilan sihir super rahasia?" Haddock menodongnya dengan tongkat sihir sambil mengeluh.

"Grand Magus Lachlan Haddock, kepala konfederasi Magisterium Tanah sihir, 'Penyihir Terhebat di Bumi'," sahut si necromancer, "Hehehe, sungguh menyenangkan melihatmu di sini. Kalau kau mengatakan pengadilan ini adalah pengadilan super rahasia, maka mengadili gadis remaja Arcane di kantor pengadilan tengah kota bukanlah lokasi yang bagus. Bukankah kau punya markas Magisterium di atas langit?"

Haddock tertegun sebentar. "Wow, kau benar juga."

Tembakan kilat Arcane langsung menyambar Agosh Grendi, nama sang necromancer tersebut. Agosh memanggil beberapa mayat hidup untuk menjadi tamengnya tapi tembakan kilat dengan mudahnya membuat gerombolan zombi pontang-panting menjadi abu. Belum sempat bersiap, Agosh langsung dijejali ledakan-ledakan plasma lainnya! Agosh memutar-mutar tongkat panjangnya untuk menghalau serangan Haddock, namun tidak seperti punya Alicia, tembakan sihirnya lebih kuat, berat, serta tak mudah ditebak. Proyektilnya dapat mencari celah sendiri bagaikan rudal kendali. Saat Haddock melepaskan energi yang lebih besar, Agosh yang tak mau kalah mendorong tongkatnya ke depan. Tengkorak hitam legam di pangkal tongkat membuka mulutnya untuk menangkap projektil bertenaga tinggi. Dengan kerutan muka yang mulai frustasi itu, Agosh mengayun tongkatnya—menyesuaikan tubuhnya dengan gaya sihir yang berat itu--lalu melemparkan balik tembakan Arcane murni tersebut ke arah sang Grand Magus!

Sapu ajaib emasnya tertarik keluar dari rongga mulut penimbun belatung, berkat perintah tongkat jamrud biru berlapis emas milik Haddock. Sapu tersebut menepis energi plasma dengan ijuknya, menimbulkan ledakan luar biasa. Haddock ikut terdorong ke belakang. Sekarang pengadilan ini tidak begitu rahasia lagi, benar? Sapu kesayangan Haddock terlempar ke puncak undakan kursi, kehilangan daya sihirnya.

"Giliranku, giliranku, giliranku!" teriak Agosh yang mememerintah Platenix-3499 untuk memuntahkan belatung-belatung yang berpecikan ke sang Grand Magus yang baru bangun. Dengan santainya, ia mengayunkan tongkatnya dengan anggun untuk menggeser kumpulan belatung yang kerap datang. Haddock mendekati Agosh dan Platenix-3499 bagaikan seorang konduktor musik yang sedang mengendalikan irama sambil menari-nari. Gerakan tangannya sangat ulet, liukan tubuhnya tanpa cela. Kalau saja hanya ada dia seorang, pastilah yang terjadi bukan pertarungan sihir, melainkan sebuah pertunjukan balet.

Saat dirinya cukup dekat, Haddock melayangkan mantra 𝘝𝘶𝘭𝘯𝘶𝘴, menciptakan sobekan energi yang memanjang seperti tebasan pedang, menghujam Platenix-3499. Mahluk malang itu meletus tiba-tiba, akibat reaksi daya Arcane murni dan Khaos yang tak terelakkan.

Agosh menjerit nyaring, "TIDAK! BUAH KARYAKU!"

Necromancer sudah kehilangan kesabarannya. Tidak ada lagi tuan penyihir pelawak. Ia mengeluarkan sabit dari tongkatnya dan melaju ke arah Lachlan Haddock. Haddock juga sudah bersiap, tongkatnya diarahkan ke arah langit siang, yang terekspos oleh kubah yang hancur.

"𝘍𝘙𝘈𝘊𝘛𝘐𝘖𝘕𝘌𝘔 𝘛𝘖𝘕𝘐𝘛𝘙𝘜𝘈 𝘊𝘜𝘚𝘛𝘖𝘚!"

Bunyi guntur berkumandang seraya petir berwarna biru dan merah menghujam Agosh Grendi yang menggertak gigi karena geram. Agosh kembali terhempas, tapi sang Grand Magus belum selesai. Haddock menahan tongkatnya ke belakang, mengakumulasikan energi alam yang bercampur dengan Arcane, semakin lama, semakin besar, membentuk suatu bentangan yang memayungi tubuh Haddock dalam bayangan. Haddock sedang membentuk siluet burung raksasa.

Agosh berlutut sambil tertawa kencang menanti penghukuman dari pemangku Magisterium Tanah Sihir.

"Oh, itu indah sekali. Sungguh pemahat sihir yang terampil!" ujar Agosh, antara memang pujian yang tulus atau hanya sekedar celotehan sarkasme.

Namun, seluruh mata tidak bisa mengabaikan burung Arcane raksasa itu. Sayang gadis berkacamata penggila sihir tak melihat burung raksasa tersebut. Menyaksikan apa yang dapat dibuat dengan Arcane oleh seorang Grand Magus bisa-bisa membuatnya mengalami euforia.

Bertitahlah Haddock, "Agosh Grendi! Atas nama Magisterium Tanah Sihir, tindakan kejimu berakhir sampai disini!"

Ia langsung melemparkan layangan burung itu cakrawala bebas.

"𝘊𝘈𝘓𝘌𝘜𝘔 𝘗𝘏𝘖𝘌𝘕𝘐𝘟!"

"Burung yang indah! Sayang sekali aku harus meninggalkan kalian, kita akan berjumpa di lain waktu!"

Para mayat hidup di dalam ruangan berlarian menuju tuannya, memeluk dan mengerumuni sang penyihir sampai batang hidungnya pun tak tampak.

Burung yang penuh aliran rumit Arcane murni terbang menuju Agosh sambil membawa hawa Arcane yang membuat napas Khaos Agosh terasa berat. Burung phoenix menyapu bersih gerombolan mayat hidup menjadi debu kehampaan.

Agosh Grendi berhasil kabur dalam dekapan lusinan jenazah, sayangnya.

Pertandingan pelik itu terpaksa dihentikan sementara. Mereka yang selamat langsung sibuk mengumpulkan jasad korban dan membersihkan aula. Bartholomew pun mendekati bosnya yang cengengesan itu.

"Oh, Lihat, Bos. Ancaman telah dinetralisir. Terpujilah dirimu."

"Aku mungkin tidak akan bersorak, sekarang mau tak mau aku harus pergi patroli lagi—"

Bartholomew memukul kepala Haddock dari belakang.

"Awww," Haddock meringis. "Untuk apa itu?"

"Itu untuk ketidakbecusanmu, dan menumpuk pekerjaan. Sebagai imbasnya aku malah disuruh memimpin pengadilan ini dan kau menghilang begitu saja!"

"Aku sedang berburu necromancer ini, tahu!"

"Begitukah? Kau kehabisan dalil kali ini? Kau tidak bisa menipuku lagi!"

"Tapi aku memang pergi mencari dia! Mungkin salahku untuk tidak cukup cepat mengetahui lokasi dirinya, tapi bukan salahku membuat pengadilan ini menjadi rumah jagal, kau tahu?"

Bartholomew masih memendam luapan amarah kepada si Tidak Becus Haddock, namun tidak ada gunanya untuk tetap melontarkan makian setajam silet sekalipun. Toh, Haddock seolah tuli mendengarkan omelan orang. Ia memutuskan untuk mengalihkan topik.

"Kenapa tidak meminta bantuan Burung Merpati untuk melacaknya saja?" tanya Bartholomew.

"Tidak. Tidak ada lagi Burung Merpati. Kita bakal memusnahkan satu ras merpati jika begitu terus."

"Kau bercanda ya? Kau khawatir satu ras merpati punah, tapi tidak dengan semua teman seperjuangannmu yang mati dicabik-cabik mayat hari ini."

Haddock melihat sekelilingnya. Ia menghela napas.

"Benar-benar berantakan, ya? Aku mengerti kalau dirimu marah Bartholomew. Tapi aku tidak bermaksud demikian. Kita tidak perlu membuang waktu mencari burung merpati. Necromancer itu pasti akan kembali. Kita hanya harus lebih siap dari sebelumnya."

Haddock teringat akan Orb yang ia segel di dalam koceknya. Ia meraih Orb, menatapnya sebentar lalu memandang Bartholomew.

"Agosh Grendi mengincar sang pemilik sumber Arcane murni ini. Omong-omong aku belum benar-benar melihat pemiliknya. Siapa orangnya?"

Bartholomew menghela napas, "Tentu saja kau tidak membaca dokumennya. Kau selalu saja menganggapnya sepele." Wakil Magisterium mengantar ketuanya menuju Alicia yang masih terbaring pingsan.

"D-dia pemiliknya? Seorang gadis muda?" Terlihat dari matanya, sang Grand Magus memunculkan perasaan iba. "Demi Kesunyian Ilahi, dia melihat semua ini?"

"Tidak hanya melihat, Yang Terhormat Grand Magus. Perempuan dungu ini melawan necromancer itu seorang diri," tukas Kirillios yang kebetulan berada dekat mereka. Ia bersama dengan yang lain sedang sibuk mengobati Nixas, koleganya. "Remaja dungu. Selalu ingin membuktikan sesuatu."

"Apa?" nada Haddock naik setengah oktaf. Ia menoleh ke arah Bartholomew yang tak mengelak sekalipun. "Ada apa dengan kalian? Membiarkan anak kecil melawan penyihir teroris dari Benua Setan! Kalian kehilangan kesadaran moral atau apa?"

Kirillios membalasnya, "Bung, anak kecil idiot itu yang memilih untuk ikut serta dalam permainan penyihir jahanam tersebut. Kau tahu apa akibatnya? Anak buahku ini sekarat, kehilangan tangannya demi menolong gadis itu! Lalu terciptalah semua ... kekacauan ini. Sialan, kau mau yang lebih baik lagi, bung? Dialah penyebab penyihir itu datang kemari."

Nixas membujuk Kirillios untuk meredakan amarahnya, "Tuan Kirillios, tidak perlu …."

"Tidak Nixas, kau diam saja di tempat tidurmu. Dengar Grand Magus! Mungkin dirimu adalah ketua konfederasi sihir dunia. Tapi Kekaisaran Abadi tidak menghargai keteledoranmu dengan tidak hadir di pengadilan penting ini serta pemilihan lokasi pengadilan yang asal-asalan. Ini Arcane murni yang kita bicarakan, demi Kesunyian Ilahi! Kau harus memperbaiki prioritasmu, Grand Magus. Satu lagi kesalahan fatal yang memakan jiwa putra-putri Roma, maka Roma yang akan mengambil alih konfederasi dunia sihir ini! Sekarang segel bola sihir itu, dan jangan biarkan penghujat sihir ini merebutnya lagi!"

Demikianlah Kirillios, disusul dengan agen yang lain, melampiaskan semua kesalahan mereka kepada sang gadis. Alicia si penghujat sihir memang pantas menjadi kambing hitam, pikir mereka. Tidak peduli apa status sang gadis, ia telah dianggap melawan kodratnya untuk mendapatkan kekuatan sihir. Itu adalah bentuk penajisan dari sihir itu sendiri, batu sandungan bagi para praktisi ilmu mistis. Padahal selain ungkapan benci tadi, semua insiden ini terjadi merupakan manifestasi kepengecutan segenap penyihir yang hadir.

"Penghujat sihir? Gadis ini tidak bisa sihir? Astaga, kalian hanya membuat malu diri kalian sendiri," Mata Haddock menelisik Nixas yang lemah. "Setidaknya pemuda ini satu-satunya yang punya akal di ruangan ini. Kalian semua bukan orang waras."

"Jahanam. Terserah kau saja. Kami akan melaporkan semua ini ke Kekasiaran Abadi. Gadis itu adalah warga Camelot, yang mana akan menjadi tanggung jawabmu!" Kirilios dan lainnya meninggalkan mereka. Haddock dan Bartholomew saling bertatap-tatapan.

Bartholomew bertanya kepada Grand Magus, "Jadi, kau pasti punya makian terpendam untukku karena mengabaikan anak ini."

Haddock hanya mendesah, "Sudahlah, Barthie. Kita semua sama saja. Kurasa Kita beraharap menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri."

Haddock menelisik sang gadis. Ia terlihat familiar. Dimana ia pernah melihat sosok gadis ini? Disebelah Alicia, tergeletak sepasang kacamata bulat miliknya. Ia mencocokkan kacamata itu dengan wajah sang gadis. Barulah pikirannya teringat akan sesuatu.

"Tidak bisa sihir ya? Rambut merah ... Barthie, apakah ini anak Ailsa Crimsonmane?"

Bartholomew tidak menjawab.

"Sialan Barthie, kau secara sengaja ingin membunuh putri Ailsa Crimsonmane? Sekejam itukah dirimu?"

"Bilang aku bengis, tapi bola sihirnya lebih penting daripada nyawanya. Jika aku tidak bisa mengambilnya saat dia hidup, lebih baik menunggunya mati. Dan Ailsa sudah tiada. Setidaknya yang kulakukan adalah tindakan kebajikan untuknya. Anak dan Ibu, bereuni kembali."

"Memangnya para sorcerer tadi tidak ada yang dipilih Arcane? Kau tahu, lupakan saja. Bodohnya diriku berpikir mereka adalah orang terpilih,"

"Jadi, bagaimana dengan anak ini dan bola sihirnya?"

Haddock terdiam sebentar.

"Bawa keduanya ke Skycastle." []