webnovel

Perbedaan Pendapat

Setelah Adya menikmati makan malam dengan orang tua Biya, ia sempat berbincang sebentar di ruang tengah. Papa Esa dan Mama Risna hanya bertanya hal-hal umum untuk menghindari suasana tidak enak. Tepat pukul sembilan malam, Biya mengantar gadis itu kembali ke rumah kost nya.

“Makasih Kak, Adya masuk dulu.“ Gadis itu berpamitan masuk ke dalam rumah kost. Biya mengantarkan gadis itu pulang dengan hati gembira.

“Istirahat, jangan drakor terus.“ Biya menyandarkan tubuhnya di badan mobilnya untuk memastikan gadis pujaannya masuk ke dalam kamarnya. Ia cukup melihat dari kaca spion mobil kesayangannya untuk memastikan Adya masuk.

Sementara itu, di kediaman Mahesa Dipta terjadi perbedaan pendapat antara Papa Esa dan Mama Risna.

“Papa yakin? Mama masih belum percaya kalau Biya beneran cinta sama gadis itu. Bisa jadi, Biya hanya dimanfaatkan Pa!“ Mama Risna sedikit menaikkan suaranya.

“Papa yakin, dari tatapan mata dan cara Biya memperlakukan gadis itu. Kau harusnya lebih mengenal Biya daripada aku bukan?“ Papa Esa berkata yakin dengan pendapatnya.

“Papa terlalu dini menyimpulkan, pokoknya Mama mau cari tahu siapa gadis itu sebenarnya dan apa motifnya dekat dengan Biya,“ kata Mama Risna sambil berlalu dari hadapan suaminya. Ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

Mahesa sendiri memilih ke ruang kerjanya, ia akan membuka file informasi yang didapatkan dari anak buahnya. Di dalam ruangannya, ia membuka laptopnya. Mahesa merasa, ia mengenal Adya dari nama belakang gadis itu.

“Aku tidak asing dengan nama gadis itu, Adya Afrianti Noer,“ ucap Papa Esa sambil membuka file yang dikirim anak buahnya. Ia membaca satu per satu poin yang disampaikan oleh anak buahnya.

Mahesa hendak melanjutkan membaca file tersebut, namun ketukan pintu ruangan membuatnya menunda dan melihat siapa yang mendatanginya.

“Pa, Biya boleh masuk?“ Biya yang baru saja pulang mengantar Adya datang menemui ayahnya.

“Masuk, Nak.“ Papa Esa menutup file tersebut dan mempersilahkan Biya masuk.

“Papa sibuk?“ Biya menarik kursi di depan Mahesa dan duduk.

“Gak juga, kebetulan lagi mau cari buku, kamu datang. Gimana?“ Mahesa sepertinya mengerti kegelisahan anaknya.

“Biya ngerasa, kayaknya Mama kurang suka sama Adya, walaupun gak secara langsung nolak. Memang ada yang salah dengan dia, Pa?“ Biya to the point, ia tak ingin salah jalan menafsirkan sikap dan ekspresi Mama Risna tadi.

“Belum kenal aja, kamu yang sabar ngadepin Mamamu. Kan dia ngerasa ada saingan juga.“ Papa Esa tersenyum tipis. Sebenarnya sikap Biya dan istrinya tidak berbeda jauh, hanya beda versi saja.

“Terus Biya harus gimana, Pa?“ Ia terlihat bingung, tidak biasanya Biya seperti itu.

“Santai, kamu kayak gak pernah pacaran aja sih!“ seru Papa Esa sambil menahan tawanya.

“Kok Papa ketawa sih,“ kata Biya cemberut.

“Kalau kamu yakin sama gadis itu, pertahankan. Jika tidak ya lepaskan. Papa lihat, dia anak baik-baik. Bukan seperti perempuan yang kamu kencani tiap malam itu bukan?“ Papa Esa menatap Biya menyelidik, ia hanya memastikan bahwa Biya tidak hanya sekedar suka kepada teman wanitanya tadi.

“Yakin Pa, tapi Mama bikin Biya gelisah.“ Biya memijit pelipisnya. Ia masih memikirkan tatapan Mama Risna yang seakan tidak menerima kehadiran Adya.

“Sabar, kan baru satu kali bertemu. Kamu harus tunjukkan ke Mama kalau Adya layak jadi pacar kamu.“ Papa Esa berusaha menenangkan hati Biya.

“Ya udah, Biya balik ke kamar dulu. Papa jangan malam-malam, jaga kesehatan Pa.“ Biya beranjak dari duduknya. Ia keluar dari ruangan kerja Papa Esa.

Papa Esa melanjutkan membuka laptopnya, ia masih penasaran dengan Adya. Laporan dari anak buahnya membuat Ia terkejut, ternyata dugaannya benar. Adya adalah anak perempuan satu-satunya sahabat lamanya.

“Astaga, jadi gadis itu benar-benar anaknya Noer.“ Ia tidak bisa menyembunyikan rasa harusnya. Papa Esa bergegas menutup laptopnya, ia harus segera menghubungi anak buahnya untuk memastikan informasi tersebut.

Sedangkan Mama Risna, ia sedang membuka aplikasi belanja online, ia sibuk berselancar di dunia maya untuk mencari barang tertentu.

“Belum tidur, Ma?“ Papa Esa menutup pintu kamarnya dan menghampiri istrinya.

“Belum, lagi mau belanja online neh Pa. Banyak promosi,“ jawab Mama Risna.

“Mau beli apa sih? Tumben beli online?“ Papa Esa penasaran, ia ikut melihat tablet Mama Risna yang sedang memilih peralatan dapur.

“Ini ada alat buat toast baru, Pa. Beliin ya?“Mama Risna merayu sang suami.

“Cih, tumben! Biasa juga kredit card Papa dijarah,“ ledek Papa Esa. Ia terbahak-bahak dengan rayuan maut istrinya. Rasanya mereka sudah la tidak quality time bersama seperti sekarang ini.

“Ya, tapi Mama diomelin setelahnya, jadi sekarang ijin dulu biar gak Papa gak ngomel.“ Mama Risna terkikik.

Kamar Biya memang berdekatan dengan kamar orang tuanya. Biya yang sedang melamun di teras kamarnya bisa mendengar dengan jelas suara orang tuanya yang sedang bercanda.

“Astaga, mereka ini! Kupikir sudah tidur,“ omel Biya. Ia bangkit dari sofa bed lalu berjalan menuju kamar orang tuanya yang hanya dipisahkan oleh tembok dengan kamarnya.

“Ma...Pa...Biya boleh masuk?“ Biya mengetuk pintu kamar orang tuanya. Papa Esa yang mendengar Biya mengetuk pintu kamarnya membukakan pintu untuk anaknya.

“Ada apa, Bi? Tumben?“ Papa Esa melihat Biya seperti ingin masuk ke kamarnya. Biya berjalan masuk ke dalam kamar mengikuti langkah Papanya.

“Mama sama Papa bercanda gak inget anak sendirian!“ protes Biya kepada orang tuanya.

“Astaga, Biya! Kamu ini udah bisa bikin anak tapi kelakuan masih kayak gini,“ omel Mama Risna yang memprotes sisi manja anaknya. Risna tidak menyangka jika Biya tidak malu bergelayut di lengan Mama Risna.

“Tapi kan Biya pengen, Ma!“ serunya. Biya masih betah mengusel-usel lengan Mama Risna.

“Astaga, kamu itu pengen apa cepet bilang! Mama udah ngantuk ini,“ Omelan Mama Risna membuat Papa Esa tertawa.

“Kan Biya itu fotocopy Mama kalau ingin sesuatu, sama saja cuma beda bentuk,” ledek Papa Esa. Ia ikut bergabung di ranjang, mendekati anak dan istrinya.

“Biya mau pacaran sama Adya, Ma. Dia anak baik, boleh ya?“ akhirnya Biya mengatakan keinginannya.

“Kamu serius? Sudah dipikirkan semuanya?“ Mama Risna memandang sendu anak kesayangannya

“Sudah...sudah, Mama gak keberatan kan?“ Biya memastikan pendapat Mamanya.

“Yang penting dia gak manfaatin kamu, Nak. Mama ikut aja,” ucap Mama Risna.

“Makasih, Ma. Biya sayang Mama.“ Ia kembali mengusel-usel lengan Risna.

“Astaga, sudah sana, kembali ke kamarmu! Mama udah ngantuk,“ omelan Mama Risna sukses membuat Biya terkekeh. Karena sudah mendapatkan apa yang ia mau, Biya kembali ke kamarnya dengan wajah berbinar.

“Apalagi anak itu, ada-ada saja.“ Mama Risna akhirnya meletakkan tabletnya di nakas lau menutup tubuhnya dengan selimut sebatas leher. Papa Esa pun, mau tak mau mengikuti istrinya untuk beristirahat.

Sedangkan Biya, ia gelisah dengan sikap Mama Risna. Ia ingin Mamanya menerima Adya sebagai wanitanya. Berbeda dengan selama ini, Biya memang hanya bermain-main dan terkesan tidak serius.