webnovel

Mama Risna Gelisah

Mama Risna terlihat mondar mandir di dalam kamarnya, ia resah. Seperti apa wanita yang dipacari oleh Biya, ia tidak menyangka Biya bisa tertarik dengan wanita malam.

“Ma, jangan Kau mondar-mandir kayak setrikaan begitu, capek Papa lihatnya,“ Papa Esa menegurnya.

“Ish, Papa ini juga tenang-tenang saja. Dipikirkan dong anaknya!“ Risna mengomel.

“Dipikirkan bagaimana, anak sudah besar ya sudah. Tinggal diawasi, diingatkan kalau salah. Apalagi?“ tanya Papa Esa dengan nada datar seperti biasanya.

“Itu perempuan juga siapa yang dipacari Pa, udah diajak kemana-mana sama Biya. Ini gak bisa, gak bisa!“ Mama Risna terlihat sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.

“Kita undang ke rumah kalau memang Mama penasaran. Tidak seperti itu caranya,“ tegur Papa Esa.

“Ide bagus, Mama mau hubungi Biya untuk ajak pacarnya makan malam di rumah. Anak itu sudah berapa hari tidak pulang, seperti tidak punya orang tua saja,“ omelan Mama Risna membuat jengah Papa Esa. Namun pria itu terlihat lebih santai dan tidak terlalu ambil pusing urusan asmara Biya yang masih belum jelas.

“Papa sudah kasih tahu Jay, mereka masih ada meeting dengan klien. Mama tunggu Biya telepon balik,“ kata Papa Esa menenangkan istrinya.

“Ya sudah.“ Mama Risna menghentikan acara mondar-mandirnya. Ia duduk di samping Papa Esa yang sedang membaca buku.

Sementara itu, Biya baru saja menyelesaikan meetingnya dan mengantar Adya pulang ke tempat kostnya. Ia akan kembali ke kantor setelah memastikan gadis pujaannya berada di dalam kamarnya.

“Bos, Nyonya besar nanyain. Gimana?“ Dalam perjalanan kembali ke kantor, Jay mengungkapkan kegelisahannya.

“Biar aja, malam ini antar gue pulang ke rumah. Papa dan Mama pasti sudah tahu soal Adya.“ Biya tetap tenang, yang sudah-sudah Mama Risna hanya bertanya remeh temeh.

“Mau ditemani apa bagaimana?“ Jay memastikan agar Biya tidak salah bicara. Adya baru saja mau menjadi pacar bukan calon istri. Sedangkan Mama Risna sudah mengejarnya untuk segera menikah.

“Tentu, Lo harus bantu jelasin ke Mama dan Papa. Mereka pasti mendesak lagi.“ Biya memijit pelipisnya, membayangkan bagaimana cerewetnya Mama Risna.

Pada kenyataannya, mereka tidak kembali ke kantor. Telepon dari Mama Risna membuyarkan agenda Biya untuk menyelesaikan beberapa berkas yang belum ia tandatangani.

“Lebih cepat dari bayanganku, Mama selalu cerewet. Astaga, gimana caranya menjelaskan ke Adya. Jay, Lo harus bantu gue meyakinkan itu perempuan.“ Biya tidak bisa membayangkan jika Adya menolak ajakannya.

“Tenang Bos, sekarang kita hadapi Mama Risna dulu.“ Jay membukakan pintu mobilnya, mempersilahkan Biya keluar lebih dulu kemudian ia menutupnya kembali.

Keduanya sudah berada di rumah besar keluarga Dipta. Suasana ruang tamu dan keluarga masih sepi, artinya Mama Risna dan Papa Esa masih berada di dalam kamarnya.

“Jay, gue mandi dulu. Lo juga kayaknya nginep sini aja,“ kata Biya. Ia menaiki anak tangga menuju kamarnya.

“Siap Bos.“ Jay pasrah seperti biasanya, ia menuju kamarnya di dekat ruang tengah untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Mama Risna dan Papa Esa untuk makan malam.

Mama Risna dan Papa Esa sudah berada di ruang makan dengan Jay, tak lama kemudian Biya menyusul. Ia sudah lebih segar dengan pakaian santainya.

“Sini sayang, kita makan malam dulu.“ Mama Risna menunjuk kursi agar Biya duduk di sebelahnya.

“Iya, Mama sayang.“ Biya duduk di samping Mama Risna.

“Wah, menu kesukaan Biya. Makasih Mama,“ ucap Biya. Ia mengecup pipi Mama Risna sebagai ucapan terima kasih.

“Makan yang banyak, kamu kurusan lho. Lembur terus ya?“ tanya Mama Risna memperhatikan tubuh Biya yang sedikit kurus.

“Banyak proyek Ma, tapi semua aman di tangan Biya. Mama bantu doa biar lancar semuanya.“ Biya mengambil sambal kesukaannya.

“Tentu sayang. Kamu bantuin kan Jay?“ Mama Risna menegur Jay yang asyik menguliti ayam gorengnya.

“Tentu, saya setiap saat ada di samping ananda Biya. Ibu tidak perlu khawatir,“ jawab Jay meyakinkan Mama Risna.

“Jadi, wanita mana yang sudah berani ambil hati anakku, pewaris perusahaan Mahesa Dipta?“ tanya Papa Esa mengawali pembicaraan.

“Wanita sederhana Pa, cantik natural dan gak neko-neko,“ jawab Biya bangga.

“Oiya, tapi katanya kerja di cafe sama Nanda yang Mama dengar Nak. Benar itu?“ Mama Risna mulai mengorek informasi.

“Itu hanya sampingan Ma, dia kerja lain juga di mall. Biya juga gak setiap ke tempat Nanda bisa ketemu dia,“ Biya mengungkapkan yang sebenarnya pekerjaan Adya.

“Kalau begitu, bawa ke rumah. Papa mau kenalan sama pacar kamu.“ Papa Esa mewujudkan rasa penasaran Mama Risna.

“Oke, nanti Biya atur. Nanti diajak ke rumah. Ada lagi yang mau Mama sama Papa tanyakan?“ Biya seperti mau menghindari pertanyaan lanjutan dari orang tuanya. Namun, ia masih berusaha sopan.

“Kok gitu ngomongnya sayang, Mama kan hanya pengen kenal pacar kamu,“ jawab Mama Risna kalut. Baru pertama kali ia melihat Biya serius perihal perempuan.

“Iya, Mama sabar dulu. Pasti Biya ajak ke rumah.“ Percakapan mengenai Adya tertunda untuk sementara waktu karena bunyi ponsel Jay yang terus berbunyi.

“Coba angkat Jay, siapa tahu penting,” titah Mama Risna.

“Iya Bu.“ Jay meraih ponselnya yang terus berdering. Ia membuka pesan singkat yang masuk ke ponselnya lalu membaca baik-baik pesan tersebut.

Jay menutup ponselnya dan menatap Biya untuk meminta persetujuan memberi informasi kepada orang tuanya.

“Lo ngomong aja gak masalah, Papa pasti paham.“ Biya meyakinkan Jay untuk berbicara.

“Mohon maaf Pak, Bu. Ada kabar dari New York, Delisa sudah berhasil menyelamatkan perusahaannya.“ Jay menyerahkan ponselnya untuk meyakinkan kedua orang tua Biya. Terdapat informasi yang ia terima dari anak buah Papa Esa yang berada di New York.

“Anak itu tetap keras kepala, disuruh pulang susahnya bukan main.“ Mama Risna menatap nanar ponsel Jay yang menampilkan foto-foto Delisa. Anak perempuan pertama keluarga Mahesa Dipta yang memilih untuk mengejar impiannya.

“Sudah Ma, Kak Delisa sudah bahagia dengan kehidupannya. Mama doain dong,“ kata Biya protes.

“Iya, Mama selalu doain kalian walaupun Mama ini bawel. Karena Mama sayang kalian.“ Mama Risna mulai berkaca-kaca menahan kerinduan kepada Delisa. Biya yang duduk di sebelah Mama Risna mengusap-usap pundak wanita tercantik dalam hidupnya.

Setelah acara makan malam, Biya kembali ke kamarnya. Ia harus segera menghubungi Adya untuk memberi tahu.

“Belum tidur?“ Biya masih mendengar suara Adya yang sepertinya ada di luar kamarnya.

“Barusan beli sate, aku lapar belum makan.“ Adya menjawab dengan suara lelahnya.

“Ya udah, makan dulu. Kamu besok malam siap-siap yah. Kita ke rumah, Papa dan Mama mau kenalan,“ ucap Biya hati-hati.

“Hah, kenalan? Sama Mama dan Papanya Kak Biya?“ Adya memastikan apa yang baru saja ia dengar.

“Iya, kenalan sama Mama Papaku. Besok libur kan, siangan aku jemput yah?“ Biya berbinar membayangkan menggandeng Adya bertemu orang tuanya.

“Ya udah, makan malam aja kan?“ Adya menutup pintu kamarnya. Ia mengambil piring dan sendok untuk menikmati makan malamnya.

“Iya, santai cuma makan malam. Kamu habis makan istirahat,“ kata Biya lagi. Gadis itu akhir-akhir ini selalu menghantui pikirannya setiap malam.

“Baik Kak, Adya makan dulu. Bye.“ Adya mengakhiri sambungan teleponnya dengan Biya.

“Bye cantik,“ jawab Biya genit.

Di dalam kamarnya Biya tersadar, sejak kapan ia bicara dengan kata kamu aku ke Adya. Sebegitu istimewanya seorang Adya di mata Biya. Namun, Biya seperti belum menyadari sepenuhnya.