webnovel

Terlanjur Cinta.

Gadis cantik itu menitihkan air mata.

"Semua ini terasa cepat. Satu bulan berlalu dan aku lalui dengan murung," pikirnya.

FLASHBACK OFF.

Satu Bulan Yang Lalu.

Alam indah dengan pemandangan yang luar biasa, pulau Sulawesi memang sangat dekat dengan pesisir pantai. Khas Indonesia di Sulawesi Selatan. Adalah banyak orang pendatang dari macam-macam daerah.

Sungguh Maha Kuasa Allah, yang menciptakan ragam bentuk keindahan dan suku para insan, alam beserta hiasannya.

Ada Jawa Barat dengan Bahasa ngapak, Jawa timur bahasa jawa biasa, Jawa tengah dengan bahasa jawa yang kromo inggil, itulah sebutanya. Suku asli pun juga ramah dan bermasyarakat suku yaitu Bugis.

Mereka menjalani kehidupan bermasyarakat dengan Bhineka Tunggal Ika. Bersatu padu dalam Indonesia.

"Rina ... jangan manja, nanti Bunda marah," tegur pemuda tampan yang baru saja menata kayu kabar.

"Mas ... please," renggek gadis cantik berkulit putih bersih yang kecantikannya natural.

Hidup di desa dengan rumah khas Makasar.

Rina mengajak Kakanya Hafiz untuk pergi ke Pantai untuk jalan-jalan. Sebelum Hafiz pergi ke Jakarta.

"Hafiz ... turuti maunya Rina, sebentar lagi kamu akan pergi. Otomatis kamu juga akan lama pulangnya," pinta Pak Madhi, tapi Istrinya melirik dengan tatapan kesal.

"Ah ... Bunda, aku bantu bersih-bersih, nanti habis bersih-bersih aku boleh ya menikmati angin sore dan sunset," pinta Rina mengayunkan tangan Bundanya dengan manja.

"Gitu dong Rina jangan malas-malas," sahut Ayahnya sambil berdiri. Lalu pergi untuk bicara dengan istrinya.

"Dik, jangan terlalu sinislah sama Hafiz, lagian dia itu tak lama di disi, sikapmu itu terlihat jelas, dia juga memberi hartanya kepada keluarga kita, lalu apa yang membuatmu sangat membencinya, fikirkanlah," tegur Mudhi kepada istrinya.

"Sudahlah Mas. Mas itu memang sangat sayang kan sama dia? Dia hanya anak angkat. Iya oke nanti aku akan bertingkah seolah aku tak membencinya. Aku masih sakit hati atas tuduhan mbak Tia, jika aku ... ah ... percumalah." Istri Mahdi mengungkit masa lalu.

Hafiz adalah kakak sepupu Rina yang sukses kerja di Jakarta.

"Ya Allah Dik, mbak Tia kan sudah minta maaf, lagian dia sudah tidak ada, jangan membenci orang yang sudah tiada," tegur Mudhi.

"Ayah, Bunda, sudah selesai. Aku boleh pergi ya?" Rina berpamitan, Mudhi mengangguk. Rina keluar, ia membungkam rapat ketika melihat ke dua orang tuanya bertikai soal masa lalu.

"Ya Allah buka pintu hati Bunda, lapangkan fikirannya, bukalah pintu hatinya untuk menyayangi Mas Hafiz. Aku rasa lelah dengan sikap Bunda. Bunda tidak memberi contoh baik untukku. Padahal aku anak satu-satunya. Untung saja, Ayah adalah orang pengertian," gumamnya merenung.

"Rina kok melamun sih ... jadi tidak?" tanya Hafiz penasaran dengan raut wajah Rina yang sedih tiba-tiba.

"Mendung, tidak jadilah ..." Hafiz memandangi langit cerah.

"Tiada mendung, mana?" Rina mencoba mencari-cari langit gelap yang akan mendatangkan hujan.

"Mendungnya itu di wajahmu," sahut Hafiz sambil mencubit pipi Rina.

"Dua-duanya Mas, agar jadi merona tanpa pakai make up," canda Rina menarik tangan Hafiz, mereka naik Motor Matic Vario putih bergaris hitam.

Lalu berangkat, menelusuri jalanan hijau dengan hamparan sawah dan bangunan Pura. Di wilayah itu memang beragam-garam kayakinan, tapi mereka saling menghargai. Satu Indonesia.

"Mari kita buat kenangan sebelum Mas pergi, oke ..." Rina sangat semangat, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan aneh tiba-tiba muncul di benaknya, membuatnya ingin kembali pulang dan tak jadi ke Pantai.

Jarak rumah dan pantai hanya di tempuh dengan 20 menit, jauhnya 2 KM.

Hamparan bunga kuning menyebar dan menjalar di bawah tanah. Itu bunga tanaman yang bisa di makan, orang-orang menyebutnya dengan lidah bergetar. Makanan yang membuat lidah bergetar.

Mereka sampai lalu mulai masuk dan memarkirkan motor. Rina sudah tidak sabar dia turun, lalu diikuti kakaknya.

Berjalan, berlari, memercikkan air ke Hafiz. Namun, sikap Hafiz terlihat gelisah. Ia hanya duduk menikmati hembusan angin mesra, ia menikmati suara desiran ombak.

"Aku tidak tahu nanti bagaimana, perasaanku ... apa aku bisa jatuh cinta dan memberi ketulusan, Ya Allah ini adalah kehendakMu, semoga aku bisa jatuh cinta kepada Runia nanti, Aamiiin." Doa Hafiz.

"Aku sepi, sepi, sepi jika tak ada kamu.

Tapi aku tak mau mati, jadi ku ganti rindu. Aku rindu, rindu, rindu jika kau pergi ..." Rina menikmati dengan bernyanyi sesuka hati. Rina lalu menghampiri Hafiz yang masih termengu dalam lamunannya.

"Ah ... Mas ku, kangen sama Mbak Runia?" Rina duduk di batang pohon di samping Hafiz.

"Aku malah bingung lo," ujar Hafiz.

"Kalau aku bayangin seru deh. Nikah tanpa cinta. Gereget," jawab Rina. Hafiz memandangnya.

"Kamu sendiri jangan terpaku pada dia? Memang kamu masih cinta sama dia? Jangan menunggu sesuatu. Eza itu orangnya sudah cinta buta sama si Intan. Aku temannya sekelas, jadi faham betul," jelas Hafiz, Rina menghela napas dan terlihat lelah sambil menatap lautan.

"Aku masih menantinya, penantian yang sangat panjang, cintaku digantung di tengah-tengah pantai. Jika kembali tak dapat, jika maju memalukan, jadi aku tetap berada diposisiku. Di tengah, semoga saja ibarat kata ada desiran ombak yang menyampaikan jika aku tetap mencintainya, menunggunya walau melelahkan. Dan aku tak bisa mundur. Kak Eza apa kau tidak tahu jika aku mencintaimu dalam diam selama 4 tahun. Heh ... walau tiada kabar walau aku lupa tapi aku sangat terobsesi. Bagaimana aku bisa sebucin ini. Aku muak dengan diriku. Hah ...."

"Ri ... kau tetap masih akan menunggunya? Hebat kamu, ini adalah waktu yang lama. Kalau udah ada rasa, orang yang menegur pun kalah. Semoga Allah SWT, menyatukan kalian," ujar Hafiz, mencoba memberi saran agar Rina bisa melanjutkan hidup dengan orang lain. Namun Hafiz juga mendoakan agar Rina bisa bersatu, karena prihatin dengan kisah cinta pertama dari sang adik.

"Aku tahu aku bodoh. Tapi apa salah jika aku berharap dengan kekuasaan Allah, mungkin ... dia tiba-tiba datang, eh ... kemungkinan hanya satu persen. Aku saja hanya sekali berbicara denganya. Dia yang acuh. Surat cintaku pun dibuangnya. Hua ... hiks, hanya aku yang selalu memandanginya dan memperhatikannya, dari kejauhan, kisah remajaku yang tragis," keluh Rina lalu menghapus air matanya.

Ponsel Rina berdering. Ada Chat masuk dari Bunda. Rina membaca dengan suara pelan.

[Cepat pulang, Ayah pingsan.]

"Ayo cepat." Hafiz yang mendengar langsung panik.

"Iya Mas."

Mereka lari, naik motor lalu melaju dengan kecepatan tinggi karna sangat cemas.

Bersambung.