webnovel

Bertikai.

"Sayang ... ngapain sih, di sini?!" Suara tanpa permisi ada di dalam rumah Rina. "Ini lo undangannya ... bagus banget ya punya Dirga. Kenapa punya kita malah jelek," keluh Intan. Rina yang mendengar itu memastikan.

Dia tersenyum, kemudian kembali menyiapkan sarapan.

"Intan, Nak ... undangan memang penting, namun yang lebih penting itu hadirnya tamu undangan untuk mendoakan. Itukan hanya gambar."

"Bagaimana tamu bisa hadir jika undangannya lusuh seperti ini! Ini kusam!" sahut Intan sangat kasar. Ibu Susi hanya menggelengkan kepalanya.

"Intan!" Eza menarik tangan calon istrinya dan membawa keluar rumah. "Maaf Bu," kata Eza saat di tengah pintu lalu lanjut jalan ke halaman.

"Ibu, makan dulu yuk," ajak Rina mencairkan suasana.

Rina melihat ekspresi wajah Bu Susi yang terlihat sudah biasa dengan kebiasaan buruk Intan.

"Kurang seminggu lagi hari pernikahan. Memang semuanya sangat mendadak. Karena semua sudah direncanakan oleh keluarga dari Intan. Ibu tidak bisa menolah. Bundamu juga sudah setuju. Jadi Ibu tidak bisa menundanya lagi. Terlebih Ibu ingin segera menjadikanmu menantu. Belajar ya Nak," ujar Bu Susi.

Keduanya makan bersama. Sama sekali tidak menghiraukan pertikaian yang terjadi di luar sana.

Rina merasa tidak nyaman ketika dia duduk. "Bu, sebentar ya." Dia segera masuk ke kamar mandi.

"Kenapa kamu tidak bisa seperti Dirga."

"Karena aku bukan Dirga. Lihatlah aku Intan. Dirga mudah menduakan. Apa kamu akan bahagia jika hidup dengannya?!"

"Tapi Dirga selalu memberikan apapun yang aku minta. Kamu tidak Eza! Bahkan aku meminta waktumu sebentar saja kamu tidak bisa. Aku rindu sama kamu. Ingin menghabiskan waktu. Kamu selalu tidak bisa. Aku kesepian!"

"Ya karena aku mencari nafkah untuk kehidupan kita," jelas Eza.

"Harta peninggalan Ayah kamu itu cukup Eza!"

"Tapi aku ingin menafkahimu dari jeri payahku. Dari keringatku. Intan ...."

"Hah ... aku lelah. Aku ingin menggagalkan pernikahan ini."

"Jangan. Apa juga alasannya?!"

"Karena aku yakin kamu itu tidak pernah cinta sama aku, Eza. Kamu selalu seperti itu. Teman-temanku sudah bahagia dengan pasangannya."

"Intan. Hubungan itu penting. Mereka menjalani tanpa status. Apa kamu mau seperti itu?"

"Menurutku sah-sah saja."

"Astagfirullah ... sayang ... jika aku tidak cinta sama kamu, aku tidak mungkin menantimu selama ini. Selama bertahun-tahun. Aku hanya tidak memberikan yang belum jadi hakmu. Kamu meminta aku melakukannya sedang kita belum resmi. Tolong sadar Intan tinggal tujuh hari lagi. Setelah itu aku akan sepenuhnya menjadi milikmu." Suara Eza sangat memohon.

"Mana bisa ku menunggu. Kamu selalu seperti itu. Bahkan kamu selalu menuruti apa yang ibumu minta ketimbang aku! Aku lelah Eza. Dan aku sudah mengatakan berkali-kali. Buat aku bahagia. Kamu saja tidak menuruti apa yang aku inginkan, aku hanya inginkan hal itu, itu kebutuhan ku, tapi kamu tidak pernah mengerti! Dosalah apalah, selalu seperti itu alasanmu!" timpal Intan. Belum selesai berbicara suara Eza menyusul.

"Aku harus bagaimana lagi. Bukankah selama ini aku sudah memberikan segalanya juga kepadamu. Karena ibu juga letak surgaku. Aku melakukan apapun juga harus dengan ridanya. Intan, bersabarlah untukku. Tujuh hari itu bukan waktu yang lama. Sibukan dirimu dengan belanja atau apapun sesukamu. Aku mohon, jangan meminta aku melakukannya lebih dulu. Intan, kita sesama muslim di agama kita jelas itu dosa yang sangat besar. Tolong Intan, aku mencintaimu aku sungguh-sungguh mencintaimu. Percayalah kepadaku. Aku akan membuatmu bahagia seumur hidupku. Aku berjanji Intan jangan pernah meninggalkanku. Jangan menggagalkan pernikahan kita. Tolong Intan, sayang."

"Kalau begitu. Kamu nikah saja sama Rina."

"Mana bisa aku menikah dengan Rina sedang aku cintanya sama kamu. Tolong," sahut Eza yang berusaha mempertahankan Intan. "Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini Intan. Intan ...!"

"Heh ... aku sangat benci. Aku marah karena undangan ini. Dirga yang bisa membuat aku nyaman. Masalah undangan saja kamu tidak becus. Lihat nih, Dirga yang milih bagus banget. Aku malu lah sama teman-teman aku. Apa kamu tidak malu. Ha? Mana bisa kamu seperti ini. Belum jadi suami saja sibuk apa lagi ketika sudah menjadi suamiku."

"Intan ... tenangkan pikiran. Baik. Oke sayang sekarang maumu apa? Kita perbaiki undangan ayo kita perbaiki kita pilih yang lebih bagus," bujuk Eza.

"Ya jelas sudah terlambat lah, kamu ini bagaimana sih! Ha? Aku sangat kesal ya sama kamu. Heh ... aku muak! Aku lelah."

"Aku harus bagaimana agar kamu tetap tidak membatalkan pernikahan yang kita." Eza terus membujuk dengan suara yang sangat jelas terpecah.

"Ahhh! Lakukan sekarang!" Permintaan Intan itu sangat menekan batin Eza. Eza hanya diam dan terlihat berfikir.

"Nggak berani kan. Ha? Kamu sudah jelas tidak berani melakukan itu. Jangan-jangan memang kamu itu." Intan tidak meneruskan perkataannya. "Hih ... kamu itu tidak pengertian sama sekali. Bahkan untuk cium bibir pun kamu menolak. Bukankah itu tandanya tidak cinta. Ah ...!"

Bruggg!

Tarrr!

Suara pecahnya pot bunga. Rina sangat terkejut.

"Apa itu? Bungaku, apa mungkin?" Rina mencuci tangan, dia segera membuka tirai.

"Yah. Benarkan? Bungaku 'kan? Dasar kucing betina. Tidak bisa menahan hasratnya. Hih ...." keluh Rina kesal namun dia tercengang dan terbelalak.

Terlihatlah Intan menghempaskan tangan Eza. Eza berkata dengan menangis memohon kepada wanita itu. Rina sama sekali tidak bisa mendengar ucapan dari Eza. Namun, dia menyaksikan betapa pedihnya air mata Eza ketika menyakinkan Intan.

Melihat Intan yang berusaha menghindar dari Eza dan berusaha pergi. Sebisa mungkin Eza menahan wanita yang bisa membuatnya gila.

"Walaupun aku juga sakit hati karena cintaku tak terbalas. Tapi aku lebih sakit menyaksikan dia." Rina tidak ingin lagi mendengarkan semuanya.

Dia berjalan menemui Bu Susi. Ternyata calon mertuanya sedang menenangkan Eza di halaman rumahnya.

"Sayang Ibu pamit dulu," ujar Bu Susi. Rina menggangguk melihat kekacauan dan wajah lesu dari Eza. Eza berjalan ke mobil tanpa daya.

Rina mengecup punggung tangan Bu Susi. Bu Susi masuk mobil dan mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi.

"Walaupun sangat cinta dia mampu meredam nafsu syahwatnya. Dia menolak saat Intan mengajak hubungan terlarang. Aku makin kagum," gumam Rina.

Melihat bunga-bunga berserakan di tanah, Rina mengambil bunga yang mulai layu.

"Malangnya nasibmu." Rina melihat undangan yang berserakan.

"Lebih malang lagi nasib dokter itu," gumamnya. Rina pun segera mengambil pot yang lain dan menanam bunga lagi.

Suara motor itu tidak asing bagi Rina. Saat Rina menaikan wajah benar saja, Dirga sedang membonceng gadis seksi. Rina sudah terbiasa melihat itu.

"Astagfirullah ... huhu ... est ... heh! Harus bagaimana lagi ini! Aku tidak cemburu tapi ... serasa melakukan dosa. Ya Allah ...."

Bersambung...

Hai hai. Sudah Up lagi ya. Semoga suka.