webnovel

Terlahir Kembali: Dokter Genius Cantik

“Fariza… Fariza-ku yang malang. Kenapa kamu begitu bodoh?” Suara tangisan tersedu-sedu membangunkan Fariza dari tidurnya. "Di mana aku?" Yang dia ingat hanyalah dia telah memenangkan Hadiah Nobel pertama dalam pengobatan tradisional, dan tertabrak oleh sebuah truk besar saat perjalanan pulang. Kini dia mendapati dirinya terlahir kembali pada tahun 1980an di tubuh orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya. Ternyata kehidupannya sebagai Fariza yang baru saat ini ternyata sangat buruk. Dia, adik, dan ibunya diperlakukan tidak adil oleh ayah kandungnya serta keluarga dari selingkuhan ayahnya. Dengan kecerdasan dan pengalamannya dari abad 21, Fariza yang sekarang tidak takut menghadapi semua permasalahannya dan perlahan-lahan membereskannya satu per satu.

MikaZiyaddd · 都市
レビュー数が足りません
119 Chs

Pemuda Desa dan Pemuda Kota

Setelah menaiki sepeda sekitar satu setengah jam, akhirnya mereka melihat Desa Barata dari kejauhan. Fariza merasa Satria berkendara agak lambat. Jika dia yang mengayuh sepeda, akan butuh waktu kurang dari satu jam untuk tiba. Tentu saja keterlambatan ini juga berhubungan dengan Fariza yang menolong wanita paruh baya tadi.

Di sisi lain, Satria masih merasa bahwa dia tidak ingin mengayuh sepeda lebih cepat. Akan lebih baik jika mengayuhnya lebih lambat. Fariza buru-buru turun dari sepeda, "Kita sudah berada di depan desaku, kamu tidak perlu mengantarku sampai ke rumah." Setelah mengatakan itu, dia mengulurkan tangannya untuk mengambil sepeda.

Satria tidak berbicara, tapi hanya menatapnya dengan mata yang datar sambil mendorong sepedanya. Fariza berkedip sebelum akhirnya mengingat, "Kamu mengantarku kembali dengan sepedaku. Bagaimana kamu akan kembali ke kota nanti?" Kereta keledai yang mengarah ke kota sudah tidak beroperasi di jam ini.

"Aku bisa berjalan," ucap Satria dengan nada pahit. Butuh dua atau tiga jam untuk berjalan kembali! Satria tidak akan melakukan ini jika bukan karena dia ingin mengantar Fariza pulang dengan selamat.

Fariza memiliki perasaan bersalah di dalam hatinya, "Mengapa kamu tidak pergi ke rumahku dan kembali setelah makan malam saja?"

"Bagaimana, ya? Ya sudah, kalau begitu. Ayo." Satria pura-pura ragu untuk menjawab, tapi dia sangat bahagia di dalam hatinya.

Di kedua sisi jalan menuju Desa Barata ada ladang jagung yang siap panen. Sekarang saatnya memanen jagung, dan sebagian besar penduduk desa yang bekerja di ladang jagung sedang sibuk. Seorang tetangga Fariza sedang menjemput anaknya kembali dari lapangan dan kebetulan bertemu dengan Fariza dan Satria yang sedang mendorong sepeda. Dia belum pernah melihat pemuda yang begitu tampan seperti Satria. Wanita itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah Satria dan tersenyum, "Fariza, ini adalah pacarmu? Benar-benar tampan!"

"Dia buk-" Fariza baru saja membuka mulutnya, tapi Satria sudah berbicara, "Terima kasih atas pujiannya. Aku rasa anak Anda cukup pintar. Dia pasti akan diterima di perguruan tinggi terbaik nanti!"

Anaknya dipuji, jadi wanita itu menjadi sangat bahagia. Dia berkata sambil tersenyum, "Kalau begitu terima kasih atas kata-kata baikmu, aksenmu sepertinya bukan dari desa ini, benar begitu?"

"Aku dari Surabaya dan bekerja di Pasuruan." Satria menjawab dengan sopan.

Ketika wanita itu mendengar ini, dia buru-buru menarik Fariza ke samping, dan membujuknya dengan nada yang sangat meyakinkan, "Fariza, kamu benar-benar beruntung. Tidak mudah untuk bertemu pria yang baik sekarang. Kamu harus tinggal bersamanya dan berhenti main-main."

Fariza tampak tercengang. Ada apa ini? Bukankah dia jelas-jelas tidak memiliki hubungan dengan Satria? Tetapi sekarang bahkan jika dia menjelaskannya, dia merasa tetangganya itu akan berpikir bahwa dia pemalu dan menolak untuk mengakuinya. Dia sepertinya telah dijebak oleh Satria!

Setelah wanita itu pergi, Fariza menatap tajam Satria. Fariza memiliki wajah yang menawan. Saat dia menatap Satria dengan ekspresi menyebalkan, Satria, yang menatap lurus ke arahnya, merasa gatal di hatinya. Dia ingin mengulurkan tangan dan untuk mencubitnya dengan gemas.

Setelah berjalan beberapa saat, keduanya tiba di rumah. Fariza mengetuk pintu, dan neneknya keluar untuk membuka pintu. Setelah melihat Satria, dia terkejut sejenak, dan kemudian menyambutnya dengan hangat.

Jam makan menjadi tidak teratur pada saat panen. Saat Fariza masuk rumah, keluarganya sedang makan.

"Fariza, siapa dia?" Widya tidak menyangka Fariza membawa seorang pemuda ke rumah, jadi dia bertanya dengan ragu-ragu.

"Bu, ini Satria. Ada beberapa gangster yang membuat masalah ketika aku menjual apel hari ini. Dia membantuku." Agar Widya tidak khawatir, Fariza berusaha untuk tidak membuat hal-hal sebelumnya menjadi begitu menakutkan.

Setelah selesai berbicara tentang kejadian itu, Fariza memperkenalnya Satria, "Nenek, paman, bibi, ini Satria."

"Senang bertemu kalian semua." Satria buru-buru menyapa mereka, lalu berjalan ke arah Wildan. Dia menyentuh kepalanya dengan lembut.

Fariza memelototi Satria lagi, dan Satria menunduk, berpura-pura tidak melihatnya. Widya memandang Fariza dengan cemas dan lupa untuk mempersilakan mereka duduk. Wawan dengan cepat berdiri dan memindahkan bangku di belakang Satria. "Terima kasih telah membantu Fariza kami. Duduk dan makan yang banyak sekarang, nak."

Arum pergi ke dapur untuk mengambil peralatan makan, sendok dan garpu. Daging yang sudah direbus juga ditempatkan ke dalam wadah untuk Satria, dan sebuah mangkuk juga ditempatkan di depannya. "Tidak ada yang enak di pedesaan. Ini daging yang sudah nenek rebus lama. Kamu bisa mencobanya."

Fariza tiba-tiba menatap neneknya dengan marah. Dia berkata, "Nenek, nenek jahat sekali. Nenek selalu mengatakan kita tidak boleh makan daging terlalu banyak, tapi nenek memberi Satria sangat banyak sekarang."

"Hei, jangan bicara, dia adalah tamu." Lalu, Arum memandang Satria dengan hangat, "Cepat coba daging itu. Rasanya enak!"

Satria menyendok sedikit daging dan memasukkannya ke dalam roti kukus. Setelah menggigit, matanya tiba-tiba bersinar. "Nenek, ini enak, lebih enak daripada mie ayam di kota!"

Mata Arum tiba-tiba berbinar, "Apa yang kamu katakan itu benar?"

Satria mengangguk setuju, dan tiba-tiba melihat ke arah Fariza, "Fariza, kamu sebentar lagi tidak usah menjual apel goreng. Kamu bisa menjual daging rebus ini selanjutnya."

Pada saat ini, Fariza akhirnya mengerti perkataan Satria. Dia mengambil sedikit daging rebus itu dengan sendok dan memasukkannya ke dalam mulutnya, matanya bersinar. Bahkan jika dia pernah makan makanan enak di kehidupan sebelumnya, dia merasa daging rebus yang dibuat oleh neneknya adalah makanan terlezat di dunia. Kesegaran kuah kaldunya, wangi dari daging dan lemaknya yang tidak terlalu berminyak, kelezatan makanan ini tidak ada habisnya. Kalau bisa dijual, pasti banyak yang beli.

Tetapi hanya menjual daging rebus saja tidak cukup. Fariza menyarankan, "Aku akan membuat roti, lalu taruh daging di dalamnya. Jadilah roti isi daging rebus!"

"Aku pikir itu bagus. Haruskah kita menambahkan selada lagi untuk digulung?"

"Itu juga lumayan, aku suka!"

"Jika dijual 10 rupiah pasti akan disukai oleh orang banyak!"

Keluarga itu membicarakan ide-ide mereka, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka juga sedang menjadi objek yang dibicarakan orang lain. Tidak ada rahasia sama sekali di pedesaan. Setiap orang yang mengetahui sesuatu pasti akan menceritakannya pada yang lain. Terlebih sesuatu tentang fakta bahwa Fariza pulang dengan seorang pemuda tampan!

"Kudengar pemuda yang dibawa Fariza tampan. Mulutnya juga pandai memuji. Dia berasal dari kota."

"Benarkah? Wah, keberuntungan Fariza sangat bagus!"

"Benar, mungkin di masa depan Fariza akan pindah ke kota dan hidup di sana. Ah, senangnya tinggal di kota. Aku juga ingin."

Gosip ini diteruskan, dan sampai ke telinga Bu Alya, istri Pak Karno. Dia sedang mengambil air di sumur. Dia hampir menjatuhkan ember ketika dia mendengar ini. Tidak heran jika Keluarga Rajasa berani menolak Fajar sebelumnya. Ternyata ini yang sedang mereka rencanakan. Mereka tidak ingin menantu dari desa seperti Fajar.

Mengapa mereka tidak mengatakannya sebelumnya? Mengapa mereka seolah membuat Fariza menjaga jarak dari anak laki-laki di desa? Sekarang mereka justru melakukan hal memalukan. Memikirkan hal ini, mata Bu Alya memancarkan kobaran api. Dia tidak tahu apakah pemuda itu tahu apa yang dilakukan Fariza sebelumnya. Jika dia mengetahuinya, dia pasti tidak akan memperhatikan Fariza lagi dan mencampakkannya, seperti bagaimana Fariza mencampakkan Fajar.