Kantor bertingkat dengan tinggi menjulang itu nampak gagah, biasa disebut gedung pencakar langit. Fira tersenyum bangga melihatnya atas kerja kerasnya dan ayahnya meereka kini bisa mencecap hasilnya.
Pak Ferdi yang sampai tak lama setelah Fira memarkirkan mobil tersenyum, kala melihat anaknya sedang tersenyum manis menatap hasil kerja keras mereka.
"Ayo, kita masuk jangan diliatin terus nanti keburu siang." Pak Ferdi menarik tangan anaknya itu dengan lembut.
Fira tersenyum dan mengikuti langkah ayahnya memasuki gedung, kemudian mereka berjaalan beriringan untuk menuju ke ruangan masing-masing.
Sesampainya di ruangan Fira mendapati tumpukan berkas yang harus dikerjakannya. Memang ia yang minta untuk tugas hari ini seperti biasanya saja diserahkan padanya.
Sementara Pak Ferdi hanya memeriksa beberapa hasil kerja bagian menegemen kantornya. Ia heran mendapati berkas yang sedikit di meja kerjanya.
'Jangan-jangan pekerjaan kembali diserahkan pada Fira. Astaga, aku takut dia teledor dan menanda tangani surat pemindahan kepemilikan perusahaan yang tempo hari ada ditumpukan file. Pelakunya sudah jelas hanya belum bisa ditindak lanjuti.
Ia belum sempat bertemu langsung dengan Pak Andi, karena Pak Andi sibuk harus bolak-balik Indonesia-Singapura.
Pak Ferdi bangkit dari duduknya untuk menuju ke ruangan anaknya yang tak jauh dari ruangannya. Ia berjalan tergesa.
Saat membuka pintu, ia mendapati Fira tengah serius meneliti berkas yang berada di tangannya.
"Nak, apa semua kerjaan hari ini kembali dikerjakan olehmu?" tanya Pak Ferdi sambil mendekati meja kerja Fira.
"Iya, Pa. Lagian aku juga udah enggak begitu galau, kok," jawab Fira dengan nada bercanda.
"Begitu, ya ...," gumam Pak Ferdi sambil mengamati beberapa berkas yang diambilnya dari meja.
Ia meneliti satu persatu dan ternyata benar dugaannya berkas tanpa nama itu ada lagi.
"Kamu mesti lebih berhai-hati, lihatlah," ucap Pak Ferdi sambil mengambil berkas itu, memisahkannya dengan yang lain dan membukanya.
"Berkas apa itu, Pa? Kok, enggak ada subjeknya," tanya Fira heran.
"Sudah dua kali Papa menemukan berkas seperti ini di meja kerja. Isinya pemindahan saham serta kepemilikan perusahaan atas nama yang bertanda tangan di bawah ini," tutur Pak Ferdi sembari membaca berkas itu.
Fira berdiri dan ikut melihat map tanpa nama itu, membacanya perlahan. Benar saja penerima saham tersebut diatas namakan pada Revan.
"Revan?! Kok, bisa, Pa?" tanya Fira dengan nada kaget.
Tak mungkin Revan melakukan hal seperti itu, apalagi setahunya sebelum kecelakaan kekasihnya itu sedang banyak tender yang dimenangkan dengan perrkiraan keuntungan yang tak sedikit. Menembus angka miliaran.
"Enggak mungkin Reva melakukan ini, Pa. Sebelum kecelakaan tender yang dimenangkkan perusahaannya lagi banyak banget bahkan sampai miliaran," ucap Fira dengan tegas.
"Papa sudah tahu, memang bukan Revan pelakunya." Pak Ferdi mengambil ponsel dalam sau celananya.
"Lantas, siapa, Pa?" tanya Fira yang begitu penasaran dengan orang yang tega dan licik berbuat seperti itu.
Pak Ferdi mengotak-atik ponselnya, membuka vidio dan foto tentang berkas tersebut yang rupanya pelakunya adalah Anita dan Deni, sekretaris kepercayaan Fira dan Revan.
Mata gadis itu membelalak melihat kenyataan di ponsel. Rasanya ia tak ingin percaya bahwa pelakunya adalah teman kuliahnya dulu. Bahkan Anita adalah teman satu indekosnya, peranginya ceria dan energik.
"Rasanya aku tak ingin percaya dengan hal ini,' lirih Fira berucap.
Pak Ferdi duduk di kursi yang ada di dekat jendela. Menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Dunia bisnis memang kejam, musuh dalam selimut adalah hal yang paling sulit terdeteksi. Beruntung kita mengetahuinya lebih awal dan belum terlambat," tutur Pak Ferdi sambil melihat ke luar jendela.
Fira kembai duduk di kursi kerjanya sambil memegangi map tanpa nama tersebut. Ada nyeri yang begitu dalam di hatinya jika mengingat masa-masa kenangan bersama sahabatnya itu.
Mereka kuliah di salah satu universitas ternama di Bandung. Menyewa indekos berdua agar biayanya lebih ringan. Fira berasal dari keluarga berada hanya saja ia ingin mandiri dan memiliki teman. Jadilah, ia memilih indekos bersama Anita.
Sementara Anita berasal dari keluarga biasa, kadang ia telat mendapat bekal dan bayaran untuk indekosnya. Fira dengan senang hati dan tak keberatan sering kali meminjamkan uangnya pada Anita.
Selama berteman Anita orang yang baik dan menepati janji. Semua hutangnya pada Fira pun selalu dicatat dan dibayar apabila punya uang lebih. Padahal sering kali Fira menolaknya, tapi Anita tetap memaksa.
Ia selalu bilang, "Kalau hutang, ya hutang, Fir. Bisa kebawa mati, jadi ini terima ya, please ...."
Fira selalu terenyuh bila ingat kejadian itu, tak menyangka kalau sekarang prinsip hidup Anita telah jauh berubah dari semenjak kuliah dulu.
Anita cukup tertutup soal asmara. Bahkan ia mengaku tak punya pacar pada Fira, padahal dirinya tahu kalau Fira menjalin hubungan dengan Revan.
Sementara itu, di ruangannya Anita sedang mengerjakan tugasnya sebagai sekretaris. Awalnya, ia merasa bersyukur bisa mengangkat derajat keluarganya dengan penghasilan yang ia terima.
Jumlahnya cukup besar baginya dan keluarganya. Bahkan dari hasil kerjanya itu, ia bisa membeli rumah dan mobil untuknya dan orang tuanya.
Semua rasa syukur itu berubah sejak ia mengenal Deni, sebagai sekeretaris Revan. Awalnya dari saat pertama bertemu Revan, ia telah menyukainya sejak pandangan pertama. Semua tipe lelaki idamannya ada pada diri pria itu.
Mengingat dirinya juga memiliki peran penting di sebuah perusahaan, Anita tak minder dengan seorang Revan. Ia mencoba mendekati Revan secara halus. Namun, apalah daya rupanya cintanya berteepuk sebelah tangan.
Ia memang tak pernah bilang pada Fira jika dirinya menyukai Revan, tapi ketika ia tahu kalau sahabatnya itu telah menjalin hubungan asmara yang serius dengan lelaki yang dicintainya hatinya sakit sekali. Ibarat kata ditusuk sembilu, disayat silet.
Saking sakit dan haancurnya perasaannya saat itu, ia bahkan tak masuk kerja beberapa hari dengan alasan sakit.
Terekam jelas dalam ingatannya ketika Fira menyatakan hubungannya, saat itu Anita akan mengantarkan berkas pekerjaan seperti biasanya pada Fira.
"Kerjaan hari ini, Say," ucap Anita dengan riang saat memasuki ruangan Fira.
Saat itu hatinya dipenuhi bunga-bunga cintanya pada Revan.
"Nit, aku punya kabar gembira!" ujar Fira dengan begitu antusias.
"Wah, kabar gembira apa ini?" tanya Anita yang juga tersenyum semringah.
"Aku ... sama Revan udah jadian, dia kemaren lagsung ke rumah dan bertemu orang tuaku!" jawab Fira dengan begitu bersemangat.
Deg!
Seketika hati Anita bagai hancur berkeping- keping. Ucapan yang baru saja terlontar dari bibir shaabatnya itu bagai petir yang menyambar di siang bolong di telinganya. Semua persendiannya seketika lemas dan ingin rasanya ia ambruk saat itu juga.
"Se—selamat, ya, aku enggak tahu kamu suka sama Revan, sejak kapan? Bukanya waktu itu sama Adit?" selidik Anita dengan nada ceria seperti bisanya, menyembunyikan luka yang baru saja ditorehkan.