Tiga hari kemudian, mereka telah siap untuk berangkat ke Singapura.
"Kenapa mesti jauh-jauh, sih!" Protes Bu Nani ketika Pak Ferdi dan Bu Alin pamit.
"Katanya kemampuan medis di sana lebih bagus, Ma. Makanya kita coba dan semoga berhasil," ujar Pak Ferdi menenangkan ibunya.
Mereka memang tak memberi tahukan tujuan sebenarnya kepada siapapun, kecuali kepada sepupu Pak Ferdi yang akan jadi pendonor yaitu Radit. Ia tinggal di Singapura bersama istrinya yang baru dua bulan lalu dinikahi.
"Ya sudah, kalau hasil cepat pulang! Kalau tidak, cerai dan nikah lagi!" ujar Bu Nani dengan ketus.
"Iya, Ma," ucap Pak Ferdi pendek. Sementara istrinya hanya diam.
Mereka pergi menggunakan travel menuju bandara internasional. Penerbangan telah dijadwalkan jam sepuluh siang hari ini.
Butuh waktu dua jam untuk sampai di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Sesampainya di sana, mobil dan supir travel kembali ke Kota Kembang.
Pak Ferdi dan Bu Alin memasuki area bandara dan rehat sejenak di sebuah restoran. Sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat jam sepuluh siang ini.
"Jam sembilan, berarti satu jaman lagi, ya," ujar Bu Alin ketika melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.
Mereka kini duduk di meja pojok, samping dinding yang terbuat dari kaca.
"Iya, istirahat dulu sambil ngopi di sini." Pak Ferdi melambaikan tangan memanggil pramusaji dan memesan kopi.
Tak terasa 45 menit berlalu, mereka menikmati kopi sambil bermain ponsel.
"Mohon perhatiannya, penumpang Garuda Indonesia nomor penerbangan GA328 menuju Singapura mohon boarding dari pintu A12, Terima kasih."
Terdengar pengumuman panggilan penumpang. Pak Ferdi dan Bu Alin segera menuju pintu yang dimaksud untuk menunggu keberangkatan pesawat.
Perjalanan sekitar dua jam setengah menuju negara tujuan dengan pesawat.
Sesampainya di Bandara Changi Singapura, Radit—sepupu Pak Ferdi— telah menunggu.
"Bang!" panggil Radit dari kejauhan saat melihat kakak sepupunya berada diantara penumpang yang baru turun dari pesawat. Tangannya melambai-lambai menunjukan keberadaannya.
"Hei, Dit!" Pak Ferdi dan Bu Alin menghampiri Radit.
Setelah mengobrol ringan dan mengambil koper bawaan. Mereka menuju parkiran untuk ke mobil Radit.
"Kita ke rumahku dulu, Bang. Dekat, kok, dari sini," ucap Radit setelah duduk di belakang setir mobil.
"Oke, jauh tidak dari hotel tempat kita menginap?" tanya Pak Ferdi.
"Deket, Bang." Radit melajukan mobil menuju arah rumahnya yang masih di daerah Singapura ini.
Sekitar lima puluh menit perjalanan mereka sampai di depan sebuah rumah. Rumah minimalis yang nampak asri dengan taman mini yang dipenuhi bunga-bunga.
Mereka turun dari mobil dan memasuki rumah tersebut. Istri Radit menyambut hangat kedatangan mereka.
"Kenalkan, Bang, ini istriku namanya Regina." Radit memperkenalkan istrinya, Regina tersenyum ramah.
"Salam kenal, saya Ferdi ini istri saya Alin." Pak Ferdi memperkenalkan diri.
Mereka kemudian menuju ruang tengah untuk istirahat sambil mengobrol santai. Ruang tengah dengan sofa memanjang dan satu meja kaca ini terlihat sangat rapi.
"Sayang, bikinin minuman, ya," titah Radit pada istrinya dengan senyum mengembang dan suara lembut.
"Duh, pengantin baru masih hangat-hangatnya." Canda Pak Ferdi pada Radit.
"Apa, sih, Bang. Masih lebih hangat yang sudah delapan tahun, dong." Radit menimpali dengan gurauan juga.
Regina masuk dengan membawa nampan berisi empat gelas minuman. Kemudian, menatanya di atas meja.
"Bang Ferdi ke sini karena ada urusan bisnis, makanya selama mereka di sini kayaknya aku bakal banyak menemani mereka. Tak apa 'kan, Sayang?" tutur Radit lembut.
Ia memang sengaja tak memberi tahu Regina soal maksud kedatangan Pak Ferdi dan istrinya. Atas permintaan Pak Ferdi.
"Iya, tak apa. Aku ngerti, kok," jawab Regina dengan senyum tulus. Lesung pipinya menghiasi wajah cantiknya yang teduh.
Ketika menjelang sore Radit mengantarkan sepupunya itu ke hotel tempat mereka menginap.
Pak Ferdi dan Bu Alin kini telah berada di kamar hotel bintang lima. Hotel yang cukup menguras isi dompet untuk kebanyakan kalangan. Tapi, tidak untuk Pak Ferdi yang telah menyiapkan dana lebih demi memiliki keturunan.
"Mas, kamu yakin?" tanya Bu Alin ragu.
Masih ada kegamangan dalam hatinya.
"Kita sudah sejauh ini, Sayang. Tak mungkin untuk mundur. Bayangkan, sebentar lagi kamu akan jadi seorang ibu dan memiliki anak dari rahim sendiri," jawab Pak Ferdi sambil meyakinkan Bu Alin dengan apa yang akan mereka lakukan.
"Kapan kita mulai prosedur medisnya?" tanya Bu Alin lagi.
Dalam hati ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa yang ia lakukan ini demi kebahagiannya dan suaminya. Agar segera memiliki keturunan.
"Besok, Radit telah mendaftarkan kita pada seorang dokter kandungan terbaik di sini. Namanya Dokter Richard." Pak Ferdi menjawab dengan lancar dan yakin.
Rencananya benar-benar telah matang dan dipersiapkan dari jauh hari. Semua ini demi nama baik keluarganya. Apalagi ia adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga. Sementara kedua adiknya perempuan.
"Sudahlah, jangan banyak pikiran!" ucap Pak Ferdi sedikit membentak, "Cepat istirahat!"
Bu Alin yang melihat suaminya sedikit marah langsung menciut nyalinya. Ia langsung bersiap tidur dan merebahkan diri di kasur hotel yang empuk.
Pak Ferdi pun mengistirahatkan tubuhnya yang telah lelah seharian ini. Ia tidur di samping istrinya.
Matahari telah menampakan dirinya, cahaya hangatnya bias memasuki kamar hotel yang ditempati sepasang suami-istri itu.
Bu Alin bangun lebih dulu dan langsung membersihkan diri. Setelah dari kamar mandi ia membangunkan suaminya yang masih tertidur pulas.
"Mas, bangun. Sudah pagi ini." Bu Alin mengguncangkan tubuh Pak Ferdi yang ditutupi selimut tebal.
Pak Ferdi bangun dan langsung melangkah menuju kamar mandi.
Setelah mereka berdua rapi, mereka mencari sarapan di sekitar hotel. Restoran-restoran yang ada sungguh menghidangkan berbagai makanan yang menggoda selera.
Mereka menikmati sarapan dengan tenang. Baru saja makanan yang dipesan tandas, Radit menelepon dan mengabarkan dirinya telah menunggu di depan hotel untuk pergi menemui dokter.
Pak Ferdi dan Bu Alin segera menuju depan hotel. Lalu, memasuki mobil Radit. Mereka menuju rumah sakit tempat Dokter Richard praktek.
Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai rumah sakit itu. Sesampainya di sana, mereka segera memasuki area rumah sakit untuk ke ruangan dokter kandungan tersebut.
Sampai di depan ruangan praktek Dokter Richard, mereka menunggu di kursi panjang yang disediakan. Ada beberapa pasien yang datang lebih dulu.
Ada ibu hamil, ibu membawa anak, bahkan yang sepertinya masih gadis pun ada. Rupanya satu orang masuk ke dalam ruangan praktek membutuhkan waktu cukup lama.
"Lama banget, Mas." Bu Alin mulai kesal karena sudah lebih dari satu jam menunggu.
"Sabar, bentar lagi juga dipanggil." Pak Ferdi menenangkan istrinya.
"Mr Ferdi Adiyaksa from Indonesia," panggil Asisten Dokter yang keluar ruangan setelah pasien sebelumnya keluar.