webnovel

Rencana Jahat

"Biar nanti Papa cari tahu, sekarang Mama istirahat saja dulu." Pak Ferdi mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Semantara Bu Alin merebahkan dirinya di tempat tidur. Meski tak melakukan apapun rasanya ia merasa lelah dengan hari ini.

Tak lama kemudian, kantuk melanda ia tertidur di kasur besar itu.

Pak Ferdi berusaha menelpon Pak Andi, sayangnya panggilan tak kunjung terhubung. Tentu saja, karena untuk sementara waktu Pak Andi menggunakan nomor luar negeri.

"Sial, ke mana perginya orang itu!" umpat Pak Ferdi pelan, ia berada di samping jendela besar di kamarnya.

Ia menduga kalau kepergian keluarga Pak Andi pasti ada hubungannya dengan menghindari Fira. Tujuan mereka memang memisahkan Fira dan Revan, tapi bukan berarti secara paksa dan mendadak seperti itu.

Jika bisa meskipun sudah bukan pasangan kekasih lagi, mereka bisa menerima setidaknya sebagai adik-kakak.

"Jangan-jangan mereka pergi ke luar negeri?" tanya Pak Ferdi pelan, ia bertanya pada dirinya sendiri.

Menduga kemungkinan yang paling mungkin terjadi. Keluarga mereka merupakan kalangan atas, hanya sekedar ke luar negeri bukan masalah besar bagi mereka.

Kesal dengan segala praduganya yang tak menemukan titik terang. Pak Ferdi akhirnya mengikuti jejak istrinya ke tempat tidur.

Sementara itu di kamarnya Fira sedang mencoba mencari keberadaan Revan juga. Ia membuka semua media sosialnya. Siapa tahu, di antara keluarga Revan ada yang mencantumkan lokasi keberadaan mereka.

Nihil. Fira tak menemukan apapun, sepertinya kepergian keluarga Revan memang sengaja disembunyikan. Dari semua sosial media aktif yang berteman dengan Fira ststus terakhir mereka adalah saat sebelum tabrakan.

"Mengapa harus seperti ini, Ya Tuhan ...," gumam Fira yang sudah putus asa dengan pencariannya.

Nomor Revan masih sama seperti kemarin, tak aktif. Berkali-kali Fira mencoba menghubunginya jawaban operator selalu sama, tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

'Rasanya aku lelah dengan semua ini, tapi aku masih berharap banyak dengn hubungan ini.' Fira bicara dalam hati.

Ia melirik ke atas nakas yang berada di samping tempat tidur. Terdapat beberapa pigura foto di sana, ada juga foto dirinya bersama Revan saat berlibur ke Ancol.

Di kala senggang memang mereka seringkali berlibur bersama atau hanya sekedar jalan-jalan berdua.

Fira memandangi foto tersebut. Di sana ia dan Revan tersenyum lebar. Mereka begitu terlihat bahagia.

Ia tersenyum getir, kebahagiaannya itu kini tiada dan entah kapan akan kembali. Di tengah kebimbangan yang melanda hatinya tiba-tiba saja ponselnya bergetar ada pesan masuk.

Fira mengambil ponsel dan melihat siapa kiranya yang mengiriminya pesan. Tak bernama, hanya nomor yang tak dikenalnya.

Ia tak berniat membukanya, kini yang diharapkan mengiriminya pesan hanyalah Revan atau keluarganya. Ponsel itu kembali diletakannya begitu saja, tanpa berniat membuka pesan yang tadi masuk.

Di Changi Hospital, Bu Regina sedikit bisa bernapas lega. Revan telah sadarkan diri meski belum bisa melakukan apapun.

Mulutnya pun masih dipasangi alat bantu pernapasan. Hanya matanya yang bisa menatap sendu pada sang ibu. Tubuhnya masih lemas tak bertenaga. Seakan tenaganya habis selama tak sadarka diri kemarin-kemarin.

Revan mencoba megingat apa yang terjadi pada dirinya. Tapi, blank. Ia tak mengingat apapun. Hanya ada beberapa ingatan yang ada di piikirannya yaitu tentang masa kecilnya.

Di dalam ingatan itu, ia bersama seorang gadis kecil yang cantik. Gadis itu begitu periang dan murah senyum.

"Evan, ini buatmu," ucap Gadis kecil dalam ingatannya.

Ia memberikan sebuah penghapus berwarna biru. Ada gambar burung elang di penghapus itu. Revan tersenyum saat mengambilnya.

"Makasih banyak, ya, ...."

Blank, Revan tak mengingat nama gadis itu.

Tak lama kemudian, ada seorang suster yang masuk ke ruangan perawwatan Rwvan. Suster berwajah cantik berwajah Singapura itu tersenyum manis dan ramah.

Bu Regina membalas senyuman itu. Wajahnya kini jauh lebih bercahaya karena mendapatkan harapan baru soal kesembuhhan anaknya.

"Selamat pagi, Bu, Pak Revan, biar saya cek kondisinya dulu, ya," ucap Suster tersebut sambil mengecek segala sesuatu yang ada dan menempel di tubuhh Revan.

Mulai dari infus dan yang lainnya. Kemudian, ia mencatatnya di selembar kertas yang menempel pada papan berjalan yang dibawanya. Suster tersebut nampak begitu teliti dan fokus saat memeriksa.

"Semuanya sudah mulai stabil, ya, nanti siang dokter akan memeriksa lebih lanjut sambil mmberi tahu prosedur medis apa yang selanjutnya akan dilakukan." Suster tersebut memberi kabar yang membuat Bu Regina semakin lega.

Ia lalu mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan.

"Sebentar lagi kamu akan sembuh seperti sedia kala," ucap Bu Regina pelan.

Ia duduk di kursi yang berada di samping anaknya.

Pak Andi sedang tidak bersama mereka, ada hal yang mesti ia selesaikan. Soal urursan kantor yang sudah beberapa hari ini ditinggalkan.

Pak Andi pulang ke Indonesia dengan pernerbangan pesawat paling pagi. Perbedaaan waktu yang tak begitu signifikan antara Singapura dan Indonesia. Membuat perjalnan selama dua jam itu sampai pada jam delapan pagi di tanah air.

Di bandara sudah ada supir pribadi yang menunggunya. Ia langsung menaiki mobil dan melesat menuju kantor. Tak banyak yang mesti dilakukan, mungkin hanya sekedar mengecek semua yang terjadi di kantor selama beberapa hari ke belakang.

Perjalanan menuju Bandung dari bandara internasional memerlukan waktu sekitar dua jam.

"Kita langsung ke kantor saja, Pak?" tanya Pak Edi memastikan.

"Iya, Pak," jawab Pak Andi singkat.

Ia kembali melamun, matanya menerawang ke tempat di mana istri dan anaknya berada. Meski ia tahu ketika berangkat tadi Revan telah sadarkan diri.

Wajah Pak Andi terlihat sangat lelah, selama menjaga Revan di rumah sakit ia memang kurang tidur. Meskipun Revan hanya anak angkatnya tapi ia tak pernah membeda-bedakan antara Revan dan Rania, anak kandungnya.

Setelah dua jam perjalanan mobil memasuki parkiran kantor. Pak Andi segera turun dari mobil dan memasuki areal kantor. Saat berjalan ada beberapa karyawan yang menyapanya dengan ramah.

Sebelum menuju ke ruangannya Pak Andi bermaksud mengambil semua berkas yang dikerjakan sekretarisnya. Ia mendekati pintu ruangan yang tak jauh dari ruangannya berada.

"Tentu saja, Sayang, setelah persahaan itu kita amanil alih giliran yang ini yang jadi korban," ucap Seseorang yang begitu dikenal oleh Pak Andi.

Penasaran dengan obrolan orang yang berada didalam ruanagan tersebut, ia tak buru-buru mengetuk pintunya.

"Iya, dong. Jadi ribet mesti bikin lagi gara-gara berkas yang kemarin entah di kemanakan oleh si Tua Bangka itu," ujar suara wanita yang tak dikenali Pak Andi.

"Enggak apa-apa, ribet sedikit. Asalkan semuanya beres dan kita jadi kaya raya," timpal si Lelaki diiringi dengan tawa jahat nan renyah.

Pak Andi masih setia berdiri di depan pintu. Setelah itu, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu.