"Maukah kamu jadi istriku?" tanya Revan pada Fira, lelaki itu begitu berniat menjadikannya sebagai istri. Mata Revan menatap lekat manik hitam wanita di depannya, seakan terkunci di sana.
Mereka baru kenal tiga bulan lalu karena hubungan kerja antar perusahaan yang dikelolanya. Namun, sudah menemukan rasa nyaman dan merasa saling mencintai. Itulah mengapa Revan ingin segera mempersunting Fira sebagai istrinya.
"A—aku mau, asal ...," jawab Fira gugup dan menggantung ucapannya, wajah putihnya bersemu merah dengan senyum mengembang.
Fira merutuki kegugupannya dalam hati, padahal usianya sudah sangat matang untuk menuju jenjang pernikahan.
"Asal apa?" Revan penasaran dengan syarat dari calon istrinya itu.
"Sekarang kita temui orang tuaku," ucap Fira pasti.
Revan terkekeh. "Tentu, aku siap. Ayo!"
Refleks Revan menarik tangan Fira yang tadi terulur di meja. Fira tersenyum dan bangkit dari duduknya. Mereka keluar restoran dan menuju rumah Fira dengan menggunakan mobil milik Revan.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai dengan kecepatan sedang. Mobil diparkir di halaman rumah mewah yang begitu luas. Taman di halaman pun begitu indah dan tertata apik.
Revan turun dari mobil dan membukakan pintu samping mobil untuk Fira. Mereka melangkah beriringan menaiki tangga menuju teras untuk sampai di pintu utama rumah.
"Siang, Ma, Pa!" ucap Fira setengah berteriak saat memasuki ruang keluarga, suaranya begitu riang menandakan kebahagiaan hatinya.
"Loh, kamu sudah pulang, Sayang?" tanya Bu Alin—mama Fira— heran melihat kepulangan anaknya.
"Ada yang mau ketemu Mama dan Papa," ucap Fira malu-malu, tadi ia sengaja jalan lebih dulu saat memasuki ruang keluarga.
"Siapa?" tanya Pak Ferdi dan Bu Alin berbarengan.
Revan melangkah masuk dengan tenang ke ruang keluarga, nampak begitu tampan dan berwibawa. Meski dalam hati ada sedikit rasa gugup, tapi bisa disembunyikan sedemikian rupa.
"Revan? Ada apa ini?" Pak Ferdi yang mengenal Revan sebagai rekan bisnisnya di perusahaan bertanya heran.
"Boleh saya duduk?" tanya Revan sopan.
"Silakan, silakan." Pak Ferdi mempersilakan Revan duduk di sofa mewah miliknya, sementara Bu Alin ke belakang untuk menyuruh asisten rumah tangga membuatkan minuman untuk mereka.
Tak lama, Bu Alin kembali dan ikut duduk di sofa.
"Jadi begini, Pak, Bu, saya bermaksud meminang putri kalian untuk menjadi istri. Kiranya ... Bapak dan Ibu mengizinkan." Revan memulai percakapan dengan mengutarakan maksud kedatangannya.
Pak Ferdi membelalakkan mata karena terkejut, pasalnya Revan adalah pengusaha muda yang sangat sukses sekarang ini. Sungguh, keberuntungan luar biasa sedang mendatangai keluarganya. Anak semata wayang mereka dilamar pengusaha muda yang sukses.
"Jika itu yang dimaksud, saya menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Fira. Tapi, jujur saya sangat senang dan menyetujui hubungan kalian jika memang berjodoh," ucap Pak Ferdi tenang, menetralkan kembali suasana hatinya.
Bi Ijah datang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Menatanya di meja untuk dinikmati tamu dan keluarga itu. Setelah selesai, kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tangan Bu Alin merangkul Fira.
"Bagaimana, Nak? Keputusan ada di tanganmu sepenuhnya," tanya dan ucap Bu Alin lembut.
Fira tersenyum. "Aku mau jadi istrinya Revan."
"Syukurlah," ucap Pak Ferdi nampak gurat bahagia terpancar dari wajahnya.
Revan tersenyum lebar dan melirik jam tangannya. Kemudian pamit untuk kembali ke kantor. Pun dengan Fira yang mengikutinya.
Setelah kepergian Fira dan dan Revan, Bu Alin segera mengajak Pak Ferdi ke kamar mereka. Setelah masuk, pintu ditutup dan dikunci rapat.
"Pa, anak kita sudah mau menikah. Jadi kapan kamu akan mengungkap jati dirinya Fira?" tanya Bu Alin dengan wajah serius.
Mereka duduk berhadapan di sofa yang berada di bawah tempat tidur.
Pak Ferdi menautkan alisnya mendapati pertanyaan seperti itu dari istrinya, rahangnya nampak mengeras dengan raut wajah tak suka.
"Apa maksudmu bicara begitu?!" tanya Pak Ferdi dengan membentak, "Fira anakku, putri semata wayangku!"
"Kamu tak bisa menikahkan Fira, Pa." Bu Alin masih berusaha menahan emosinya, suaranya masih biasa, meski raut wajah terlihat geram pada suaminya.
"Siapa yang mesti menikahkannya! Radit yang sudah meninggal?!" Pak Ferdi berdiri dan menatap tajam istrinya, giginya gemeletuk dengan dada yang yang naik turun.
"Aku tak tahu mesti siapa, tapi yang pasti kamu bukan ayah kandungnya!" Bu Alin bicara dengan setengah berteriak.
"Kamu mau buat aku malu, hah! Mana mungkin anak semata wayang keluarga Ferdi Adiyaksa dinikahkan oleh orang lain. Nanti apa kata orang, Ma, apa ...!" Manik hitam Pak Ferdi memerah, tangannya mengepal seakan hendak melayangkan tinju. Emosinya semakin memuncak.
Bu Alin mulai meneteskan air mata, masa lalu mereka yang membuat Fira hadir dengan cara yang tak biasa, menghadirkan tanda tanya besar saat ini. Mereka bukan keluarga yang ahli agama hingga tak begitu paham soal hukum anak yang lahir dengan cara seperti putri semata wayangnya itu.
Hal yang pasti diketahui Bu Alin adalah jika Fira bukan anak kandung suaminya. Jadi, tak bisa dinikahkan oleh suaminya. Hanya itu.
"Bukankah Papa yang sudah janji akan memberitahu rahasia besar ini pada Fira! Ini saatnya, aku tak rela bila anak kita pernikahannya tak sah!" bentak Bu Alin dengan air mata berurai, bibirnya bergetar dengan tangan memegang dada.
Ia tak pernah bicara kasar apalagi sampai marah-marah seperti ini pada suaminya. Kali pertama yang begitu menguras emosinya hingga berani pada Pak Ferdi.
"Atau ... kalau Papa tidak mau memberi tahu Fira, biar aku saja," ujar Bu Alin pelan namun sorot matanya tajam memandang Pak Ferdi.
"Awas, jika kamu sampai berani bicara pada Fira! Kamu dan Fira akan menerima akibatnya!"
Bugh!
Pak Ferdi melayangkan tinjunya pada tembok kamar mereka. Kemudian, menatap tajam Bu Alin.
Bu Alin terhenyak melihat sikap suaminya. Matanya melotot tak percaya dan tangannya memegang dadanya.
"Kamu ingin bilang Fira bukan anakku 'kan! Oke, maka aku tak akan memedulikannya dan dia juga akan menderita karena ulahmu!" bentak Pak Ferdi sambil mencengkram pipi Bu Alin dengan tangan besarnya.
Bu Alin sedikit meringis karena kencangnya cengkraman suaminya itu.
Bu Alin tak dapat berkutik, hanya air mata yang mengalir deras. Jika hanya dirinya yang diancam ia tak peduli dan akan tetap memberitahukan jati diri anaknya. Tapi, jika Fira juga akan menerima akibatnya sungguh tak sanggup melihat.
Fira anak semata wayang kesayangannya yang lahir dari rahimnya sendiri.
Pak Ferdi menghempaskan wajah istrinya kemudian berjalan keluar kamar. Pergi tanpa tujuan dan arah. Yang pasti, ia ingin mendinginkan hati dan pikirannya yang panas dan kalut.
Bu Alin terduduk di lantai, sakit dalam dadanya begitu kentara. Air mata mengalir dengan deras dari kedua matanya. Isak tangisnya terdengar keras. Namun, tak ada yang berani mendekati apalagi memasuki kamar untuk menenangkan dan merangkulnya.
"Kenapa semuanya mesti jadi begini!" pekik Bu Alin.