webnovel

Penghapus Selina

Tepatnya di daerah ibu kota Singapura. Perjalanan tak memakan waktu lama untuk sampai ke hotel yang dimaksud.

Bu Alin serasa bernostalgia ketika melewati jalan demi jalanan menuju hotel. Negara itu telah banyak berubah sejak terakhir kali ia ke sana 27 tahun yang lalu.

Setelah satu jam perjalanan mereka sampai di hotel yang telah dipesan Fira dari ponsel sebelumnya. Tempatnya dekat dengan rumah sakit yag nanti akan dikunjungi oleh mereka.

Bu Alin terkesiap melihat bahwa hotel itu adalah hotel yang ditempatinya dulu. Hanya ada beberapa pemugaran di beberapa sisi tapi ciri dominan dari hotel tersebut masih sama.

Benar-benar seperti de javu, yang dialami oleh Bu Alin. Fira dengan bersemangat turun dari mobil dengan menarik lengan ibunya. Ia sudah tak sabar untuk memasuki hotel dan beristirahat sebentar. Kemudian nanti, ke rumah sakit menjenguk Revan.

Andai ia pergi sendiri, tak akan beristirahat dulu dan akan langsung ke rumah sakit. Hanya saja karena Bu Alin mengeluh pusing dan ingin tidur sebentar, akhirnya ia mengalah dan menuruti keinginan ibunya.

Ketika memasuki lobby hotel, Fira terkesima dengan suasana hotel yang terkesan mewah. Ia melihat ke sekelilingnya dengan takjub. Tiba-tiba ia tak sengaja menabrak seorang wanita.

"Aduh, maaf saya nggak sengaja!" ucap Fira sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Tidak apa-apa," jawab Wanita tersebut dengan senyum tulus.

Fira membalas senyuman wanita tersebut. Kemudian, mengikuti ibunya yang sudah berada di depan resepsionis hotel.

Setelah mendapat key card hotel, mereka pun menuju ke kamar yang berada di lantai lima. Sesampainya di kamar, Bu Alin bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sementara itu Fira menatap suasana di luar hotel lewat jendela. Terlihat lalu-lalang orang dan bangunan-bangunan megah pencakar langit. Ia sangat terkesan dengan negara Singapura itu. Padahal sudah sering ke negara-negara lain di Eropa.

Entah mengapa baginya negara tersebut nampak nyaman untuk ditinggali. Mungkin karena ia sebenarnya dulu diproses di negara itu.

Selesai dari kamar mandi Bu Alin berganti baju dan bertanya pada Fira, "Apa kamu senang, Sayang?Berada di sini."

"Tentu saja, Ma. Padahal aku sudah sering ke negara lain tapi entah mengapa rasanya nyaman berada di sini. Seperti kembali ke kampung halaman," jawab Fira sambil terkekeh.

Ia merasa itu lucu karena kampung halamannya di Indonesia. Belum pernah juga ke Singapura sebelumnya.

Dalam hati Bu Alin merasa kaget dengan jawaban Fira. Seperti ada ikatan batin antara anaknya dan negara tersebut.

'Andai kamu tahu, Nak. Kamu memang berasal dari sini,' batin Bu Alin.

Bu Alin yang telah berpakaian rapi, kemudian menjatuhkan bobotnya di tempat tidur hotel tersebut. Kasur empuk itu membuat dirinya merasa mengantuk dan akhirnya terlelap.

Sementara itu Fira masih asik menikmati suasana pemandangan luar hotel. Ia melihat satu bangunan tinggi yang nampak begitu gagah, tertulis juga di sana Changi Hospital yang merupakan rumah sakit terbesar di ibu kota tersebut.

Oh berarti di sana Revan dirawat dan aku akan kesana gumam Vira telan

Ia melihat ibunya yang tengah terlelap, memperkirakan kapan ibunya itu akan bangun. Kemudian, menimbang akankah ia mesti pergi sendiri atau menunggu ibunya bangun. Tapi, sepertinya lebih baik jika pergi bersama ibunya.

Fira pun akhirnya ke kamar mandi juga untuk membersihkan diri sembari menunggu ibunya bangun. Selesai dari kamar mandi, rasa kantuk tak kunjung datang padanya. Malah ia semakin terjaga dan segar, padahal biasanya ia yang paling gampang tidur setelah perjalanan jauh.

Ia memilih baju yang sekiranya pantas dan sopan untuk bertemu keluarga Revan. Lalu, berdandan dengan cantik agar terlihat lebih segar dan memesona.

Setelah selesai berdandan ia hanya memainkan ponselnya. Tanpa mau membangunkan ibunya, tak enak jika memaksa ibunya untuk bangun hanya karena ingin segera bertemu kekasihnya. Membayangkan akan segera bertemu Fira senyum-senyum sendiri.

Ia berharap pertemuannya berjalan lancar dan ibu Revan telah bisa menerimanya sebagai orang yang dicintai anaknya.

'Semoga Tante Regina menerimaku dengan baik seperti pertama kita bertemu,' gumam Fira dalam hati.

Sampai saat ini ia belum mengetahui alasan pasti kedua orang tua mereka tak merestui hubungan mereka. Padahal awalnya ibu Revan maupun ayahnya seperti tak keberatan dengan hubungan itu. Tapi semuanya berubah sejak makan malam keluarga tempo hari.

Sementara itu, di kamar rawat Revan sedang berkumpul keluarga Pak Andi. Ditambah dengan wanita cantik yang baru saja tiba karena diundang Bu Regina tempo hari untuk datang menjenguk Revan.

"Siang, Tante, Om. Juga Revan dan ...," sapa Selina ramah.

Ia bingung saat melihat gadis yang berada di sebelah Bu Regina. Karena dulu saat Revan pergi, ia masih anak tunggal.

"Ini Rania, Sel. Adiknya Revan satu-satunya," ucap Bu Regina memperkenalkan.

"Salam kenal, Rania," ujar Selina disertai senyuman.

"Salam kenal juga, Kak Selina," kata Rania dengan ramah.

"Kamu cantik sekali, seperti Tante Regina," puji Selina pada Rania.

"Wah ... makasih banyak loh, Kak. Tapi, Kakak entah orang ke berapa yang bilang aku cantik, jadi enggak dapat hadiah ya ...," cerocos Rania disertai tawa karena hanya sekedar bercanda.

Selina terkekeh dibuatnya, rupanya adik Revan ini sifatnya berbanding terbalik dengan kakaknya. Dari gesture tubuh dan cara bicara, ia sudah dapat menebak karakternya. Maklum, dia juga pernah belajar psikologi di kedokteran. Hingga akhirnya bisa jadi seorang perawat yang berpengalaman.

Selina kemudian mendekati tempat tidur Revan. Lelaki tampan itu masih harus lebih banyak diam di sana. Ia masih membutuhkan infus untuk menopang kehidupannya. Hanya saja kini frekuensi pusingnya sudah berkurang. Sedikit demi sedikit puzzle masa lalunya tersusun dalam ingatan.

Selina duduk di bangku yang ada di sebelah tempat tidur. Ia menatap kedua netra Revan lekat. Lelaki itu melakukan hal yang sama menetap gadis cantik di depannya mencari potongan masa lalu.

Mencari kebenaran tentang apa yang ibunya katakan bahwa ia begitu mencintai gadis itu.

"Hai, Revan. Masih ingat aku?" tanya Selina ramah dengan senyum mengembang.

Revan mengakui gadis di hadapannya itu cantik, bahkan sangat cantik. Tapi, beberapa saat menatap ia tak menemukan rasa yang ia cari. Hatinya seakan menampik kalau Selina-lah yang dulu mengisi hatinya.

"Siapa?" tanya Revan polos.

Ia tak menemukan gadis itu di masa lalunya. Namanya pun tak ia temukan.

"Selina, penghapus kecil di TK, kita sering main kejar-kejaran di taman rumahmu yang luas dulu." Selina menjelaskan sedikit tentang masa lalu mereka ketika kecil.

Revan nampak tersenyum saat Selina menyebutkan penghapus. Ia ingat penghapus itu, tapi kenapa hatinya begitu ragu jika Selina adalah gadis yang dicintainya.

"Ya, aku ingat soal penghapus itu. Jadi, kau ... Selina," ucap Revan dengan senyum tipisnya.