webnovel

Nostalgia Pak Denis

Sifatnya begitu bersahaja dan sederhana. Banyak murid yang nyaman berkonsultasi masalah dengannya. Apalagi Pak Denis tidak pernah menghakimi, nasehatnya begitu bijak dan dapat diterima dengan baik.

"Bagaimana kabar, Bapak? Maaf, saya lama tak ke sini," tanya Pak Ferdi basa-basi, dengan senyum tipis.

"Seperti yang kamu lihat, aku masih bugar meski kata orang umurku ini sudah pantas pensiun, haha," jawab Pak Denis dengan diakhiri tawa renyah.

"Syukurlah, Pak. Jadi, saya tak perlu mengkhawatirkan Bapak." Pak Ferdi menatap dosennya itu dengan tatapan heran.

Sejak dulu Pak Denis selalu nampak bugar dan seperti tak ada masalah. Entah apa rahasianya bisa setenang itu. Padahal pada saat Pak Ferdi kuliah, dosen berkompeten itu pernah difitnah oleh temannya sendiri. Tapi, ia menghadapinya dengan tenang. Terbukti sekarang siapa yang bertahan dengan nama yang tetap harum.

"Tak perlu ada yang dikhawatirkan soal hidup, toh, semuanya sudah ada yang atur. Benar, kan?" Pak Denis berkata dengan senyum yang tak pudar dan bersahaja.

Air mukanya begitu tenang, seperti tak ada beban sedikitpun.

"Be—benar, Pak," jawab Pak Ferdi gugup. Belum apa-apa, seakan ia telah disindir oleh gurunya itu. Ia merasa sendiri, menghadapi masalah sendiri.

"Jadi, ada apa ke sini, Nak?" tanya Pak Denis lembut.

Benar-benar seperti seorang ayah yang bertanya pada anaknya. Seorang ayah yang mengerti tentang kondisi anaknya.

Pak Ferdi menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Saya merasa sedang menghadapi masalah besar, Pak," jawab Pak Ferdi lirih.

Berat rasanya hanya untuk menceritakannya, tapi juga terlalu sakit bila ditahan sendiri. Masalah yang menurutnya besar dan begitu menyakitkan.

Pak Denis diam, menyimak perkataan selanjutnya yang akan diucapkan oleh muridnya itu.

"Saya terjebak masa lalu, akibat perbuatan saya sendiri." Suara Pak Ferdi seakan tercekat di tenggorokan.

"Sa—saya ini mandul, Pak. Tapi, saya tak berani mengakuinya pada keluarga besar saya terutama pada ibu. Apalagi karena saya anak lelaki satu-satunya," tutur Pak Ferdi sambil menunduk.

Ia menengadahkan kepalanya. Menatap langit-langit untuk sedikit merilekskan diri dan melanjutkan cerita.

"Saya nekad melakukan prosesi medis donor benih di luar negeri untuk mendapat keturunan. Dan sekarang anak itu telah gadis dan dewasa, ia baru merasakan cinta pertamanya. Tapi, takdir seakan hendak menghukumku. Anak itu jatuh cinta dengan saudara se-ayahnya." Pak Ferdi menghentikan ceritanya ia ingin mendapat setetes air nasehat yang dapat menenangkan dan menyejukkan hatinya.

"Kamu sudah melangkah terlalu jauh, Nak. Allah memintamu kembali. Agamamu masih Islam, kan?" tanya Pak Denis dengan senyum.

"I—iya, Pak, masih." Jawab Pak Ferdi gugup.

Apa yang dikatakan gurunya benar, ia melangkah terlalu jauh. Bahkan hampir merasa sendiri. Merasa sunyi di keramaian. Merasa hampa di tengah kehangatan keluarga.

"Allah hanya memintamu kembali. Berpegang padanya, biar dia yang selesaikan. Kamu ingat, dulu Bapak difitnah oleh kawan sendiri dan hampir dipecat secara tidak hormat," tutur Pak Denis memberi sedikit demi sedikit asupan nutrisi ke hati Pak Ferdi.

Pak Ferdi mencoba mengingat kejadian yang sudah berlalu puluhan tahun silam itu.

Pak Denis adalah dosen muda yang cerdas dan disenangi banyak mahasiswa maupun mahasiswi. Ia bersahabat dengan Pak Edi, sesama dosen yang baru mengabdikan diri di kampus tempat mereka mengajar.

Selang beberapa bulan, ada seorang gadis manis nan cerdas yang menjadi asisten dosen senior. Ia masih menempuh kuliah S2 di sebuah universitas.

Pak Denis dan kawannya itu sama-sama menaruh hati pada gadis bernama Alia itu.

'Bu Alia,' begitu para dosen dan murid biasa memanggilnya.

Rupanya Bu Alia ini lebih menaruh hati pada Pak Denis, yang punya rasa malu dan lebih bersahaja. Pun dengan Pak Denis yang telah jatuh hati padanya.

Pak Edi merasa tak terima kalah saing dengan temannya itu. Ia membuat fitnah, jika Pak Denis melakukan perbuatan asusila dengan muridnya sendiri. Tujuannya agar si murid mendapat nilai baik.

Fitnah keji itu diperkuat dengan pengakuan seorang gadis, yang memang terkenal dengan nilainya yang selalu di bawah rata-rata.

Gadis yang sudah kecanduan narkotika tersebut tak mampu menolak tawaran Pak Edi. Ia tergiur dengan bayaran besar, tentunya untuk membeli barang haram yang sudah hampir setahun ini rutin dikonsumsi.

"Pokoknya nanti kamu harus mengaku, ya," tegas Pak Edi pada gadis itu.

Gadis itu mengangguk. Ia bukan dari kalangan orang susah, tapi perceraian dan pertengkaran orang tuanya membuatnya tak memiliki pegangan hidup. Pak Edi yang tahu pasti kondisi gadis itu memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Pak Denis.

Saat itu, Pak Denis hampir saja menyerah. Sekuat apapun ia berkata tidak. Bukti yang dimanipulasi oleh Pak Edi begitu kuat. Hingga rasanya tak mungkin fitnah itu bisa dipatahkan.

Di titik terlemah dalam hidupnya itu, hampir saja mPak Denis menyerah. Ia rasanya sudah tak punya muka untuk pergi ke kampus tempatnya mengajar. Setiap ia berjalan, bisik-bisik orang yang membicarakannya seakan terdengar jelas di telinga Pak Denis.

"Aku percaya kamu tak seperti itu, kamu hanya sedang dipanggil karena telah melangkah terlalu jauh," ucap Bu Alia kala itu.

Hanya asdos cantik itu yang mempercayainya.

"Bagaimana bisa kau begitu percaya padaku?" tanya Pak Denis yang sudah tak percaya pada siapapun.

"Kamu terlalu senang dan bangga dengan dirimu, lalai dengan kewajiban, dan sudah melangkah terlalu jauh dari Tuhan, ia hanya ingin kau kembali," jawab Bu Alia, suaranya mengalun merdu bagai oase di tengah Padang pasir.

Pak Denis tak masuk ke kampus beberapa hari. Ia mengambil cuti. Selama itu, ia menghabiskan waktunya untuk merenung. Tentang dirinya, segala kekurangan yang ada pada diri. Dilihat sekilas, orang akan menyangka hidupnya begitu sempurna dan merupakan pria idaman.

Pandangan orang hanya sawang-sinawang, hanya melihat sekilas dan merasa menginginkannya. Padahal ketika ditelaah Pak Denis menangis terisak-isak di atas hamparan sajadahnya. Benar, apa yang dikatakan Bu Alia, ia sudah terlalu jauh melangkah.

Akhirnya, Pak Denis berusaha pasrah dengan takdirnya kalaupun harus keluar dari universitas ternama itu dengan cara tak hormat. Tapi, takdir menemukan jalannya kebahagiaannya sendiri, semua bukti yang dilayangkan Pak Edi untuk menjatuhkan dirinya patah dengan berbagai cara tak terduga.

Akhirnya, Pak Edi menanggung buah dari perbuatannya sendiri. Ia merasakan apa yang Pak Denis rasakan. Digunjing, setiap melangkah. Seakan semua orang menatapnya sinis dan benci karena fitnah yang ia sebar sendiri.

Tak kuat menanggung malu, Pak Edi akhirnya keluar sendiri dari universitas. Tinggallah Pak Denis dan Bu Alia yang menjalani kisah kasih yang sempat tertunda.

Tapi Bu Alia telah berpulang dengan damai, meninggalkan Pak Denis dengan seribu kenangan manis. Takkan tergantikan.