"Enggak apa-apa, ribet sedikit. Asalkan semuanya beres dan kita jadi kaya raya," timpal si Lelaki diiringi dengan tawa jahat nan renyah.
Pak Andi mash setia berdiri di depan pintu. Setelah itu, terdengar suara langkah kaki mendekati pintu.
Ia segera berjalan cepat menuju ke ruangannya. Berada tak jauh dari ruangan tersebut. Berdiri di dekat pintu ruangannya yang sedikit terbuka.
"Oke, kalau begitu aku pergi dulu, ya, Sayang," ucap si Wanita yang sepertinya memiliki hubungan spesial dengan sekretaris pribadi Pak Andi.
"Hati-hati di jalan, ya, Cintaku." Balas sekretaris Pak Andi.
Setelah wanita itu pergi, sekretaris Revan tersebut masuk ke ruangannya. Ia merupakan teman Revan semasa kuliah.
Pak Andi kemudian keluar dari ruangannya untuk menemui Deni.
"Den," panggil Pak Ferdi saat memasuki ruangan kerjanya.
"I—iya, Pak," jawab Deni gugup, "Ba—bapak sudah pulang dari Singapura?"
"Iya, ini baru saja sampai. Saya mau minta laporan selama saya dan Revan tidak di kantor," jawab Pak Andi pada Deni.
Deni nampak pucat dan gugup. Namun, sebisa mungkin ia mencoba menguasai diri dan bersikap tenang.
Ia mengambil berkas yang sudah disiapkannya di laci meja kerjanya. Pak Andi menerimanya dengan sikap biasa saja, berpura-pura tidak tahu bahwa tadi ada orang lain di ruangan tersebut.
"Terima kasih." Pak Andi langsung pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Deni menarik napas lega. Ia pikir bahwa boss-nya tadi tak mndengar percakapannya dengan pacarnya tadi.
Pak Andi memasuki ruangannya kembali, ia duduk di kursi kerjanya. Menyimpan berkas di atas meja kerja.
"Rupanya ada hal yang disembunyikan Deni dan akan membahayakaan kantor ini. Kau takkan bisa bermain-main denganku," gumam Pak Andi pelan.
Ia membuka berkas yang tadi diterimanya. Memeriksa semua yang tertulis di sana. Hampir tak terlihat kesalahan apapun di berkas tersebut.
Pak Andi kemudian menelepon Elia bagian keuangan untuk ke ruangannya. Setengah jam kemudian orang yang dipanggilnya datang. Ia membawa beberapa berkas yang diminta Pak Andi.
"Ini laporan keuangan selama enam bulan ke belakang, Pak," ujar Elia sambil menyerahkan tumpukan berkas yang dibawanya.
"Baik, terima kasih," ucap Pak Andi pendek.
"Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, ya, Pak," pamit Elia pada boss-nya tersebut.
Pak Andi mengangguk pelan. Elia berlalu ke ruangannya.
Ia kemudian mencocokan laporan keuangan dari Elia dengan laporan yang diterima dari Deni selama enam bulan ke belakang.
Rupanya banyak kejanggalan yang terjadi. Bahkan perbedaannya sangat jauh. Selain ingin memiliki perusahaan dengan cara licik, rupanya Deni telah lama mengeruk keuntungan gelap dari perusahaannya.
Pak Andi mengembuskan napas kasar. Sayang sekali, tadi ia tak melihat tadi siapa wanita yang bersama Deni.
"Aku harus segera membereskan orang itu," gumam Pak Andi dengan penegasan.
Ia mengepalkan tangannya, setelah semua data dimasukan ke dalam tas kerjanya. Pak Andi keluar ruangan.
Baru saja keluar ruangan ia berpapasan dengan Deni yang juga baru keluar.
"Siang, Pak," ucap Deni dengan wajah dibuat semanis mungkin.
"Siang, Den. Mau ke mana?" tanya Pak Andi tanpa menunjukan sedikitpun rasa kesal di dadanya.
Andai Deni bisa melihat isi hati bos-nya tersebut pastilah ia sudah sangat malu.
"Mau makan siang, Pak. Bapak mau ke mana?" tanya Deni kembali dengan sok akrab.
"Saya ada urusan lain. Tolong kamu urus perusahaan dengan baik, ya," jawab Pak Andi dengan disertai senyum tipis.
Deni mengangguk dengan senyum licik. Pak Andi melenggang pergi tanpa memberi tahu tujuannya.
Fira sedang berada di kantornya. Terlihat kantung mata yang sedikit menghitam di bawah matanya. Semalaman ia tak bisa tidur dan menangis hampir setengah malam.
Tapi pagi hari ia memaksakan diri ke kantor. Percuma, di rumah pun ia terus saya memikirkan Revan yang kini keberadaannya tak diketahuinya.
Ruangan ber-AC yang dingin itu semakin membuat hati Fira membeku. Jangankan mengerjakan pekerjaannya untuk memegang ponsel saja ia tak memiliki tenaga.
Fira hanya duduk melamunsambil menatap jendela ruangannya yang besar. Ia bisa menikmati pemandangan yang indah dari jendela tersebut, ruang kerjanya berada di lantai empat.
Sesekali ia melihat ke bawah, nampak mobil-mobil terlihat begitu kecil. Fira menajamkan penglihatannya setiap kali melihat mobil hitam yang hampir mirip dengan mobil Revan.
Setelah itu ia akaan kembali kecewa karena setelah diperhatikan itu bukanlah mobil Revan. Entah mengapa Fira begitu berharap Revan menggunakan mobilnya. Padahal ia tahu mobil kekasihnya itu telah hancur saat tabrakan.
Sementara itu, di ruangannya, Pak Ferdi sedang sibuk dengan tumpukan berkas. Ia sengaja menyuruh asistennya untuk memberi semua tugas pekerjaan padanya. Tentunya karena keadaan anaknya yang tak memungkinkan.
Seorang gadis cantik meminta izin memasuki ruangan. Pak Ferdi segera menyuruhnya masuk.
"Maaf, Pak, masih ada berkas yang masih ditanda tangani," ucap Anita lembut pada atasannya itu.
"Oke, simpan saja di sini." Pak Ferdi menunjuk bagian meja yang kosong.
Anita segera menyimpan berkas-berkas yang tadi dibawanya. Kemudian, pamit kembali ke ruangannya.
Pak Ferdi masih sibuk dengan pekerjaannya yang sebelumnya. Ia tak melirik sedikitpun pada tumpukan berkas yang baru saja di simpan Anita.
Tiba-tiba di berkas paling akhir yang diperiksa, ia kembali menemukan map biru yang tak bernama. Map-map yang lain memiliki judul soal isinya. Tapi, map terakhir itu kosong.
Hampir saja Pak Ferdi menanda tanganinya tanpa memeriksa terlebih dahulu.
"Map biru tanpa nama ini lagi, untung semua pekerjaan sedang aku handel. Bisa gawat kalau ini tadi dikerjakan Fira," gumam Pak Ferdi sambil membuka map tersebut.
Ia adalah orang yang teliti dan terencana, itulah yang membuatnya tak mudah dibohongi apalagi dengan cara murahan seperti itu. Perusahaan yang diakui milik keluarganya pun bisa maju pesat saat di tangannya.
Lawan bisnisnya tak pernah berhasil saat ingin membuatnya jatuh dengan cara licik sekalipun.
"Lagi-lagi atas nama Andi Aditya, sebelumnya Revan," gumam Pak Ferdi pelan.
'Apa karena Revan sakit jadi diambil alih oleh Andi,' ucap Pak Ferdi dalam hati.
Kali ini ia mesti menanggapinya dengan serius. Bisa gawat jika sampai Fira yang menanda tanganinya tanpa sadar.
Berkas itu sah dan bisa dibawa ke meja hukum jika sudah ditanda tangani.
"Apa mungkin Pak Andi menggunakan cara rendahan seperti ini?" Pak Ferdi bertanya pelan.
Ia merasa mana mungkin orang terpelajar seperti Pak Andi dan Revan menggunakan cara licik dan rendahan seperti itu. Setidaknya ada cara yang lebih halus dan licik dari itu.
Seperti dulu, Pak Ferdi pernah mengalami saat masih memegang perusahaan orang tuanya. Ia diajak pesta dan karaokean di sebuah bar ternama. Mereka semua mabuk-mabukan kecuali seorang kawan baiknya.
Menyadari ada di antara mereka yang tak menenggak minuman keras itu sedikitpun. Pak Ferdi segera menelepon supirnya untuk masuk ke ruangan karaoke.