"Aku istirahat dulu, ya, Oma, Ma. Lelah rasanya," ucap Fira, kemudian melenggang pergi memasuki kamarnya yang berada di lantai dua.
"Oh, iya, Ma. Bangunin aku buat persiapan ya, takut kebablasan!" ucap Fira setengah berteriak di tengah tangga.
"Iya, Sayang." Bu Alin menimpali ucapan anaknya.
Setelah dijawab, Fira melanjutkan langkahnya ke kamar.
"Lin, panggil pegawai salon buat rias sama pijit Fira. Biar dia kelihatan cantik nanti," titah Oma Nani dengan wajah masam.
Ia memang selalu berwajah masam pada menantu perempuannya itu. Berbeda dengan menantu lelakinya. Kedua adik Pak Ferdi perempuan, yang satu sudah menikah. Sedangkan, yang bungsu masih kuliah di Eropa.
"Apa mesti segitunya, Oma. Kan Cuma makan malam bersama." Bu Alin memprotes mertuanya dengan halus.
"Harus, dong, supaya keluarganya Revan terkesan dengan kecantikan Fira. Kamu jadi ibu gimana, sih, enggak ngerti masalah begitu!" cerocos Oma Nani ketus.
Bu Alin menarik napas panjang, menyabarkan dirinya sendiri untuk menghadapi sifat mertuanya.
"Turuti saja, Ma," kata Pak Ferdi pelan.
Bu Alin mengangguk pelan, kemudian menelepon salon langganannya untuk mengirim salah satu pegawainya ke rumah pada sore hari.
Pukul empat, datanglah pegawai salon bernama Shela ke rumah Bu Alin.
"Eh, Shela, yuk, masuk," ajak Bu Alin ramah, ia telah mengenal Shela dan pemilik salon biasa tempatnya memanjakan diri.
"Iya, Bu." Shela mengikuti langkah Bu Alin memasuki ruang tamu. Kemudian, duduk di sofa mewah yang ada di ruangan itu.
Bu Alin pamit ke kamar Fira untuk membangunkannya.
"Nak, bangun, Sayang." Bu Alin berkata dengan lembut sambil menepuk-nepuk pundak Fira pelan.
"Iya, Ma. Jam berapa sekarang?" tanya Fira dengan suara khas bangun tidur.
"Jam empat, itu ada pegawai salon untuk facial dan lulur badan kamu, supaya relaks." Bu Alin tersenyum.
"Loh, kenapa sampai panggil orang segala, Ma?" Fira heran, ia bangkit dan duduk di kasur.
"Ini kemauan Oma, nurut aja, ya, please," ujar Bu Alin dengan memohon.
Fira mengangguk ia tahu persis bagaimana sifat Oma Nani pada ibunya.
"Mama panggil dulu, Shela, ya." Bu Alin bangkit dan melenggang pergi ke luar kamar Fira.
Tak lama kemudian, masuklah Shela yang akan memanjakan wajah dan tubuh Fira.
Fira berbaring di karpet plastik guna memulai treatment. Mulai dari facial wajah, sampai lulur dan pijat badan.
Satu jam kemudian treatment selesai, Shela pamit ke luar kamar. Fira mempersilakan sambil mengikuti dari belakang.
"Sudah, treatment-nya, Fir?" tanya Oma Nani begitu melihat Fira keluar kamar dan hendak menuruni tangga.
"Sudah, Oma. Seger pokoknya," jawab Fira sambil tersenyum.
Setelah Bu Alin memberi uang bayaran Shela. Gadis itu pamit kembali ke tempat kerjanya.
"Berasa lama banget, ya, ke makan malam," gumam Fira sambil terus melirik benda yang menempel di dinding.
"Sudah jam lima, tinggal beberapa jam lagi, kok," timpal Bu Alin yang mendengar gumaman anaknya.
"Hehe, iya, Ma." Fira tersenyum malu, ketahuan ngebet ingin segera bertemu pujaan hati.
Pukul tujuh malam, keluarga Fira telah siap untuk berangkat makan malam bersama di Restoran Ampera.
Fira keluar kamar dan menuruni tangga dengan anggun. Keluarganya memandang dengan terpana melihat aura kecantikan gadis itu Gaun malam yang dikenakannya terlihat elegan dan pas di badannya.
"Cantik sekali kamu, Nak!" Puji Bu Alin pada anak semata wayangnya tersebut.
"Terima kasih, Ma. Mama juga cantik, kok," kata Fira.
Mereka langsung berjalan menuju mobil yang sudah siap di halaman. Mereka memasuki mobil dengan Mang Ujang sebagai supir. Ia adalah supir pribadi kepercayaan Pak Ferdi.
Mobil melaju membelah jalanan yang lengang. Sekitar dua puluh menit kemudian mereka sampai di tempat tujuan, yaitu Restoran Ampera.
Keluarga Fira turun dari mobil dan memasuki area restoran. Restoran khas Sunda ini memang sangat terkenal kelezatan makanannya. Mereka berjalan melewati deretan meja yang sudah terisi penuh.
Meja panjang seakan dua meja disatukan telah diisi oleh keluarga Revan. Meja tersebut berada di pinggir kolam ikan kecil di sudut ruangan.
"Selamat malam," ucap Pak Ferdi saat sampai di sisi meja, ia hanya melihat wajah Revan dan adiknya. Sedangkan orang tuanya membelakangi.
"Malam," ucap Pak Andi, ayah Revan sambil melirik ke belakang, arah datangnya keluarga Fira.
Pun dengan istri Pak Andi yang melirik ke belakang.
"Regina!" ucap Bu Alin setengah berteriak karena kaget.
Oma Nani langsung melotot, karena ulah Bu Alin.
"Iya, ini istri saya, Regina. Silakan duduk," ucap Pak Andi ramah.
"Nanti saja, Ma. Kita duduk dulu," bisik Pak Ferdi pada istrinya.
Bu Alin mengangguk, kemudian mereka duduk di samping kanan meja yang belum diisi.
Perasaan Bu Alin seketika merasa tak enak, tapi mana mungkin jika harus mengungkapkannya sekarang. Hal yang mesti diungkapkan ini merupakan sesuatu yang penting dan memerlukan pembahasan mendalam.
Tak lama kemudian, hidangan terbaik restoran dihidangkan di meja mereka semua. Makanan-makanan tersebut nampak begitu menggugah selera. Tapi, tidak untuk Bu Alin.
Fira yang merasakan ada kejanggalan pada sikap ibunya pun merasa tak enak hati.
'Ada apa, ini? Mengapa Mama nampak begitu resah dan gelisah. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan,' gumam Fira dalam hati.
Semua makan dengan dengan tenang, sesekali Revan melirik Fira yang ada di samping kanan meja. Ia begitu terpesona dengan kecantikan Fira malam itu. Banyak yang bilang wajah mereka mirip.
Fira dan Revan selalu berpikir bahwa itu karena mereka jodoh.
Setelah selesai makan, mereka mengobrol santai. Mulai dari kesibukan pekerjaan sampai rumah tangga. Bu Alin nampak gelisah, akan tetapi Pak Ferdi terlihat santai.
"Wah, hebat, profitnya pasti besar itu!" Pak Ferdi nampak antusias mengobrol dengan Pak Andi.
"Iya, lagi hoki aja ...," ujar Pak Andi dengan senyum lebar.
Bu Regina nampak santai mengobrol dengan Oma Nani. Sementara itu Revan dan Fira nampak hanya saling mencuri pandang di balik meja makan tersebut.
Hanya Bu Alin yang nampak begitu gelisah. Ia pamit ke kamar mandi.
Bu Alin mencuci wajahnya di wastafel, setelah itu menatap pantulan dirinya di cermin besar di hadapannya.
"Ya Allah, bagaimana kalau Revan dan Fira itu adik-kakak seayah. Aku tak bisa membiarkannya," ujar Bu Alin lirih di hadapan cermin.
"Bagaimana ini ...?" Bu Alin terus berdialog dengan dirinya sendiri.
Perasaannya sebagai seorang ibu begitu tak enak, berkali-kali ia menenangkan diri. Berkali-kali lipat juga ketakutan dan kegelisahan itu menghantuinya.
Masa lalu itu, akankah menghancurkan masa depan anaknya. Rasanya Bu Alin bagai disuruh makan buah simalakama. Maju mundur kena dan punya resiko besar yang menyakitkan.
"Tak bisa, ini tak bisa dibiarkan, Fira harus tahu," gumam Bu Alin lirih.
Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri, baru setelah itu keluar dari toilet. Kembali ke meja makan dengan senyum tipis yang dipaksakan.