webnovel

Tergoda Wanita Penggoda

Di usianya yang sudah 25 tahun, Anita tak kunjung menemukan juga seorang pria yang mau mempersunting dirinya. Bukan karena ia jelek ataupun tak sempurna, hanya saja para lelaki di desanya tidak berani untuk mendekati Anita karena Anita merupakan putri tunggal seorang juragan yang begitu kaya raya. Kesal karena tak ada lelaki yang mau dekat dengannya, akhirnya Anita pun seringkali bertindak duluan. Anita sering menggoda lekaki yang ia temui di jalan. Akbar, seorang pria beristri namun sudah lama ini istrinya tak pernah pulang ke rumah karena memilih pergi dengan pria yang lebih muda dari Akbar. Dia sudah berusia 40 tahun. Memiliki begitu banyak bulu tipis di sekitaran dada bidang miliknya. Akbar adalah lelaki yang menjadi korban Anita. Setiap kali Akbar berjumpa dengan Anita, pasti Anita selalu saja menggodanya membuat Akbar menjadi tergoda.

Euis_2549 · 都市
レビュー数が足りません
20 Chs

Duka Mendalam

Saat ini Anita telah sampai di depan rumahnya. Dia begitu syok saat melihat bendera kuning berkibar di pagar depan rumahnya. Bahkan di teras rumahnya juga begitu banyak warga yang berkumpul.

Anita langsung syok, tapi dia juga tidak ingin asal menebak. Anita pun memilih untuk langsung saja masuk ke dalam rumah dan memastikan sendiri apa yang terjadi.

"Ibu," teriak Anita.

Seketika itu semua orang yang ada di sana langsung melirik ke arah Anita.

"Kasihan ya Neng Anita," ucap beberapa warga yang berbisik pada warga lainnya.

"Ada apa ini? Ibu baik-baik saja, kan?" tanya Anita.

Tidak ada seorang pun yang berani menjawab pertanyaan dari Anita.

"Kenapa kalian diam saja? Jawab aku? Ibu baik-baik saja, kan?" tanya Anita kembali namun tetap saja tidak kunjung mendapat jawaban dari orang-orang.

Karena tidak ada juga yang menjawabnya, Anita pun kemudian dengan segera langsung saja masuk ke dalam rumah.

Di dalam, terlihat ibunya Anita sudah terbaring dengan tertutup kain sampai ke bagian atas dadanya. Sementara wajahnya tertutup oleh kain tipis berwarna putih.

"Ibu!" syok Anita yang langsung terlukai lemas dan terduduk di lantai.

"Itu bukan, Ibu. Ini pasti hanya mimpi burukku saja. Ibu, tidak! Hiks," tangis Anita.

Pak Amir, ayah Anita pun langsung saja menghampiri Anita.

"Anita, anak Bapak, kamu yang sabar ya, Sayang. Ibu sudah tidak ada lagi di dunia, Nak. Dia sudah tenang di atas sana," tutur Pak Amir.

"Tidak, Pak, tidak! Anita ga mau, Pak. Jangan bilang seperti itu. Anita ga mau mendengar ucapan yang seperti itu," ujar Anita.

"Tapi, Nak, ini memang kenyataannya. Ibu sudah tiada, Sayang. Kamu harus ikhlas, supaya ibu kamu juga tenang di sana. Kamu ga boleh lemah kayak gini," ucap Pak Amir.

Sembari menahan tangisnya, Pak Amir juga mencoba untuk tetap menenangkan Anita. Pak Amir sangat terpukul atas kematian istrinya yang begitu dadakan.

"Pak, kenapa Ibu bisa seperti itu? Kenapa Ibu bisa meninggal, Pak? Bukankah tadi Ibu hanya tidak enak badan biasa saja? Kenapa begitu tiba-tiba?" selidik Anita.

"Tadi itu, Bapak dan juga Ibu sedang shalat, Nak. Tapi saat sujud, Ibu tiba-tiba saja tidak bangun lagi. Ibu memang sempat parah sakitnya, tapi dia mengajak Bapak untuk shalat. Akhirnya kita berdua shalat, Nak. Tapi ... tapi kejadian itu menimpa ibumu," terang Pak Amir.

"Ya Allah ... Ibu, mengapa Ibu malah meninggalkan Anita sendiri, Bu? Mengapa? Hiks," tangis Anita.

Pak Amir dan Anita pun langsung menangis tersedu.

Beberapa saat kemudian, setelah selesai dimandikan dan juga dishalatkan, saat ini jenazah ibunya Anita akan segera dikebumikan.

Sedari tadi Anita sudah menangis terus menerus sampai saat ini air matanya menjadi mengering. Anita hanya memancarkan pandangan mata yang begitu kosong saja.

"Anita, sudah jangan menangis," ucap Santi, teman dekat Anita.

"San, ibuku sudah tiada. Sekarang aku hanya memiliki Bapak saja, San," sedih Anita.

"Jangan berbicara seperti itu, Anita. Aku akan selalu ada untukmu. Kamu jangan bilang tidak punya siapa pun lagi," ujar Santi.

Anita tidak menjawab lagi ucapan Santi. Anita hanya menempatkan kepalanya di bahu Santi. Lalu dia menangis di sana.

Di pemakaman, Anita terus saja menangis menanggung duka yang begitu mendalam karena kehilangan seorang ibu yang begitu ia sayang.

Anita menaburi bunga di atas pusara makam ibunya. Tak lupa Anita juga mendo'akan ibunya.

"Ibu, Ibu yang tenang ya di sana. Semoga Ibu bahagia di surganya Allah. Aamiin," ucap Anita. Kemudian Anita pun langsung saja mencium batu nisan ibunya sebelum ia beranjak pergi dari sana.

Santi langsung membantu Anita untuk berdiri, lalu dia juga langsung saja menuntun Anita.

Hari terus berlalu, tidak terasa sekarang sudah 40 hari setelah kepergian ibunya Anita.

Selama 40 hari itu, Anita yang dikenal sebagai gadis yang selalu ceria, seketika hal itu hilang dari dalam diri Anita. Anita menjadi orang yang terus murung dan lebih memilih untuk berdiam diri saja di dalam kamarnya.

Anita hanya diam di kamar sembari terus mengirimi do'a untuk ibunya yang telah tiada. Santi juga beberapa kali sering datang dan menemani Anita agar Anita tidak merasa sendiri lagi.

Baru kali ini lagi Anita mau untuk keluar dari dalam kamarnya. Biasanya saat akan makan pun, asisten rumah tangga Anita yang akan mengantarkannya ke dalam kamar Anita. Anita ingin bangkit dari keterpurukannya. Dia juga tidak ingin terus-terusan bersedih yang nantinya justru akan membuat ibunya tidak tenang di atas sana.

"Aku tidak boleh terus seperti ini. Aku harus bangkit. Lagian Ibu juga pasti tidak akan suka melihat diriku yang seperti ini. Aku harus mengikhlaskan kepergian Ibu, agar Ibu juga tenang di sana. Ibu ... Anita akan bangkit. Anita akan kembali seperti biasanya. Tidak akan menjadi gadis yang murung lagi. Anita tahu kok, Bu, meskipun Ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi Ibu pasti selalu ada di dekat Anita dan menemani serta menjaga Anita. Anita sangat menyayangi Ibu. Anita akan selalu mendo'akan Ibu. Ibu yang tenang di sana ya, Bu," tutur Anita.

Perlahan Anita mulai beranjak dari tempat tidur. Dia mendekati meja riasnya. Anita mulai berkaca dan melihat penampilannya yang begitu acak-acakan.

"Astaga ... lihatlah diriku ini. Sudah tidak keurus. Rambut yang begitu lepek. Wajah kusam penuh debu. Ya ampun ... bahkan mulai muncul jerawat di keningku. Akh ... tidak! Aku tidak bisa biarkan hal ini. Aku ga mau jadi gadis yang jelek. Nanti kalau aku jelek, ga akan mungkin ada lelaki yang suka sama aku. Sekarang aja udah ga ada yang suka sama aku. Padahal aku cantik. Hihi," celoteh Anita.

Dengan segera, Anita pun kemudian mulai menyisir rambutnya. Ada beberapa rambutnya yang rontok. Anita sangat panik akan hal itu.

"Tidak! Rambutku. Hiks, rambutku rontok," cicit Anita. "Aku akan minta Bibi untuk mengolesi rambutku ini dengan minyak rambut supaya rambutku jadi bagus kembali dan segar. Aku harus temui Bibi di dapur sekarang," putus Anita.

Anita langsung saja keluar dari dalam kamarnya.

Niat awalnya dia ingin pergi ke dapur dan menemui asisten rumah tangganya. Tapi di ruang tamu, Anita malah melihat tamu ayahnya.

"Loh, loh, apa itu tamu Bapak? Kok aku kayak ga asing ya dengan wajahnya. Kayak pernah lihat gitu. Tapi di mana ya? Coba aku ingat-ingat dulu," cicit Anita. Anita mencoba untuk mengingat kembali siapa orang yang dilihatnya itu.

Beberapa saat kemudian, Anita pun langsung mebelalakan matanya. Dia baru mengingat siapa orang itu.

"Oh ... iya, aku ingat sekarang. Dia itu kan Bang Akbar. Iya, Bang Akbar. Si Abang berbulu tipis yang tidak sengaja aku tabrak," ujar Anita.