webnovel

TERBIASA

Dua pemuda dewasa akhirnya saling jatuh cinta, karna selalu bersama dalam ikatan pekerjaan. Namun, salah satu dari mereka sudah bertunangan. Bisakah mereka berasama?

Altwp · LGBT+
レビュー数が足りません
38 Chs

S2. enam

Arga membuang napas gusar sambil menatap layar HP yang baru saja ia gunakan untuk menelfon Doni. Lantaran sudah merasa akrab dan terlalu baik, akhirnya Arga tidak keberatan mengizinkan pemuda itu, datang ke rumahnya malam ini.

Sekedar informasi, Doni adalah pelanggan pertama yang mempunyai nomor HP pribadi, sekaligus menjadi pelanggan pertama yang akan menginjakkan kaki di rumahnya. Semua pelanggan yang ingin mebookingnya, harus melalui perantara lewat Madam. Selain itu Arga sangat pantang membagi nomor pribadi, dan mengizinkan pelanggan datang ke tempat tinggalnya.

Namun untuk Doni, sepertinya akan menjadi pengecualian. Walaupun sebelumnya, pemuda itu memang lebih dulu melakukan transaksi dengan Madam.

Ting... tong... ting... tong...!!!

Bunyi bell dari pintu utama membuat kening Arga berkerut. Bukankah belum lima menit ia menutup telfonnya dengan Doni? Tapi kenapa pemuda itu sudah sampai di rumahnya?

Beranjak dari sofa, pria itu berjalan ke arah pintu--sekedar memastikan apakah orang yang sedang menekan-nekan bell itu, benar Doni.

"Malam mas Arga..."

Arga tersenyum heran, saat membuka pintu ia melihat sosok Doni sudah berdiri di sana. Dengan senyum yang manis seperti biasa.

"Kamu, udah sampai sini?"

"Cepet kan, aku pinjem pintu ajaibnya Doraemon, tadi," gurau Doni. Setelahnya ia tersenyum nyengir. "Sebenarnya aku udah ada di seberang jalan waktu nelpon kamu tadi."

"Pantes."

Kepala Doni melongok ke dalam ruang tamu. "Ngomong-ngomong nggak disuruh masuk nih."

Arga mendesis, "bisa aja kamu, masuk."

Setelah menutup dan menguncinya, Arga dan Doni jalan beriiringan ke arah sofa, lalu duduk berdampingan di sana.

"Sebenarnya kamu enggak perlu ngelakuin ini, Doni." Ucap Arga memulai pembicaraan. "Kamu udah buang uang banyak, tapi kita enggak pernah ngapa-ngapain."

Kalau tidak salah ingat, ini sudah ke empat kalianya mereka bertemu. Dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, Arga memang tidak pernah melakukan hal yang seharusnya ia lakukan kepada pelanggannya.

"Dari kemaren, mas Arga nggak berhenti ngomong kita nggak pernah ngapa-ngapain. Kayaknya kamu emang pengen banget ya, ngapa-ngapain, aku?" Goda Doni yang membuat Arga terkekeh pelan--menyembunyikan wajah salah tingkahnya.

Semenjak mengenal Doni, Arga memang jadi lebih sering tersenyum sekarang. Padahal sebelumnya, pria itu sangat irit atau bisa dikatakan--pelit senyum. Senyum Arga sudah lama menghilang. Tepatnya lima tahun lalu, setelah ia meninggalkan pria yang paling berarti dalam hidupnya.

"Bukan gitu maksudku," koreksi Arga. "Kamu udah punya nomer HPku, jadi kamu bisa hubungi aku dulu kalau mau ketemu. Nggak harus lewat madam. Biar aku yang atur waktunya."

"Tapi aku nggak mau nunggu," Serga Doni, setelahnya ia mengulas senyum. "Becanda... aku cuma nggak mau nanti kamu kena masalah sama Madam. Kalau gini kan, kita jadi lebih leluasa, nggak perlu khawatir Madam mu itu, nanyain kamu."

Arga mengehela. "Yasudah, gimana baiknya aja."

Telapak tangan Doni meraba paha kekar Arga, "udahlah mas, uang bukan masalah buat aku." Ucapnya dengan nada lembut, namun terlihat serius. "Tapi aku seneng mas Arga punya inisiatif begitu. Artinya, kita bisa janjian keluar tanpa lewat Madam dong."

Arga hanya tersenyum, namun tipis.

"Oh iya, apa aku boleh liat-liat kamarnya mas Arga?" Ucap Doni mencoba mencairkan suasana yang sempat sedikit menderama.

"Mau ngapain?" Heran Arga.

"Katanya pengen ngapa-ngapain aku, gimana si. Biar mas Arga ngerasa plong, tugasnya udah kelar."

Arga kembali terkekeh.

"--Aku udah bayar kamu mahal lho," canda Doni.

"Bisa aja kamu."

***

"Maaf, kamarnya berantakan." Setelah menutup pintu kamar, Arga buru-buru memungut beberapa pakaian kotornya--yang berserakan di lantai. "Maklum, kamar cowok." Pria itu berjalan ke arah kamar mandi, sambil memeluk pakaian kotornya.

Mengabaikan apa yang tengah dilakukan oleh Arga, langkah kaki Doni berjalan perlahan mendekati ranjang. Ditengah perjalanannya, pemuda itu mengedarkan pandanganya ke seluruh penjuru kamar. Hingga saat langkah kakinya sampai di tepi tempat tidur, pemuda itu mematung. Pandangannya berhenti pada sebuah bingkai, dimana ia melihat ada foto Arga bersama seorang pria--entah siapa, dalam bingkai tersebut.

Melihat bagaimana foto itu terlihat begitu mesra, insting Doni menyimpulkan--pria itu bukan sekedar teman biasa. Pasti ada hubungan istimewa yang pernah terjalin antara Arga dengan pria dalam foto itu.

"Ehkem..."

Suara dehem yang dibuat-buat oleh Arga mengejutkan Doni--sontak membuatnya memutar tubuh, menoleh ke arah pria itu.

"-Liat apa?" Tanya Arga.

"Enggak apa-apa." Doni menjatuhkan bokongnya ke tepi dipan. Menggunakan kedua tangan, pemuda itu menyanggah tubuhnya yang terhuyung ke belakang. "Kamarnya enak mas ya, nyaman. Terlalu rapi untuk ukuran kamar cowok." Sambil mengedarkan pandangannya di sekitar ia duduk.

"Kamu nggak liat, pakaianku berantakan, tadi." Ucap Arga mengingatkan.

"Itu mah wajar, sekali pungut juga udah langsung rapih." Doni kembali mengedarkan pandangannya. "Tapi beneran, kamarnya anyaman. Jadi pengen tidur di sini. Apalagi, sambil dipeluk sama kamu, pasti makin nyaman." Godanya.

Arga hanya mengulas senyum, sambil mendudukan dirinya di tepi ranjang.

Menggunakan wajahnya Doni menunjuk foto yang membuatnya penasaran. "Ngomong-ngomong, dia siapa?"

Sorot mata Arga mengikuti arah pandang Doni--melihat gambar wajah yang seolah sedang tersenyum padanya. "Dia, temen." Nada suaranya terdengar datar.

"Temen?" Doni menatapnya selidik.

Arga mengangguk pelan, dan hampir tidak terlihat.

"Yakin cuma temen?" Tegas Doni. Usia Doni cukup dewasa untuk bisa membaca perubahan ekspresi wajah lawan bicaranya. Selain itu instingnya juga sangat kuat untuk bisa mengerti siapa pria dalam foto tersebut. Hanya saja, pemuda itu butuh penjelasan dari yang bersangkutan. "Temen spesial maksudnya?" Tandas Doni dengan nada bicara yang ia buat seolah bercanda. Walaupun sebenarnya ia serius.

Arga hanya mengulas senyum. Entahlah pria itu merasa tidak perlu mencitrakan masalalu nya kepada siapapun.

"-Ayo cerita..." desak Doni. "Aku malah jadi penasaran kalau kamu kayak gitu."

Lagi, Arga mengulas senyum. "Dia... dia masalalu."

"Nah... kan, tepat," sahut Doni cepat. "Jarang banget lho ada laki-laki yang ngomong masalalu, sama temen laki-lakinya. Kecuali kalau temennya itu perempuan. Aku juga nggak akan kepo, soalnya itu wajar. Tapi ini... aku yakin banget dia spesial buat mas Arga." Doni kembali menatap foto tersebut, seraya berkata. "Sampai-sampai, foto kalian masih dipajang."

Arga hanya terdiam. Pria itu membiarkan Doni bermonolog, menerka-nerka yang sesungguhnya memang benar.

"-Mas!" Tegur Doni yang membuat Arga tersentak sadar. "Malah diem, buruan cerita."

"Kamu pengen tahu siapa dia?"

Doni mengangguk mantap, "banget."

Lagi, Arga terdiam. Setelah menghela napas pira itu membuka suara. "Kamu bener, dia temen spesial... bahkan__" Arga menelan ludah. Tiba-tiba saja tenggorokannya seperti tersedak. "Bahkan sangat spesial."

"Se-spesial apa?" Raut wajah Doni mulai berubah serius.

"Dia cinta pertamaku, dan kami saling mencintai. Cuma... kamu taukan takdir nggak akan pernah mengizinikan hubungan kayak gini bersatu."

"Dia ninggalin kamu?"

Arga menggelang pelan. "Aku yang ninggalin dia."

Kening Doni menatap heran wajah Arga yang berubah menjadi murung. Hal itu membuat ia menjadi semakin ingin tahu apa yang sudah terjadi antara Arga dengan pria yang ada di dalam foto itu. "Kenapa kamu ninggalin dia?" Nada suaranya terdengar datar dan lebih serius.

Arga menghela napas panjang--mengusir rasa sesak yang kembali datang. Pria itu berjalan merangkak di atas kasur, lalu membaringkan tubuhnya di sana.

"Ceritanya, panjang," ucap Arga sambil menatap langit-langit.

Doni mengangguk-anggukan kepalanya. "Tadinya aku penasran banget pengen tau, tapi liat kamu malah jadi melow kayak gini, aku jadi enggak tega."

"Enggak apa-apa, aku ceritain."

Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya membagi kisahnya dengan orang lain. Setidaknya, beban di dadanya bisa sedikit berkurang. Selain itu, Doni sudah ia anggap bukan sipa-siapa lagi.

"-Sampai sekarang, aku belum bisa lupain dia. Aku masih sayang, bahkan__" Arga menelan ludah. "Masih cinta. Walaupun mustahil, aku berharap bisa bersatu lagi sama dia." Setelah mengatakan itu bola matanya mulai berkaca-kaca.

Sedangkan Doni hanya diam. Pemuda itu tertegun mendengarkan bagaimana Arga menceritakan masalalunya, dan alasan yang membuat pria itu akhirnya memilih untuk meninggalkan pria dalam foto tersebut.

"Sedih juga yah," komentar Doni setelah mendengar Arga menceritakan kisah masalalu nya. Pemuda itu ikut membaringkan tubuhnya, tidur miring memeluk erat Arga.

"-Tapi itu udah lewat mas, udah lima tahun lebih. Kamu jangan terlalu naif. Aku ngerti perasaan kamu, tapi kamu harus bisa move on. Jangan terus-terusan nyiksa diri kamu sendiri. Aku yakin, sekarang Eza udah bahagia sama anak dan istrinya. Lima tahun itu waktu yang cukup buat bisa ngelupain sesorang." Telapak tangan Doni meraih wajah Arga, memutarnya hingga menatap dirinya. "Sekarang... giliran kamu buat nyari kebahagiaan kamu."

"Aku enggak bisa," sahut Arga. "Walaupun dia udah bisa ngelupain aku, aku enggak apa-apa, memang itu yang aku penegen. Dia bahagia. Tapi yang jelas, aku enggak bisa ngelupain dia."

Doni mengehela, "mas..." panggilnya. "Kadang, kita butuh seseorang supaya biasa lupa sama seseorang." Doni mengulas senyum manik matanya menatap lurus mata Arga.

Hening.

Arga tidak mampu menanggapi apa yang baru saja di katakan oleh pemuda itu barusan. Pria itu hanya menatap bibir Doni yang mendekat ke mulutnya. Pria itu hanya pasrah, dan terdiam. Banyak sekali alasan yang membuat ia akhirnya merasakan kecupan lembut Doni di bibirnya.

"Enghm..." Doni mendesah, sambil melumat lembut bibir seksi Arga. Pemuda itu memejamkan mata, menikati aroma maskulin yang menyeruak dari mulut Arga.

"Don..." panggil Arga yang membuat pemuda itu melepaskan ciumannya, lalu menatap penuh tanya. "Aku tau kamu baik. Kamu beda dari tamu-tamu ku yang lain, tapi aku belum bisa kalau harus anal."

Doni mengulas senyum. Menggunakan ibu jarinya pemuda itu mengusap bibir yang baru saja membuatnya melambung. "Enggak apa-apa." Suaranya terdengar berbisik. "Sebenarnya aku juga belum pernah sampai sejauh itu. Tapi aku berharap, suatu saat mas Arga orang pertama yang melakukannya."

Arga hanya mengulas senyum. Kali ini pria itu ikut memangkas jarak wajah, hingga akhirnya cup bibir mereka kembali bersatu dalam lumatan yang berbalas.

Tbc