webnovel

1. TP3W

"Anak-anak, coba silakan ulik persoalan fisika berikut di buku catatan kalian. Ibu beri waktu sampai bel pergantian pelajaran," cakap Bu Mirna dengan kerudung motif bunga berwarna birunya yang elegan, di depan murid-muridnya.

   Aku yang duduk di sudut belakang kelas, setelah Bu Mirna keluar, malah asyik berembuk untuk membicarakan sesuatu dengan kawan-kawanku. Sesuatu yang kuanggap lebih vital daripada alam mikroskopiknya Ludwig ; harga diri.

   Ketua Kelas memang sudah memperingatkan ulang supaya kelas 2 Fisika ini tidak menjadi buah bibir para guru dengan isu-isu yang tidak baik. Mengingat reputasi kelas ini sejak kuartal terakhir selalu harum dengan prestasi-prestasi memukaunya di bidang eksak seperti ini.

   Tapi aku merasa ada yang lebih mendesak dibanding harus pusing memikirkan fisika kuantum itu.

   "Ris, lu tau anak 02 yang waktu itu kena bacok terus diamputasi kaki kanannya?" tanyaku kepada Aris yang botak plontos, mengkilap, cemerlang, memantul semua jenis cahaya via kepala licinnya.

   "Tau, Bal. Nasib baik, gak kejadian hal-hal yang lebih menakutkan," katanya sambil menggali material hitam berukuran setengah milimeter di dalam lubang hidungnya.

   "Sekarang gimana dia?"

   "Masih menjalani perawatan di UGD Rumah Sakit Cibitung," sambung Aan, pelari terbaik di kelas kami meski dengan postur badan yang tergolong mungil.

   "Maksud gua bukan itu. Ya, itu juga gua harap dia baik-baik aja. Tapi, gimana dengan anak-anak dia? Denger rencana serangan balik? Atau bakal pecah pertempuran lagi?" kataku dengan intonasi yang kian meninggi.

   "Gak tau, Bal. Tapi nanti kita obrolin habis pulang sekolah sama anak kelas satu dan tiga. Siapa tau ada informasi bagus," tukas Erfin, satu-satunya sahabat kami yang doyan dengan perbukuan beserta dunianya. Sudah bisa ditebak, pasti, Erfin ini berkacamata, tapi atletis. Bersama Aan, ia selalu menjadi harpun saat ada pertandingan voli di mana pun diselenggarakan.

   Hamzah sibuk menyimak sambil berpikir.

   Setiap siswa yang duduknya berpasangan dengan rapi menjalankan titah Bu Mirna merampungkan tugas fisika itu. Aku bersama empat temanku itu sekonyong-konyong memisahkan diri dari kelas, keluar berjalan ke arah halaman sekolah. Aku melewati kelas 3 Fisika, dan memberi kode kepada Haris supaya segera bertolak juga ke halaman sekolah.

   Dengan cepat, Haris angkat tangan meminta izin kepada Pak Iman di tengah berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar yang sunyi itu dengan alasan izin ke toilet. Klasik.

   "Ada apa, Bal?"

   "Besok kita berangkat, Ris."

   Seketika air wajah Haris mendadak suram dan dingin. Orang ini memang gampang sekali menunjukan ekspresi berdasarkan perasaannya. Jika ia sedang marah, wajahnya bermuram durja. Jika ia kecewa, wajahnya redup dan datar. Jika Haris sedang sedih, wajahnya layu dan kuyup. Jika Haris sedang berambisi, maka setegas inilah wajahnya. Aku menaruh hormat tinggi kepadanya.

   "Ber-berapa?"

   "Berduabelas cukup, Ris," kataku.

  "Siang nanti, kita bicarakan lebih lanjut, Bal."

   "Iya."

   Aku dan Haris kembali ke kelas masing-masing. Dengan cepat, Haris mengganti topeng di wajahnya dengan topeng yang ceria. Tak pernah ada yang tahu bahwa, Haris, dan aku, adalah bukan hanya sekadar anak nakal tukang bolos saja. Di belakang reputasi kami sebagai siswa SMA 07 Bekasi, di balik keceriaan dan animo kami dalam mengikuti jalannya ekosistem di sekolah kami, aku bersama Haris, bersama yang lain adalah sekian orang yang mengurus soal tempur-tempuran dengan sekolah lain. Sebuah budaya yang masih bergejolak dan mengerikan ; tawuran!

---

   Di warung Bi Emat, kami merencanakan penyerangan balik terhadap SMA 05 Bekasi yang baru saja mencelakai salah satu anggota sekutu kami yang bersekolah di SMA 02. Sebuah warung yang bercokol di pinggir jalan protokol di wilayah Tambun, dengan background pemandangan pabrik Suzuki yang bertaburan unit-unit mobil putih yang siap dirilis ke daratan.

   Warung Bi Emat adalah warung yang sederhana. Dilengkapi dengan meja berselimut spanduk salah satu merk minuman teh, kursi kayu memanjang yang mengitari sekelilingnya, dua boks minuman dingin, ciki-ciki, gorengan, minuman instan, dan berbagai jenis rokok yang memadati muka etalasenya, seharusnya sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan lisensi sebagai 'Warung Kopi Standar Rakyat'. (Kalau ada).

   Meski sering dikunjungi oleh orang-orang 'tak benar' seperti kami, Bi Emat adalah salah satu pengejawantahan dari orang-orang Pasundan yang selalu haus humor dan mudah akrab dengan siapa pun. Orangnya selalu mengenakan kupluk, daster motif bunga kemboja, alisnya yang melengkung lentik menandakan bahwa dulu Bi Emat adalah orang yang diidam-idamkan kaum Adam. Premis itu terbukti. Bi Emat paling senang jika diingatkan dan mengingat kepingan-kepingan memori masa lalunya.

   "Bi, gimana sih rasanya jadi orang yang sepopuler Bibi? Ajarin, dong, Bi," kataku memelas setelah Bi Emat menyajikan segelas kopi di hadapanku.

   "Bi Emat, bisa gak ya orang botak plontos mengkilap kinclong seperti saya ini populer di kalangan wanita?" tanya Aris sambil menggosok-gosok kepalanya diiringi dengan tawa ringan dari Bi Emat.

   "Iya, Bi. Soalnya, menurut hemat saya, dewasa ini perilaku cewek SMA mulai bergeser, Bi," ujar Erfin.

   "Bergeser kumaha, Fin?"

   "Menurut riset dan angket yang dilakukan Tim Pemantau Pergerakan Dan Perilaku Wanita atau disingkat TP3W pada Oktober 1993 kemarin, menunjukan bahwa 60% cewek SMA yang memiliki gaya rambut bob cenderung menilai utuh jati diri para pria hanya dengan sekali pandangan pertama, dinilai dari gaya rambut, kegantengan, serta keharuman pria tersebut, Bi."

   "Wah, iya, begitu, Fin? Data dari siapa itu teh?"

   "Gak tau sih, Bi. Aku ngarang."

   Lalu Erfin dihantam punggungnya menggunakan baki plastik oleh Bi Emat yang dongkol karenanya. Lalu kita semua tertawa lagi.

   Tak lama berselang, muncullah Haris dan beberapa orang temannya dari kelas 3 Fisika dengan seragam yang sudah dikeluarkan dari balik celananya. Muka mereka tebal dan tegas, tapi ketika masih ada Bi Emat di situ mereka tak lebih dari sekadar remaja SMA biasa.

  Haris duduk di antara aku dan Aris, sedangkan teman-temannya duduk di bibir trotoar jalan samping warung Bi Emat sambil merokok.

   Aku mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasku. Kemudian tanpa ada instruksi apa pun, aku menggambar sesuatu semacam rute persimpangan jalan dan apa saja yang ada di sana, aku tarik garis kesana-sini, kubuat lingkaran-lingkaran kecil, lalu aku berkata,

   "Si anjing ini yang ngebacok temen kita di titik ini, Ris. Disusul dengan diinjak-injak pada bagian rusuk dan pinggul karena Muji waktu itu tersandung dan meringkuk di aspal."

   Haris memegang dagunya sambil memperhatikan aku berbicara.

   "Pengendara motor yang sedari tadi menyaksikan tawuran dari jarak yang dekat langsung membawa Muji dengan satu orang lainnya yang memegang Muji, bertolak langsung ke Rumah Sakit Cibitung. Warga langsung berteriak-teriak ngebubarin tawuran."

   "Lu tau motifnya apa, Bal? Pemicunya apa?" tanya Haris dengan tatapan matanya yang dalam kepadaku.

   "Kata temennya Muji, itu murni cuma pengeroyokan. Di jalan tiba-tiba mereka diteriaki dan dikejar membabi-buta tanpa ada persiapan apa-apa."

   "Hmm..."

   "Perbandingannya 1:4, Ris. Anak 02 sebenernya udah mau langsung nyerang, tapi ditahan sama Muji supaya gak terburu-buru."

   "Hmm..."

   "Jadi, gimana, Ris? Kita ajak ketemuan, atau serang di sekolah mereka langsung?"

   Haris tiba-tiba berdiri, mengagetkan aku, Aris, Erfin, Aan, dan Hamzah. Ia mendatangi teman-temannya yang duduk di trotoar tadi, dan kembali ke tempat duduk. Haris duduk, dan berkata,

   "Besok sore, di jalan kereta..."

   Kemudian Haris mengambil bolpoinku dan menggambar rel kereta serta arah panah dari berbagai sudut, kemudian ia menulis huruf X di salah satu titiknya, dan melanjutkan,

   "Kita bantai mereka!"***