webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · 歴史
レビュー数が足りません
17 Chs

Bagian 1 | Ikhlas

Selamat membaca! 😊

__________________________

Tak ada yang tahu bagaimana jalan kehidupan setiap orang. Mereka hanya bisa menerima apa yang akan datang. Namun, mereka tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya.

Berusaha untuk menjadi pribadi yang positif untuk sekitarnya. Menjadikan diri sendiri berguna untuk setiap orang.

Tapi terkadang, ketika kita melakukan semua hal itu, justru takdir memberikan hal sebaliknya.

Membuat kita merasa kecewa. Seolah apa yang semua kita lakukan itu sia-sia.

Bertarung pada diri sendiri, berusaha untuk mencapai kata damai dalam hidup.

Berusaha untuk ikhlas akan apa yang diterima. Meski rasanya itu begitu berat.

Tapi apalah daya jika takdir sudah berkehendak. Apapun yang kita rasakan tak akan merubahnya.

Yang pada akhirnya, mau tidak mau, hanya kata ikhlas yang bisa menjadi sahabat paling baik.

Ikhlas akan semua yang Allah takdirkan untuk kita.

Dan hanya Allah yang tahu mana yang terbaik untuk kita.

Sama seperti saat ini, seorang gadis berumur 24 tahun telah bertarung dengan diri sendiri untuk menerima takdir yang tertulis untuknya.

Menerima apa yang tak pernah dia bayangkan.

Pagi ini, langit begitu cerah. Cahaya matahari masuk dari celah-celah jendela. Lalu disetiap sudut terdapat berbagai bunga yang di kombinasikan menjadi satu.

Dan yang paling dominan tercium adalah aroma khas mawar.

Ketika memasuki kamar ini, akan terkesan suasana yang menenangkan, damai. Karena didekorasi dengan serba putih. Sesuai permintaan sang pemilik.

Dan sekarang, sang pemilik itu sedang duduk di pinggir ranjang menunggu sesuatu di luar sana.

Rasanya begitu menegangkan. Tangannya saja daritadi bertautan dan berkeringat dingin. Di tambah suhu ac yang dingin.

Sebenarnya tadi dia sudah meminta untuk dimatikan saja. Tapi kata mereka jangan. Nanti berkeringat dan make upnya jelek. Padahal kan, dia di make up juga tidak tebal.

Hari ini, dia sedang menunggu kehidupan baru yang akan dia dapat sebentar lagi.

Memakai dress putih dengan bordiran bunga. Serta layer bagian kanan dan kiri pada dressnya. Juga hijab yang tertata simple berwarna senada.

Dia yang sebelumnya tak pernah menyangka bisa berada ditahap ini. Bahkan serasa ini hanyalah mimpi.

Meski ada perasaan lega, terharu, tapi tetap saja tidak terbayangkan akan di posisi sekarang.

Sebab, selama ini dia tidak pernah berpikiran untuk ke tahap ini. Dia hanya ingin fokus dengan bundanya.

Tapi ternyata, beliau pergi dan memintanya untuk mengambil keputusan ini.

Sebenarnya sangat berat, namun demi beliau dia akan lakukan apapun. Termasuk keputusan paling penting dalam hidupnya.

Yah, dia memutuskan menerima pernikahan ini sesuai permintaan almarhumah bundanya.

Dia ingin mengabulkan permintaan terakhir beliau. Terhitung sudah 2 bulan beliau meninggalkannya.

Sedih rasanya ketika di hari bahagia kita tidak dihadiri orang terdekat. Apalagi ini orang tua. Seorang ibu yang telah berjasa dalam hidup kita.

Itu sangat memilukan.

Tapi walaupun begitu, dia tetap bersyukur masih di kelilingi orang-orang terkasih dalam hidupnya. Mereka telah sangat berjasa di hidupnya.

Mereka yang selalu ada untuknya. Mereka yang telah menjaganya dan almarhumah bundanya setelah ayahnya meninggal dunia.

Masih sangat terasa kehangatan sang ayah. Kasih sayangnya yang tak pernah terhitung. Beliau adalah pria terbaik dalam hidupnya.

Pahlawan dalam hidupnya. Cinta pertamanya. Contoh pria impiannya kelak.

Dia juga memimpikan akan melihat beliau menjabat tangan seseorang yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Dan itu tidak akan pernah terjadi.

Sementara di luar kamar, sedang ramai orang berlalu lalang mempersiapkan acara yang akan berlangsung beberapa menit lagi.

Mereka tengah disibukkan dengan berbagai macam keperluan. Dan para tamu pun sudah hadir dan duduk di karpet luas yang memenuhi ruangan.

Meski tidak banyak, namun tidak kehilangan kesan hikmat acaranya.

***

Suasana begitu tegang, semuanya menatap dua orang yang duduk saling berhadapan. Keduanya berjabat tangan. Dengan penghalang sebuah meja berukuran sedang berada di antara mereka.

"Saudara Muhammad Ali Arifansyah bin Irsyad Arifansyah. Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan keponakan saya yang bernama Rani Adhwa Salsabila binti Restu Bagaskoro Almarhum dengan maskawin berupa uang sebesar 2.924.000 rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar, tunai." Ucap pria paruh baya yang memakai pakaian bercorak batik.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Rani Adhwa Salsabila binti Restu Bagaskoro dengan maskawinnya yang tersebut, tunai." Ucap sang mempelai pria dengan jelas dan sekali tarikan nafas.

"Sah?" Ucap sang penghulu.

"Sah!" Seru para tamu.

Setelah itu semua mengucap hamdalah dan diteruskan bacaan doa.

Tak lama setelah itu, mempelai wanita dipersilahkan untuk keluar.

Semua orang memandang ke arah tangga. Dan beberapa saat kemudian, muncul dua orang wanita menuruni anak tangga.

Satu wanita memakai dress brukat berwarna pink soft dengan jilbab yang berwarna senada. Yang satu lagi, memakai dress pengantin yang membuatnya terlihat sangat cantik. Bahkan beberapa orang ada yang memandangnya terpesona.

Keduanya berjalan perlahan, sampai akhirnya tiba di anak tangga terakhir.

Saat itu satu wanita melepas genggamannya pada sang mempelai wanita. Yang tak lain adalah Adhwa.

Kemudian, Adhwa menghampiri mempelai pria yang sekarang menatapnya dengan senyuman yang sangat . . . Entahlah. Dia tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.

Lalu Adhwa duduk bersimpuh berhadapan langsung dengan pria yang sudah berstatus menjadi suaminya.

Meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim.

Sejujurnya gadis itu sangat gugup, bahkan sampai sekarangpun tangannya masih berkeringat dingin. Dan jika didengar dengan saksama, jantungnya berdetak begitu cepat. Rasanya seperti lari maraton.

Setelah itu sebelah tangan sang suami berada di atas kepalanya dan membacakan doa. Gadis itu pun mengaminkan.

Kemudian dilanjutkan dengan penandatangan surat-surat nikah dan susunan acara berikutnya.

Setelah selesai, mereka disibukkan dengan ucapan selamat dari para tamu.

Banyak yang tidak menyangka jika akhirnya gadis itu menikah. Sebab, kejadian 2 tahun lalu membuat mereka tidak menyangka jika gadis itu bisa menikah secepat ini.

Mengingat juga Adhwa tidak pernah terlihat dekat dengan pria setelah kejadian itu.

***

Acara telah selesai sekarang pihak dua keluarga sedang berkumpul di tempat yang sama saat ijab kabul tadi.

"Kamu cantik banget sih, dek." Puji seorang wanita cantik yang tadi bersamanya waktu turun ke ruang tamu.

"Mbak juga cantik. Malah lebih cantik mbak." Adhwa tersenyum tulus.

"Ah, kamu. Bisa aja."

"Kalian besok mau berangkat jam berapa?" Tanya seorang pria yang duduk di samping wanita tadi.

"Kayaknya pagi sih, mas. Takut kalau macet." Sahut sang pengantin pria. Yang tak lain adalah Ali.

"Iya, Arya. Tante takutnya juga gitu. Jadi berangkat pagi aja." Tambah wanita seumuran almarhumah bundanya Adhwa yang duduk di samping Ali. Beliau adalah ibunya Ali. Arini Chairunnisa.

Arya manggut-manggut. 'Terus, tante jadi pulang nanti habis sholat jum'at?"

"He.em. Nanti nggak ada yang urus keperluan resepsi."

Tatapan Arya berpindah ke sudut ruangan. "Mas Bambang kalau ngantuk, istirahat aja dulu. Kelihatan capek banget gitu!" Serunya pada sopir keluarga Ali yang sedang duduk bersandar pada dinding.

"Heheh. Iya mas. Di sini aja, nggak pa pa." Jawab Mas Bambang.

Semua terkekeh melihat Mas Bambang. Memang terlihat dari wajahnya.

"Nenek kasihan sebenarnya sama Mas Bambang. Dia nyetirin mamamu terus buat ngurus ini itu." Ucap wanita paruh baya yang duduk di samping Arini. Beliau adalah ibu dari mamanya Ali. Farida Aulia.

"Iya ma. Makanya kita pulang nanti aja." Sahut Arini.

"Ali. Istrinya dijagain. Jangan diusilin." Tanya seseorang di sebelah Farida. Selaku suaminya. Sambara Adipramana.

"Ya enggak lah pa. Masa sama istri sendiri diusilin." Sahut Arini.

Sedang Bara terkekeh. "Ya kan, kalau di rumah sering usilin Lena."

"Ya Allah kek. Ya jangan di buka di sini juga." Ucap Ali.

"Sama dong. Di sini juga ada yang sering usil sama adiknya." Celetuk Ambar. Selaku ibu dari Arya.

"Iya. Tiap hari bikin rumah ramai. Udah kayak kucing sama tikus, berantem terus." Tambah Haidar. Suami Ambar.

Sementara wanita di samping Adhwa menahan tawa karena ucapan dari sang mertua.

"Siapa pakde?" Tanya Ali. Entah sebenarnya dia memang tidak mengerti atau justru pura-pura tidak tahu.

"Ya siapa lagi kalau bukan Mas Arya sama istri kamu." Sahut wanita itu. Safiya, istri dari Arya.

Kedua alis Ali terangkat. Namun setelahnya tersenyum. Menatap sekilas ke istrinya.

Adhwa pun menahan malu karena jadi bahan pembicaraan. Dia juga menunduk tak berani menatap yang lain.

"Oh ya?" Tanya Arini.

"Nggak seru tante, kalau nggak jahili dia. Rumah tuh rasanya sepi." Pembelaan sang tersangka.

"Iya. Tapi kalau jauhan, kangen, kan?" Tanya Safiya.

"Iya sih. Tapi kangennya, kangen jahili lagi." Jawab Arya sambil nyengir.

"Kalau dasarannya emang rese' , tetep rese'." Gumam Adhwa dengan kesal.

"Gatel dek, kalau nggak jahili kamu. Serasa ada yang kurang gitu." Balas Arya.

"Terserah. Ntar kalau punya anak, aku rese'in." Ucap Adhwa.

"Dih. Dendam."

"Bukan dendam. Itu namanya timbal balik." Adhwa mendongak menatap pria itu.

"Timbal balik itu, sama-sama untung."

"Ya emang, kan situ untung. Seneng banget ngerjai aku. Nah, giliran anak situ yang aku kerjai. Jadi sama-sama untung."

"Eh, saya sebagai ibunya nggak terima ya." Sahut Safiya.

"Protes ke bapaknya tuh." Jawab sang adik ipar. Menatap sinis Arya.

"Nah, kan. Mulai kan." Kata Ambar.

"Mbok ya damai aja. Nggak malu sama besan." Tambah Haidar.

"Iya ih. Sehari aja damai gitu." Imbuh Ambar.

"Nggak pa pa mbak. Ali sama adiknya juga gitu." Balas Arini sambil terkekeh.

"Di rumah juga sama. Ya begini. Debat terus." Kata Bara.

"Udah dong. Jangan diperjelas juga. Turun dong, kewibawaan Ali." Protes sang anak.

Spontan mereka terkekeh mendengarnya.

Dan obrolan itu berlanjut. Sampai kurang lebih 1 jam akhirnya mereka menyudahi obrolan itu. Untuk para pria melaksanakan sholat jum'at.

***

"Aduh." Adhwa meringis karena jarinya tertusuk jarum. Dia sedang melepas jarum yang melekat di jilbabnya.

Dan ringisannya membuat Ali mendongak menatapnya. "Mau aku bantu?" Tawar Ali dari atas tempat tidur. Dia sedang melepas pecinya.

"Emm. Boleh." Jujur saja, itu kalimat yang Adhwa sesali setelahnya. Karena jantungnya kembali berdetak kencang.

Sementara Ali sudah beranjak dari tempat tidur dan mendorong sofa bad di depan tempat tidur ke belakang gadis itu.

"Maaf ya." Ucap Adhwa.

Kening Ali berkerut. Dia sudah duduk di sofa bad. "Untuk?"

"Karena buat kamu jadi dorong sofa bad itu. Kan berat."

Sontak Ali terkekeh. "Kamu ada-ada aja sih. Cuma dorong sofa bad. Bukan angkat rumah." Ujarnya seraya melepas jarum di jilbab Adhwa.

Adhwa tersenyum tipis mendengar jawaban Ali. Dia malu sekali.

Selama Ali melepas beberapa jarum di jilbabnya, Adhwa mengamatinya dari cermin.

"Kalau dilihat-lihat, wajahnya bikin adem ya." Ucap Adhwa dalam hati.

"Selesai." Ucap Ali.

Adhwa tersadar dan cukup terkejut dengan posisi keduanya.

Bagaimana tidak, Ali duduk cukup dekat dengannya. Serta kedua tangan pria itu memegang kedua lengannya.

"E-emm. Iya. Makasih." Adhwa gugup. Iyalah!

Ali sadar betul kegugupan Adhwa. Lantas dia tersenyum hangat. Mencoba membuat gadis itu tenang.

Meski dirinya sendiri juga gugup. Tapi sebisa mungkin dia enyahkan. Akan terasa tidak nyaman kalau dua-duanya gugup dan suasana menjadi tegang.

"Yaudah, aku ke kamar mandi dulu." Ali beranjak dari duduk dan mengembalikan sofa bad ke tempat semula.

Adhwa mengangguk. "Iya."

Ali berjalan ke arah pintu, namun berhenti saat sudah membuka pintu. Dia menoleh ke kanan.

"Kenapa?" Tanya Adhwa dengan kening berkerut.

Sementara pria itu menggaruk telinganya yang tidak gatal.

"Bagaimana bisa dia lupa membawa baju ganti?! Lenyapkanlah dirinya sekarang." Ucap Ali dalam hati.

Sekarang terlihat sekali bahwa dia jauh lebih salah tingkah. "Baju gantinya ketinggalan. Sama handuk."

Dia berbalik ke belakang dan berjalan ke sudut kamar. Mendekati lemari dan mengambil bajunya serta handuk.

Setelah itu baru dia pergi keluar kamar.

Adhwa menghembuskan nafas lega setelah pintu tertutup. Rasanya dia seperti berada di ruang ujian. Takut untuk bergerak sedikit saja.

Tapi akhirnya dia segera melepas jilbabnya dan membersihkan diri.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Arini dan orang tuanya siap untuk berangkat. Mereka sudah di depan rumah berpamitan dengan Adhwa dan keluarganya.

"Jaga makan. Jangan kecapek an. Istirahat yang cukup. Besok malam masih ada acara resepsi." Pesan Arini kepada sang menantu.

"Iya ma. Makasih udah perhatian sama Adhwa." Adhwa terharu dengan perhatian sang mertua. Dia cukup beruntung mendapatkan mertua seperti Arini.

"Kamu juga putri mama. Jadi wajar kalau mama perhatian." Ujar Arini sambil tersenyum hangat.

Di sisi lain, letaknya tak terlalu jauh dari keduanya. Bara dan juga Ali berdiri berhadapan sambil berbicara serius.

"Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan Adhwa." Pesannya seraya menepuk pundak sang cucu. "Kamu tahu maksud kakek."

Sedangkan dia mengangguk mantap. "Insya Allah. Itu tidak akan terjadi."

Kemudian, Bara menyusul istri dan anaknya. Yang sudah berada di dalam mobil.

Mobil perlahan melaju dengan mereka yang melambaikan tangan. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah mobilnya tak terlihat, Adhwa dan yang lain masuk ke dalam rumah.

"Dek." Panggil Safiya.

Adhwa menoleh ke kiri. "Ya mbak?"

"Temenin mbak yuk."

"Ke mana?"

"Ke apotik."

"Mau beli apa?" Adhwa menutup pintu.

Saat sudah tertutup dia berbalik menatap Safiya.

"Mau beliii.." Kalimatnya terhenti lalu mendekatkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu.

Sontak Adhwa terkejut mendengar bisikkan Safiya. Bahkan dia sampai menutup mulutnya dengan tangan.

"Serius mbak?"

"Nggak tahu sih. Makanya mau cek dulu."

Adhwa tersenyum bahagia. "Semoga aja iya, mbak."

"Aamiin." Safiya juga ikut tersenyum.

***

Saat ini keluarga sedang dalam kebahagian yang tak terhitung. Mereka sangat bahagia. Di hari pernikahan Adhwa dan Ali, mereka di beri rezeki dari Allah dengan kehamilan Safiya.

Yah, Safiya telah mengandung.

Ambar sampai meneteskan air mata sangking bahagianya. Dia akan menjadi seorang nenek.

"Ya Allah, sayang. Ibu bahagia banget dengernya." Ambar mengusap sayang kepala Safiya.

"Safiya juga bahagia sekaligus terima kasih kepada Allah telah memberikan rezeki ini untuk kita." Safiya tersenyum tulus.

"Terima kasih juga atas semua perhatian ibu ke Safiya. Aku akan sangat membutuhkan nasihat-nasihat ibu untuk menjadi seorang ibu yang baik." Lanjutnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Pasti nak. Ibu akan selalu ada buat kamu." Ambar memeluknya. Dan safiya membalasnya dengan bahagia.

"Budeee.. Adhwa juga mau peluk." Rengek Adhwa di hadapannya mereka.

"Minta peluk suami mu tuh." Celetuk Arya.

Adhwa memberengut. "Apa sih mas. Nyaut aja."

"Nggak usah berantem. Lagi bahagia gini malah berantem." Ucap Ambar setelah melepas pelukan.

"Di jaga baik-baik kandungannya. Makannya juga. Jangan terlalu capek juga, nduk." Pesan Haidar yang duduk di kanan Ambar.

"Iya pak, makasih. Safiya akan selalu jaga kandungan Safiya."

"Selamat ya mbak, semoga dilancarkan sampai nanti melahirkan." Ucap tulus Ali.

"Aamiin. Makasih Al." Jawab Safiya dengan tersenyum.

"Dan kamu, Arya. Jangan suka godain Adhwa. Nanti anakmu mirip Adhwa, bukan mirip kamu mau?" Goda Ambar.

"Ogah. Aku ayahnya bu. Jadi ya, harus mirip aku." Jawabnya cepat.

"Nggak pa pa bude, biar mirip Adhwa aja. Nggak usah mirip bapaknya. Bapaknya tukang usil." Sahut Adhwa.

"Dek, kamu itu udah nikah. Bikin sendiri aja."

Sontak gadis itu membelalakkan mata, dia tidak percaya Arya akan mengatakam itu. Sekarang dia jadi tidak bisa membalas perkataan pria itu.

Sementara Ali, pria itu hanya tersenyum. Sebenarnya dia juga malu, tapi ada juga rasa sedih yang menghinggapi hatinya.

Karena tak dipungkiri jika faktanya pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Namun karena permintaan Almarhumah Bunda Adibah.

Awal pertemuannya dengan beliau, tidak dalam keadaan yang cukup baik. Lantaran beliau dalam keadaan sakit.

Dan yang membuatnya terkejut adalah, dengan tiba-tiba beliau meminta dirinya menikahi putrinya.

Ali sangat terkejut dengan permintaan itu. Mendadak pikirannya langsung blank.

Bagaimana tidak? Mengenal beliau saja baru beberapa hari. Begitu pun dengan putrinya. Walaupun sebenarnya dia dan putrinya pernah bertemu sekali, tapi itu secara tidak sengaja.

Dan sekarang Ali dihadapkan dengan permintaan itu. Ditambah dia melihat jika putrinya itu menolak. Meski tidak secara gamblang, tapi Ali dapat menangkap dari sikap gadis itu.

Hingga takdir membawanya dalam posisi seperti ini. Menjadi seorang suami.

Berat memang, tapi tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Terlebih kenyataannya Almarhumah Bunda Adibah teman lama mamanya.

Hal itu membuat dia tidak bisa menolak. Tidak ada alasan lagi yang bisa dia gunakan untuk berkata tidak.

Karena kata mamanya 'Cinta ada karena terbiasa.'

Tapi tetap saja, itu sulit. Bahkan ada yang tidak berhasil.

Itu yang membuat hatinya resah sekarang. Dia takut jika hatinya tidak bisa menerima gadis itu.

Namun setelah 2 bulan dia mengenal gadis itu dengan segala persiapan pernikahan, dia mengetahui satu hal.

Semua yang terlihat pada gadis itu, tidak nyata. Senyuman dan tawa hanyalah untuk menutupi rasa sedih yang Adhwa rasakan.

Mata gadis itu selalu terlihat sendu, gadis itu tidak pernah benar-benar bahagia. Ada luka yang disembunyikan.

Itu yang menjadi salah satu alasan Ali menerima pernikahan ini. Bukan merasa kasihan atau iba.

Tapi ada rasa yang ingin menjaga dan melindungi, terutama mengobati. Setidaknya bisa sedikit demi sedikit mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan luka itu.

Ali akui, rasa sayang mulai timbul untuk gadis itu. Sejak ijab kabul pagi tadi, rasa itu sudah ada di hatinya.

Dan berharap cinta itu segera hadir dalam hatinya.

🍁🍁🍁

"Ikhlas bukan hanya tentang menerima apa yang meninggalkan kita.

Tapi ikhlas juga tentang menerima apa yang datang untuk kita."