webnovel

PART 2

Lututku lemas, kepalaku pening, tak terasa air mataku mengalir deras.

Aku tak mempedulikan penampilanku saat ini dan juga rasa lelah yang mendera sehabis pulang kerja. Aku hanya ingin mengetahui apakah memang betul Alika meninggal. Padahal dia tadi baik-baik saja sewaktu aku berangkat bekerja.

"Bu, mau kemana?" Tanya Mbok Nem padaku.

"Mau ke rumah sakit Mbok." Jawabku lirih.

"Ta, tapi tadi Bapak bilang Ibu nggak perlu ke rumah sakit." Balas Mbok Nem dengan hati-hati.

Deg, tiba-tiba perasaanku jadi tak enak.

"Memangnya kenapa Mbok?"

"Mbok nggak tahu bu. Yang jelas Bapak berpesan begitu kepada Mbok sebelum membawa Non Alika ke rumah sakit."

Aku mengernyitkan kening. Mengapa Mas Farhan melarangku menemui anakku? Bukankah aku ibunya? Aku hanya ingin memastikan apakah Mas Farhan berkata benar dan ini bukan guyonan belaka kan?

"Tapi aku harus menemuinya Mbok!"

"Ya sudah kalau begitu. Mbok nggak bisa melarang ibu, hati-hati ya bu di jalan. Yang sabar ya bu."

Aku menggangguk pelan, yang ada di pikiranku saat ini hanya Alika saja.

*

Dua puluh menit kemudian aku tiba di rumah sakit. Aku menuju ruang IGD, berharap kalau Alika belum tiada.

"Sus, saya mau mencari pasien yang masih balita dengan nama Alika." Tanyaku dengan nada cemas.

"Maaf bu, pasien balita yang bernama Alika sudah meninggal. Kami sudah memindahkannya ke ruang jenazah untuk di urus." Jawab suster itu

Aku terperangah.

"Tidak mungkin, suster bohong kan?"

"Maaf Bu, kami tidak mungkin membohongi Anda. Kalau Ibu mau, silakan lihat di ruang jenazah. Permisi Bu." Suster itu pun berlalu.

Aku terduduk di koridor. Mati rasa seluruh persendianku. Aku melihat Mas Farhan sedang duduk di bangku panjang. Kedua tangannya menutupi wajahnya.

"Ma, Mas." Sapaku dengan pelan.

Wajah Mas Farhan begitu kusut, matanya merah seperti habis menangis. Dia menatapku tajam, seperti hendak memangsaku. Tiba-tiba ia berdiri dan menghampiriku.

Plak.

Mas Farhan menamparku. Selama menikah hampir tiga tahun, baru kali ini dia menamparku. Rasa perih dan panas akibat tamparannya begitu menjalar di pipiku.

"Sakit?" Tanya Mas Farhan dengan senyum mengejek.

"Ka, kamu tega banget Mas. Malah menamparku!" Aku membela diri.

"Apa kamu bilang? Aku tega? Nggak kebalik tuh?" Kata Mas Farhan dengan sinis.

"Tapi bukan seperti ini caranya, menamparku di muka umum. Sama saja dengan mempermalukan istri sendiri." Kulirik beberapa orang memperhatikan kami sambil lalu lalang. Karena jam sudah menunjukkan larut malam, jadinya pengunjung mulai sepi.

"Lebih tega mana, seorang ibu yang membiarkan anaknya di urus dengan pengasuh dan lebih mementingkan karirnya di bandingkan dengan anak sendiri!"

"Tapi kan, aku bekerja demi masa depan Alika juga!"

"Apa? Masa depan katamu! Masa depan yang mengantarkan Alika ke liang kubur!"

Aku tercekat, terdiam sesaat. Mencerna apa yang di katakan Mas Farhan.

"Tapi bukan seperti ini Mas yang kumau!"

"Ya iyalah! Sekarang kamu puas hah! Alika sudah meninggal! Kamu bebas melakukan apa yang kau mau!"

"Bukan begitu Mas."

Mas Farhan berbalik meninggalkanku.

"Mas, mau kemana?"

"Mau ke ruang jenazah."

"Aku ikut Mas."

Mas Farhan berjalan duluan tanpa menghiraukan kata-kataku. Sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Mas Farhan membuka pintu.

"Maaf Mas, saya ingin melihat jenazah anak saya yang barusan saja meninggal karena kejang-kejang." Ujar Mas Farhan kepada perawat yang menjaga ruang jenazah. Dari suaranya Mas Farhan terdengar seperti menahan tangis.

"Mari Pak, Bu. Ikuti saya."

Kami mengikuti perawat lelaki yang berpostur tegap itu. Sekarang kami tiba di depan ranjang yang terbaring sosok mungil dan tubuhnya di tutupi kain putih.

"Silakan di liat Pak, Bu."

Perawat itu menyingkap kain putih. Dan…

"Tidak mungkin." Teriakku panik.

Tidak mungkin itu Alika. Tubuhnya begitu kurus, kulitnya menghitam, dan rambutnya berwarna kemerahan. Ya Tuhan, aku tak menyangka dulu Alika yang terlahir cantik dan sekarang harus meninggal dengan keadaan yang begitu menyedihkan.

"Mas, itu tidak mungkin Alika kan? Mas ini cuma mimpi kan?" Aku mengguncangkan lengan Mas Farhan.

"Kamu lihat sendiri kan! Kamu pikir aku bercanda apa? Kamu pikir aku bohong!" Sahut Mas Farhan dengan marah.

Aku tergugu menangis.

"Percuma kamu menangis! Mau menangis bagaimanapun tidak akan pernah mengembalikan nyawa Alika!" Bentak Mas Farhan.

Mas Farhan keluar dan meninggalkanku sendiri di ruang jenazah. Aku masih memandangi wajah anakku. Nak, ini hanya mimpi kan, aku terus meyakinkan diriku. Kucubit lenganku. Aw, sakit. Ya Tuhan, ternyata ini bukan mimpi. Aku terus menyeka air mataku yang terus mengalir. Aku elus pipi Alika. Dingin. Sedingin es. Nak, bangun. Ini Mama nak. Sini Nak, Mama ingin memelukmu!

"Maaf Bu, bukannya mengusir ibu. Kami akan segera mengurus kepulangan jenazah anak ibu besok. Ibu kami persilakan untuk meninggalkan ruangan ini." Kata perawat itu

Aku hanya mengangguk pelan. Kucium kening Alika, kemudian berpindah ke pipinya, bibirnya, dagunya, hingga pucuk kepalanya. Ya Rabb, aku tak sanggup rasanya meninggalkan dia terbaring di sini sendiri.

Dengan langkah gontai, aku meninggalkan ruangan ini. Kulihat di luar. Sepi, Mas Farhan pun tak nampak batang hidungnya. Mungkin dia sudah pulang duluan.

Aku pun pulang sendiri ke rumah. Sesampainya di rumah, Mas Farhan duduk di sofa ruang tamu dengan pandangan kosong. Rasa kantuk yang mendera, rupanya tak bisa membuat kami tertidur.

"Mas belum tidur?" Tanyaku pelan.

"Kamu pikir aku bisa tidur! Aku besok pagi-pagi sekali harus mengurus kepulangan jenazah anakku!" Jawab Mas Farhan dengan ketus.

Aku menunduk.

"Sudah berapa kali aku menyuruhmu untuk berhenti bekerja! Tapi kamu malah membangkang. Membanggakan karirmu dan lebih mempercayakan Alika dengan pengasuh!" Sambung Mas Farhan lagi.

"Ta, tapi Mas. Anak-anak temanku baik-baik saja di tinggalkan oleh pengasuh mereka!"

 "Itu kan mereka! Mereka beruntung nggak mengalami nasib buruk seperti kita!"

"Kenapa Mas nggak bertanya pada Bi Surti. Kenapa anak kita seperti itu! Bukannya terus-terusan menyalahkanku!" Aku terus membela diri.

Kulihat Mas Farhan menghela nafas.

"Oke kalau itu maumu. Nanti setelah penguburan jenazah Alika, aku akan menanyai Surti. Sekarang sudah malam. Aku mau istirahat!" Mas Farhan beranjak meninggalkanku sendiri. Kulihat dia malah tidur di kamar tamu. Bukan tidur di kamar kami.

***

Pagi sekali setelah sholat subuh. Mas Farhan dan kakaknya, Mas Fahmi mengurus kepulangan jenazah Alika dari rumah sakit. Sementara Bi Surti dan Mbok Nem, serta beberapa tetangga komplek yang di komandoi oleh Pak RT baik Bapak-Bapak maupun Ibu-Ibu mendirikan tenda, menyiapkan kursi, menyuguhkan air mineral gelas, menggelar karpet ambal untuk melaksanakan sholat jenazah. Jenazah Alika memang sudah di mandikan dan di kafani di rumah sakit.

Kulihat para tetangga mulai mengadakan tahlilan dan juga membaca Surat Yasin yang di pimpin oleh Pak Ustadz. Tak lupa teman-teman kantorku dan Mas Farhan juga sudah ada yang datang. Rombongan Mami dan Papi mertua serta adik Mas Farhan, Fina juga hadir. Mereka menatap sinis ke arahku.

(Bersambung)