webnovel

Pria Malang

Gedung-gedung tinggi menjulang. Hamparan yang terbentang di jalan Jendral Sudirman berisi akan rumah mewah berukuran luas. Dimulai dari bangunan kuno yang masih berdiri kokoh, hingga rumah berdesain Eropa yang sangat menakjubkan. Tak heran jika kota Medan mendapatkan gelar "Paris Van Sumatera".

Rumah-rumah gede itu ditaksir bernilai milyaran rupiah. Bukan hanya karena bangunan yang ada, tetapi bertetanggaan dengan rumah dinas untuk Walikota Medan. Selain itu ada taman rindang yang kerap dikunjungi banyak orang. Namun, dari sekian banyak rumah megah yang ada di sana, ada satu rumah yang membuat mata tak berkedip.

Rumah bertingkat dengan desain Eropa itu memiliki taman hijau penuh bunga. Pagar tinggi yang terdiri dari susunan kayu membuat rumah itu seakan bersembunyi. Namun, masih bisa dicuri lihat jika kita sengaja berhenti dan mengintip dari sela-sela kayu. Jika tidak ketahuan penjaganya yang galak. Ada dua penjaga yang selalu berjaga di depan. Bagaimana tidak galak, jika yang punya saja juga bersifat Tak kalah galak.

Seperti yang terjadi pagi ini. Terlihat Mona tengah asik berjalan anggun menuju meja makan yang telah berisi menu sarapan pagi. Dua potong roti bakar berlapis keju dan segelas susu. Sedangkan sisi lainnya terdapat piring berisi nasi goreng dengan beberapa potong udang di atasnya. Tak lupa teh manis hangat dengan perasaan lemon sebagai pelengkapnya.

Bara terlihat tak berselera makan. Meski telah duduk di bangkunya, ia masih saja menatap tajam ke arah Mona. Namun, sepertinya Mona bukanlah gadis yang peka, karena ia terlihat tenang dengan mata menatap layar gawai sambil terus tersenyum.

"Jam berapa kamu pulang tadi malam?" tanya Bara memulai pembicaraan. Wajah manis yang terkenal ramah itu kini terlihat kaku dan cukup menakutkan.

"Hm ... jam berapa ya? Dua apa tiga gitulah," jawab Mona tanpa sedikitpun melirik ke arah Bara.

"Kenapa kamu ...."

"Stop!" seru Mona dengan tatapan tak kalah menakutkan. Bak elang yang siap menerkam lawannya. "Mau bilang apa? Aku udah hapal karena kamu terlalu sering ngomong begitu. Kamu pikir itu sehat? Emang harus dengan cara itu ya membangun bisnis. Ingat Mona kamu udah jadi istri, meskipun aku enggak tau kamu menganggap apa pernikahan ini. Itu kan yang mau kamu bilang?" sergah Mona. Napasnya memburu, terlihat dari gerak dadanya yang naik turun dengan cepat.

Keceriaan yang sebelumnya Mona perlihatkan kini berubah menjadi kemarahan. Bibir merah manisnya pun terlihat semakin menyala. Tak berniat melanjutkan sarapan paginya, Mona segera bergegas pergi menuju mobil yang teparkir di depan rumah.

"Kasihan ya, Pak Bara. Kan maksud Pak Bara itu baik. Lagian hanya wanita enggak beres yang pulang tengah malam. Mana bajunya seksi-seksi lagi," gerutu Minah-pembantu yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Mona.

"Hus! Hati-hati nanti kedengeran baru tau rasa. Kamu tau kan, Bu Mona itu enggak sebaik Pak Alim," sambung Lili-pembantu baru yang dikhususkan untuk membantu keperluan Mona.

"Huh!" Bara hanya bisa menghembuskan napas berat dari mulutnya. Ia turut tak berselera makan. Setiap ada pertanyaan seperti ini pasti berujung dengan pertengkaran dan suara yang melengking. Tak ada yang bisa Bara perbuat, selain menjalani harinya. Seakan terpenjara dalam istana emas, Bara rela melakukan semua ini demi keinginan ayah dan ibunya.

"Bi!" seru Bara seraya menoleh ke arah balik lemari dimana para pembantunya biasa memasak.

"Ya!" sahut Bu Minah sembari membawa kotak bekal. Membuat Bara tersenyum senang. setidaknya memiliki pembantu dan satpam yang perhatian cukup mengobati keheningan hatinya.

"Makasi ya, Bi!" ucap Bara sembari meneguk habis lemon tehnya.

"Lemon tehnya mau dibawain juga, Pak? Masih ada di dapur," tawar Bi Minah. Wanita paruh baya bertubuh gemuk dan memiliki banyak uban di bagian tengah kepala itu terlihat begitu menyayangi Bara.

Bersiap pergi setelah menerima tas kertas berisi bekal, Bara melangkah menuju mobil hitam lexus miliknya. Terlihat wajah takut tergambar pada wajah kedua satpam rumahnya. Ia yakin pasti mereka habis kena sembur Mona. Ini sudah menjadi kebiasaan Mona yang kerap melampiaskan kekesalan pada orang lain yang berada di bawahnya.

"Pagi! Udah pada sarapan?" sapa Bara mencoba mencairkan suasana.

"Udah, Pak. Udah!" sahut Ahmad-pria paruh bayah yang sudah sepuluh tahunan bekerja bersama Mona.

"Udah, Pak. Ngeteh segelas," sambung Zul-pemuda yang dipindah tugaskan dari satpam kantor menjadi satpam pribadi.

"Sebentar!" pinta Bara yang kini kembali melangkah masuk ke dalam rumah.

"Kamu itu enggak boleh gitu. Yang marahi kita kan Bu Mona, kenapa kamu malah ketus ke Pak Bara. Kalau tingkah kamu begini terus, bisa-bisa kamu dipecat!" ucap Ahmad guna memberi peringatan kepada Zul. Namun, peringatan itu diabaikan Zul begitu saja. Ia justru melongos pergi memasuki ruang kecil tempat mereka berjaga.

Bara kembali keluar mendekati mobil dan kemudian pergi setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Ahmad.

"Sama aja, enggak suami enggak istri sama. Cuman nanyak aja? Enggak usah sok baiklah. Orang kaya emang kekgitu. Ngerendahin yang miskin. Sementang kami digaji, jadi kami bisa direndahkan gitu! halah!" gerutu Zul dengan tatapan penuh kesal.

***

Seorang gadis terlihat berdiri sambil bersandar di depan pagar. Ia terus tertawa sedari tadi, hingga membuat banyak orang menatap aneh kepadanya. Sesungguhnya mereka yang melihat hendak menyangka gila, namun pakaian dan tampilan begitu rapi hingga tak layak disangka gila. Tetapi ia tertawa cukup keras hingga bersuara kencang. Padahal ia tak sedang menatap gawai ataupun melihat sesuatu yang lucu. Gadis itu terus tertawa geli sambil menekan perutnya yang mulai terasa sakit akibat terlalu banyak tertawa.

"Heh! Udah gilak kau ya?" tanya Nando yang baru saja tiba dengan motor maticnya.

"Kaulah yang gilak!" sahut Cassie masih dengan bibir tertawa dan kini mulai duduk di belakang Nando.

"Yang enggak sehatnya kau? Coba aku cek dulu," sambung Nando. Kali ini Nando dengan sengaja berbalik badan dan meletakkan punggung tangannya tepat di dahi Cassie.

"Apanya kau! Gilak kau ya?" tanya Cassie kembali, namun kali ini dengan tatapan tak senang. "Udahlah, nek ojek aja aku. Ribet kali hidup kau ku tengok," ungkap Cassie kesal dan kini kembali turun dari motor.

"Maaf, maaf, maaf. Okelah, aku yang gilak. Udah naeklah kau lagi. Biar kuantar. Nanti telat pulak kau. Dah, kena omel lagi kau. Masalahnya kalok kau kenak omel, kuping sama kepalaku yang mau pecah. Karena kau lampiaskan ke aku. Udahlah, aku masih mau panjang umur. Jadi naeklah. Langsung gas aku, janji!" pujuk Nando.

Cassie menurut dan kembali naik. Namun, kali ini ia tak lagi tertawa. Sepertinya rasa lucu yang ada di pikirannya mendadak lenyap berganti rasa kesal.

"Oh ya, udah makan kau? Ini ada nasi gurih kesukaan kau," ucap Nando dengan nada lembut seakan lupa bahwa mereka baru saja bertengkar.

"Hm ... makasih!" jawab Cassie dengan ketusnya.

"Oh ya, jam berapa kau balik. Tadi pagi jam lima aku hubungi kenapa enggak kau angkat. Maksudnya kan biar aku jemput gitu. Berhubung aku enggak tau di hotel mana kelen check in," sambung Nando. Tatapannya harap-harap cemas dengan mata yang terus melirik ke arah spion.

"Jam tujuh!"

"Eh, kok lama kali. Biasanya kau pengennya cepat-cepat kabur setelah terima duit. Ini kok tumben pulak kau mau sampek jam tujuh sama dia. Berapa ronde rupanya?" tanya Nando. Meski nadanya terkesan bercanda, namun raut wajahnya menggambarkan kemarahan yang tak bisa diungkap.

"Berapa ronde, yang kau pikirnya aku bertinju tadi malam? enggak pakek ronde-rondean. Orang disentuh aja enggak," ucap Cassie yang kini kembali tersenyum tipis. Sepertinya kejadian tadi malam membuat ia merasa senang.

"Hah! Maksudnya?" tanya Nando seakan tak percaya. Karena bagi Nando tak ada ronde berarti tak ada bayaran. Tapi kenapa justru Cassie terlihat senang. Berjuta pertanyaan pun timbul. Namun, tertahan karena mereka telah tiba di depan kafe dimana Cassie bekerja sebagai pelayan.