webnovel

Semua tergantung keyakinan

Terjaga di pagi yang dingin itu, Lanai seperti terlahir kembali dengan keyakinan. Ditapakinya sisa satu tahun umurnya itu dengan kepastian. Ajaib, obat yang dulunya terasa pahit berubah menjadi kembang gula rasa pandan wangi, makanan rebus hambar tanpa garam berubah rasa seperti bubur sunsum manis kesukaannya, bahkan perihnya penyedot darah dari alat suntik tajam tak lagi ia rasakan karena berubah rasa seperti belaian ibu yang memang sangat ia rindukan.

Keyakinannya itu merubah kehidupan Lanai. Prestasinya di sekolah yang semula biasa saja, mulai meningkat. Semester ini, ia akan mengikuti ujian akhir EBTANAS. Ruangan kelas untuk murid kelas enam, bersebelahan dengan ruangan guru.

Papan tulis hitam berikut kapur yang tersusun rapi di bawahnya, menjadi saksi perjuangan Lanai menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Nilai EBTANAS murni atau NEM tinggi menjadi prasyarat untuk dapat melanjutkan pendidikan di SMP Negeri. Selain berjuang melawan penyakitnya, Lanai tengah berjuang meraih prestasi tertinggi untuk menyelesaikan pendidikan dasar.

Wali kelasnya bernama Umi Salamah. Guru matematika berparas cantik itu banyak membantu Lanai. Kulitnya putih, rambutnya lurus sebahu dan tutur katanya lembut. Mungkin karena ia orang Solo, jadi tidak seperti bahasa lisan orang Sumatera yang biasa bersuara lantang. Sosok wanita setengah baya itu selalu bisa menarik hati para muridnya.

Kebetulan Lanai cukup tokcer dalam urusan hitung menghitung. Matematika merupakan mata pelajaran yang menjadi momok untuk para siswa yang akan mengikuti ujian akhir. Kendati berkepribadian menarik, ibu Umi terkenal tegas dalam mendidik para siswa. Tidak boleh ada aktivitas lain saat ia mengajar.

Lanai duduk di deretan nomor dua dari depan. Ada gambar Presiden dan Wakilnya di atas papan tulis. Di antara gambar itu tertempel simbol burung Garuda. Lantai kelas dialasi tehel tidak berwarna. Seluruh siswa diwajibkan melepaskan sepatunya agar kebersihan kelas terjaga. Pagi ini, mata pelajaran kedua, guru yang Lanai suka itu masuk ke ruang kelas.

"Selamat pagi ibu guru...!" Seluruh murid memberikan salam.

"Ya, selamat pagi anak-anak semua," sambutnya.

Hari ini akan dibahas kisi-kisi soal yang mungkin akan keluar pada saat ujian EBTANAS nanti. Dari dalam tasnya, Lanai mengeluarkan buku dan alat tulis. Dengan tekun diikutinya kata demi kata yang dijelaskan ibu Umi dengan seksama. Dibuatnya beberapa catatan kecil untuk mengingat sejumlah soal yang dianggap Lanai terlalu rumit untuk diingat. Ibu Umi menutup pertemuan terakhir kami di kelas itu dengan meninggalkan pesan agar mempelajari semua yang telah ia sampaikan dan menjaga stamina untuk menghadapi ujian minggu depan.

Malam menjelang ujian tiba, Lanai nampak sibuk dengan tumpukan buku di dalam kamarnya. Ia sulit untuk memejamkan mata. Sudah menjadi kebiasaannya, setiap harus berhadapan dengan hal-hal yang menurutnya penting, ia sulit memejamkan mata. Mungkin karena terlalu bersemangat – seluruh bahan untuk ujian besok – ia lahap habis. Setelah itu, perasaan gelisah melandanya. Mungkinkah besok semua yang dipelajarinya keluar, atau muncul soal-soal baru yang tidak ia mengerti?

Kendati matanya bisa terpejam, pertanyaan-pertanyaan akan ujian besok tidak bisa ia jawab. Ia benar-benar tertidur saat penjaga malam mengetuk tiang listrik yang berada di ujung gang rumahnya sebanyak 12 kali pertanda hari telah berganti. Suara pukulan kentongan itu terdengar sayup-sayup.

Pagi-pagi sekali, anak perempuan bergingsul itu telah berangkat ke sekolah. Perasaannya tak menentu bahkan setelah ia menerima lembaran soal yang dibagikan oleh pengawas ujian, perasaannya makin tidak menentu. Hari ini mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Kendati setiap hari bahasa itu digunakan, namun untuk mempelajarinya dalam bentuk teks, sangat lah sukar. Pikirannya terhenti. Dalam keadaan seperti ini, Lanai membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Semua pengetahuannya akan buku yang dipelajarinya semalam mendadak hilang. Matanya hanya menatap kosong soal yang ada di tangannya.

Pengawas ujian itu nampak heran dengan apa yang dialami Lanai. Ia sempat mendekat, namun kembali menjauh karena Lanai tidak merespon kehadirannya. Lanai tampak asyik sendiri dengan kesendiriaannya. Entah apa yang ada di dalam fikiran pengawas itu, Lanai tak perduli. Saat ini, tidak ada hal lain yang dibutuhkannya kecuali menenangkan diri untuk mencari fokus.

Waktu mengerjakan soal seratus dua puluh menit dengan jumlah soal enam puluh terdiri dari lima puluh persen pilihan ganda dan sepuluh persen esaay. Dalam soal itu ada pertanyaan sebab akibat. Lima belas menit telah berlalu, Lanai meraih pena dan mulai membaca soal. Rasa gugupnya telah sirna, kini seluruh perhatiannya ia curahkan untuk mengejar ketertinggalan waktu. Soal demi soal berhasil ia lewati, namun saat mencapai soal sebab akibat, ia kembali hilang konsentrasi. Memang berat mengerjakan soal itu, semua jawaban sepertinya sama dan benar.

Pelan-pelan dibacanya lagi soal-soal yang membingungkan tersebut. Kendati tidak seluruhnya yakin dengan pilihan jawabannya, namun ia terpaksa harus memilih. Soal dengan metode sebab akibat memang membutuhkan nalar dan konsentrasi yang tinggi. Bisa saja kedua pernyataan benar, namun untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan kedua pernyataan membutuhkan waktu berfikir yang lama.

Akhirnya, seluruh soal berhasil ia selesaikan. Saat ia menoleh ke seisi ruangan, Lanai terkejut karena teman-temannya yang lain sudah tidak ada lagi di ruang ujian itu. Yang tersisa hanya dirinya dan dua orang pengawas ujian. Selesai ia kumpulkan lembar jawaban dan soal, waktu tanda berakhirnya ujian dibunyikan.

"Kamu selesai tepat pada waktunya. Kami sempat khawatir kamu tidak bisa menyelesaikan ujian ini. Oh ya, tadi ibu perhatikan kamu sempat tidak mengerjakan apa-apa di menit-menit awal, ada masalah apa?" Pertanyaan dari pengawas ujian itu mengejutkan Lanai.

"Eh itu, Bu. Saya sempat bingung tadi, tiba-tiba saya kehilangan konsentrasi. Semua yang saya pelajari seperti menguap. Jadi tadi saya menenangkan diri terlebih dahulu agar saya bisa kembali fokus," ujar Lanai tersipu malu.

Ujian akhir itu berlangsung selama tiga hari dengan lima mata pelajaran yang diujikan. Siang itu, Lanai nampak keluar dari ruangan ujian dengan senyum cerah. Ya, hari ini merupakan hari terakhir ujian. Lima mata pelajaran yang diujikan secara nasional akhirnya bisa ia lewati. Tak heran jika siang ini Lanai nampak gembira.

Satu lagi yang membuat ia senang. Selama kurun waktu tiga hari tersebut, penyakit yang selama ini menyiksanya lenyap entah kemana. Kendati dalam kurun waktu tersebut, ia selalu tertidur larut karena harus mempelajari kembali kisi-kisi soal yang telah diajarkan para guru, namun ia sehat-sehat saja.

Siang itu tak sempat lagi ia bercengkrama dengan teman satu kelasnya. Ia bergegas pulang di saat para temannya melampiaskan emosi dengan bermain atau hanya sekedar bersenda gurau di sekolah. Lanai ingin segera sampai ke rumah dan menceritakan ujiannya telah berakhir kepada nenek.

"Ujianku sudah selesai, Nek. Mudah-mudahan nilainya bagus semua dan aku bisa diterima di SMP Negeri," ujarnya optimis. Nenek yang tengah membaca majalah di ruangan tamu, langsung memalingkan wajahnya ke arah munculnya suara. Lanai yang terlalu bersemangat langsung bicara sebelum ia masuk ke dalam rumah bahkan ia lupa mengucapkan salam.

"Ucapkan salam dulu, Lanai. Pamali rasanya kalau masuk ke rumah tanpa terlebih dahulu mengucapkan salam," ujar nenek.

"Maaf, Nek. Aku terlalu bersemangat tadi. Oh iya, hari ini aku selesai mengikuti ujian dan aku merasa sangat sehat lho, Nek. Padahal tiga hari belakangan ini, aku selalu tidur larut. Hal yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan."

"Ya, nenek perhatikan belakangan ini kamu terlihat sangat sehat. Obat jatah bulan ini dari dokter Didi sudah habis belum?"

"Obatnya masih tersisa satu hari lagi. Setelah obat habis, kita harus ke dokter lagi ya, Nek. Lanai sebetulnya malas bertemu dengan dokter itu lagi. Bisa tidak untuk minggu ini kita libur dulu dari berkunjung ke dokter itu. Hitung-hitung merayakan selesainya ujianku. Boleh ya, Nek….," ujarnya memohon.

"Percuma kamu memelas seperti itu, Lanai. Kamu kan sudah tahu jawaban nenek. Pokoknya kita harus ke dokter untuk memeriksa kesehatanmu," nenek terdiam. Di dalam hatinya, ia bersedih. Setelah obat ini habis, maka habis pulalah usia cucunya yang penurut ini.

*****