Malam hitam pekat, Dayu terjaga dari tidurnya. Suara kentongan bertalu-talu dari arah luar. Seketika ia melompat dari tempat tidur dan bergegas menuju suara gaduh berasal. Dikuceknya bola matanya sebelah-sebelah, namun suasana dini hari yang gelap itu tetap tak bisa membebaskan pandangannya. Di luar nampak puluhan warga memukul drum dan kentongan sehingga suaranya memekakkan telinga. Api dari obor menyala-nyala seolah ingin melumat siapapun yang menghalanginya.
"Huh huh huh, tong-tong-tong….." Suara manusia bercampur suara kentongan membahana membelah malam.
Dag-dig-dug perasaan Dayu, ia terlihat cemas. Warga berkumpul membunyikan kentongan dan membawa obor. Mereka tengah mengusir sekawanan gajah liar. Ia mendekat ke arah kerumunan. Saat itu tak nampak lagi makhluk besar berbelai, namun jejak-jejaknya masih tersisa di tanah dan rerumputan. Sisa tapak-tapak kaki berukuran besar dari gajah liar itu seakan-akan ingin membuktikan keperkasaan mereka. Bibi ada di antara kerumunan itu, ia menggendong Ical, sepupunya.
"Ladang jagung Pak Narwi habis dilahap gajah," ujar bibi berbisik.
Areal perladangan itu berlokasi tak jauh dari tempat Dayu tinggal. Jaraknya hanya setengah kilometer saja, kerumunan warga terus bergerak hingga sampai ke lokasi perladangan yang dirusak itu. Bibi mengajak Dayu untuk mengikutinya dari belakang, agar bisa melihat dari dekat. Ya, ternyata ladang jagung seluas satu hektar itu telah porak poranda diserang kawanan gajah. Cahaya obor yang temaram masih dapat menerangi sisa-sisa batang dan daun jagung yang berserakan di tanah. Areal perladangan itu telah porak-poranda. Pak Nuel dan petugas penjaga hutan juga nampak di sana. Mereka berbicang-bincang dengan paman.
"Kawanan gajah liar makin tidak terkendali. Kemarin kebun pisang Pak Tejo yang diserang mereka, malam ini giliran ladang jagung Pak Narwi. Peristiwa ini tidak bisa didiamkan saja. Cepat atau lambat seluruh ladang dan kebun milik warga akan mengalami nasib serupa," ujar Pak Nuel.
"Kawanan gajah liar ini harus dipindahkan, Pak. Jika tidak memang apa yang Pak Nuel katakan tadi akan terjadi," timpal paman.
Obrolan paman dan Pak Nuel ditanggapi warga lainnya. Berdasarkan pembicaraan singkat itu, warga sepakat meminta bantuan dari petugas penjaga hutan untuk mendatangkan pawang gajah dari Way Kambas untuk memindahkan gajah-gajah liar yang jumlahnya ratusan tersebut.
Keesokan harinya, kesepakatan untuk mengusir gajah liar kemudian dibahas dalam rapat yang digelar di Balai Kampung Simpang Pematang. Dayu ikut bersama paman dan bibi menghadiri pertemuan itu. Seluruh kepala kampung dan perwakilan masyarakat membahas kemungkinan mendatangkan pawang gajah untuk menangkap gajah-gajah liar yang kerap merusak ladang warga. Pak Naryo Kepala Kampung Budi Aji dan Pak Samani Kepala Kampung Brabasan memimpin pertemuan. Semua hal dibahas termasuk pengadaan pakan untuk gajah jinak yang akan didatangkan dari Way Kambas. Gajah jinak berikut pawangnya itulah yang nantinya bertugas menangkapi gajah-gajah liar dan mengirimkannya ke sekolah gajah di Taman Nasional Way Kambas.
Hasil rapat disepakati penunjukkan tiga posko untuk penempatan gajah asal Way Kambas. Posko itu berada di Gedong Aji Baru, Budi Aji dan Brabasan. Gajah jinak di posko Gedong Aji Baru bertugas menyisir gajah liar mulai dari wilayah Penawar hingga ke Way Serdang dan sekitarnya. Sementara gajah di posko Budi Aji bertugas menyisir gajah liar di wilayah Simpang Pematang, Mesuji D hingga ke perbatasan Sumatera Selatan. Sedangkan gajah di posko Brabasan bertugas menyisir wilayah Mesuji dan sekitarnya.
Untuk pengadaan makan gajah asal Way Kambas, diberlakukan sumbangan bergilir dari seluruh dusun. Warga diharapkan dapat menyumbang pelepah kelapa dan batang pisang. Untuk makanan segar, pawang gajah diperbolehkan menyisir ke dalam hutan di areal Register 45. Kebutuhan air untuk kubangan gajah di posko Gedong Aji Baru akan memakai sungai air merah, sedangkan di posko Budi Aji memanfaatkan sungai di perbatasan Simpang Pematang dan Budi Aji. Sementara untuk posko Brabasan akan dibuat danau buatan dengan meminjam alat berat milik perusahaan. Dalam rapat itu disepakati pula petugas penjaga hutan pimpinan Pak Nuel untuk menyampaikan permohonan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam di Provinsi Lampung untuk kemudian diteruskan kepada pihak Taman Nasional Way Kambas.
Hari yang dinanti tiba. Satu bulan setelah permohonan disampaikan, rombongan pawang dan gajah jinak dari Way Kambas tiba di Mesuji. Untuk menangkapi gajah liar, enam gajah jinak didatangkan dari Way Kambas. Sesuai dengan hasil rapat, mereka ditempatkan dalam tiga lokasi, yaitu di Simpang Pematang, Brabasan dan Gedong Aji Baru. Dayu ingat ketika fuso yang membawa gajah itu mampir di sawmil pamannya. Gajah itu besar sekali berasal dari Thailand dan India. Empat ekor gajah yang akan ditempatkan di Simpang Pematang dan di Brabasan dapat dilihat Dayu dari dekat. Sementara dua ekor gajah lainnya yang dikirim ke wilayah Gedong Aji Baru tidak melintas di sawmil pamannya.
Simpang Pematang mendapat dua gajah asal Thailand dan gajah lokal asal Way Kambas. Kendati tidak sebesar gajah Thailand, namun gajah lokal itu juga berperawakan besar, lebih besar dari pemimpin rombongan gajah yang pernah ia lihat satu bulan yang lalu. Gajah Thailand itu bernama Sudan dan gajah Way Kambas bernama Pleno.
Pak Nuel yang menyambut kedatangan gajah-gajah jinak berikut pawangnya itu berada di tempat yang sama dengan tempat Dayu berdiri. Awalnya Dayu takut dengan kehadiran mereka – namun atas jasa Pak Nuel – ia akhirnya berani juga mendekat.
"Dayu ini nyaris jadi korban gajah liar tempo hari. Beruntung kami lewat dan berhasil menghalau gajah liar itu," ujar Pak Nuel membuka pembicaraan dengan pawang gajah.
Bibi nampak sibuk menghidangkan kopi hangat dan menyuguhkannya di atas meja kayu yang berada di dalam balai penggergajian kayu. Para pawang menghirup kopi hangat seraya menganggukkan kepala mendengar cerita Pak Nuel tentang aksi gajah-gajah liar di Mesuji. Salah seorang pawang itu bernama Mas Ajib, ia masih muda umurnya berkisar dua puluh empat tahun. Tubuhnya sedang dan berkulit hitam pekat sepekat kopi yang diseruputnya. Dari informasi Mas Ajib, Dayu yang ikut nimbrung mendengarkan cerita mereka, jadi tahu bahwa Sudan dan Pleno akan ditempatkan di rumah Pak Naryo – Kepala Kampung Budi Aji yang berbatasan dengan Kampung Simpang Pematang – lokasi sekolah Dayu.
Cukup lama mereka berbincang-bincang, kesempatan itu dimanfaatkan Dayu untuk melihat gajah-gajah jinak yang berada di dalam truk fusso. Namun saat itu Dayu masih trauma dengan gajah, jadi ia hanya melihat dari jarak yang menurutnya aman. Ketika rombongan pawang gajah itu pamit untuk melanjutkan perjalanan, Dayu melambai-lambaikan tangannya.
*****