webnovel

Ceritaku

Bayangan si senyum malu kini tidak lagi mendominasi alam bawah sadarku. Hanya sesekali, ia menyita perhatian, itupun hanya kupandangi dari kejauhan. Kendati perasaan itu tidak berkurang besarnya, aku semakin ciut meskipun hanya untuk bertegur sapa dengannya.

Beberapa bulan berselang, tak lagi kudengar kabar beritanya. Wajahnya yang malu-malu, suaranya yang menurutku tak merdu dan gingsulnya yang lucu. Apalagi menjelang kenaikan kelas, aku terpaksa meninggalkan sekolah yang sempat menempaku itu. Dengan berat hati, seluruh barang kukemas. Dengan alasan ikut keluarga, aku pindah ke sekolah yang dekat dengan lokasi rumah baruku yang belum jadi.  Saat itu, aku hampir menyelesaikan studi di semester kedua.

Rumah lama yang hanya berjarak empat kilometer dari sekolah bertingkat tempat aku dan senyum malu bersekolah, dengan alasan yang waktu itu tidak aku ketahui, terpaksa dijual oleh bapak. Belakangan, akhirnya kuketahui alasannya karena untuk mencukupi biaya pendidikan kami.

    

Kendati tidak mewah, rumah lamaku cukup layak huni. Halamannya luas dipenuhi bunga aneka jenis. Di depan rumah, berjejer rapi pagar hidup dari tanaman kembang pagar. Kamarnya ada lima, dua di depan menyerupai paviliun, dua di tengah berjejer dengan ruang keluarga dan satu di belakang. Ada rasa sedih, harus meninggalkan rumah ini.

"Bapak sudah membangun rumah baru di Sukarame, kita harus pindah hari ini," ujar bapak nyaris tak bersuara. Aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Belakangan aku faham, rumah itu dijual dengan seorang petani sukses asal Kotabumi. Hasil penjualannya untuk membiayai sekolah kami.

Kakak yang tertua tengah menempuh kuliah di Yogyakarta, sedangkan kakakku yang satu lagi, kelas tiga SMA, aku sendiri masih kelas dua SMP. Cukup berat memang menanggung biaya sekolah kami. Kendati semua diterima di sekolah negeri, namun biaya untuk SPP, buku, transport dan lain-lain cukup membuat orang tua kami kerepotan.

Bapak sakit. Kedua kakinya tidak lagi berfungsi. Ia mengalami kecelakaan parah dua tahun silam. Sepeda motornya ditabrak truk bermuatan jagung di jalan by pass Soekarno-Hatta. Aku ingat detail kejadiannya. Pekik tangis Ibu membangunkan tidur seisi rumah.

Bergegas kutinggalkan tempat tidur, berlari keluar rumah. Kulihat wajah pucat Mang Rohim, teman bapak di pangkalan ojek. Ia hanya terdiam melihat Ibu menjerit tak tentu arah.

Mang Rohim membawa kabar berita. bapak mengalami kecelakaan, sepeda motornya rusak parah, bapak dibawa ke Rumah Sakit Abdul Moeloek. Saat malam hari bapak memang mencari tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga kami dengan sepeda motor bututnya. Gajinya dari mengajar di sebuah sekolah dasar hanya cukup untuk biaya makan sepekan. Maklum bapak hanya guru honorer.

"Ya Allah, apa lagi ujian yang engkau timpakan kepada keluarga kami!" Jeritan Ibu memecahkan keheningan subuh yang masih gelap itu. Mendung di langit yang belum nampak, dapat kurasakan lewat rintik hujan yang jatuh satu-satu.

Bapak koma dua minggu. Tubuhnya ditempeli selang infus, oksigen dan pembalut luka. Sementara kakinya diikat dengan kayu berbalut perban putih. 

"Air...air," itu ucapan bapak saat baru tersadar dari tidur panjangnya.

Aku ada di sisinya. Duduk di sampingku, Ibu yang selalu setia menunggu. Dengan cekatan Ibu membawa segelas air minum. Diambilnya sendok lalu dengan telaten dibasahinya bibir bapak yang kering itu dengan seteguk air.

"Alhamdulillah Mahali. Bapakmu sudah sadar dari komanya," seru Ibu senang.

Aku tak ingat berapa lama bapak tergolek di rumah sakit. Yang jelas saat diizinkan pulang ke rumah, bapak membawa peralatan baru untuk menunjang aktivitasnya. Ya, bapak kini duduk di kursi roda. Kedua kakinya tidak berfungsi lagi.

Sejak peristiwa itu, ibu menjadi tulang punggung keluarga. Keterampilannya membuat kue, satu-satunya yang menjadi sumber penghasil uang. Aku ikut sibuk membantu ibu mulai dari membeli bahan, mengolahnya hingga menitipkan sumber penghidupan keluarga kami di warung-warung.

Berawal dari berdagang kue kecil-kecilan, ibu akhirnya bisa memiliki sebuah kios kecil di Pasar Wayhalim. Kendati tidak bisa dikatakan sukses, dari berjualan kue inilah kami bisa meneruskan sekolah.

*****